Oleh: Syekh Shaleh al-Karbasi
Pernyataan ini bukanlah hal baru, melainkan ide lama yang diusung oleh sekelompok sahabat Nabi saw menjelang wafatnya. Kemudian, ide ini diterapkan dan dijalankan selama waktu yang cukup lama setelah wafatnya Nabi saw. Setelah itu, ide ini kembali diangkat oleh berbagai pihak dan kelompok dengan niat serta tujuan yang beragam.
“Ahlul Quran” atau “Kaum Quraniyyun” Modern
Seruan untuk mencukupkan diri hanya dengan Alquran dan menolak sunah Nabi—bahkan hingga menyangkal dan menyingkirkannya—muncul kembali di zaman modern oleh sebagian kelompok di Mesir, India, dan beberapa negara lainnya. Mereka menulis artikel dan buku, menerbitkan majalah dan selebaran, serta membuka situs di internet untuk menyebarkan ide sesat ini.
Seorang muslim yang berilmu dan memiliki pandangan tajam pasti akan meragukan niat dan tujuan kelompok-kelompok seperti ini. Dia juga berhak untuk bersikap sangat sensitif terhadap gerakan-gerakan seperti ini.
Lebih dari itu, dia berhak menelusuri kembali sejarah untuk memahami alasan di balik ditinggalkannya sunah Nabi saw selama hampir satu abad dengan alasan-alasan yang lemah.
Dia juga berhak untuk bertanya-tanya: Mengapa orang-orang yang dulu menolak sunah, kini kembali merujuk kepadanya, tetapi setelah sunah tersebut dibukukan oleh pihak penguasa pada saat itu dengan standar tertentu?
Orang yang sedikit saja memahami sumber-sumber hukum Islam tidak akan pernah bisa menerima pendapat kelompok ini. Mereka juga tidak akan menerima permintaan maaf atau pembenaran dari kelompok tersebut, karena ide sesat ini bertentangan langsung dengan Alquran, tidak sesuai dengan ayat-ayatnya secara eksplisit.
Jelas bahwa tujuan dari kelompok-kelompok ini adalah membuka pintu manipulasi terhadap nilai-nilai Alquran sesuai dengan kepentingan mereka. Dengan begitu, mereka dapat menjalankan rencana berbahaya mereka terhadap agama Islam, dengan kedok membela dan mengikuti Alquran. Mereka menyebut diri mereka “Quraniyyun” atau “Ahlul Quran”.
Dalih Kaum Quraniyyun
Kaum Quraniyyun—atau Ahlul Quran, sebagaimana mereka menamai diri mereka—mengklaim bahwa mereka hanya mengikuti Alquran karena menurut mereka itulah satu-satunya sumber hukum syariat Islam. Mereka berdalil dengan firman Allah Swt, “Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Alquran) yang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Alquran) itu terdapat rahmat dan pelajaran bagi kaum yang beriman.”(1)
Mereka juga menyatakan bahwa Alquran tidak meninggalkan apa pun yang dibutuhkan umat Islam, bahwa ia adalah penjelas segala sesuatu, dan bahwa Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk mengikuti Alquran saja, karena Alquran adalah “sunah” Allah.
Dengan argumentasi yang menyesatkan ini, mereka berusaha mengacaukan pemikiran para pemuda muslim. Mereka berharap bisa memengaruhi orang-orang yang kurang pengetahuan dan tidak mampu membedakan antara yang benar dan salah.
Kaum Quraniyyun Awal
Asal mula ide menolak sunnah dan cukup dengan Alquran berakar sejak masa Nabi sendiri, dan merupakan bencana besar yang menyebabkan banyak umat Islam tersesat dari jalan kebenaran. Peristiwa tragis ini dikenal dalam sejarah sebagai “Tragedi Hari Kamis.”(2)
Dalam sumber-sumber sejarah disebutkan bahwa kelompok pertama yang mengangkat slogan “Cukuplah bagi kami Kitabullah” adalah sekelompok sahabat Nabi saw saat beliau sedang sakit keras menjelang wafat. Mereka mencegah Nabi saw menulis sesuatu yang beliau anggap penting, padahal beliau ingin menulis sesuatu yang akan menyelamatkan umat dari kesesatan selamanya.
Mereka inilah yang menjadi benih awal kaum Quraniyyun. Mereka juga yang melarang penulisan dan penyebaran hadis, baik secara lisan maupun tertulis, hingga akhir abad pertama Hijriah. Di antara mereka terdapat para khalifah, sahabat, dan tabiin—baik laki-laki maupun perempuan. Mereka inilah pelopor kaum Quraniyyun.
Anehnya, para peneliti modern sering mengabaikan fakta sejarah ini, dan menyebut kaum Quraniyyun hanya muncul mulai abad kedua Hijriah. Salah satu contohnya adalah seorang akademisi Salafi bernama Khadim Husain Ilahi Bakhsy (dosen di Universitas Ummul Qura, Thaif), yang dalam tesis masternya menyatakan bahwa penolakan terhadap sunnah baru terjadi pada abad kedua Hijriah, dan bahwa tidak ada kelompok Islam yang menyerukan penolakan sunnah sebelum masa itu.(3)
Orang Pertama yang Menyerukan Penolakan Sunah
Orang pertama yang menyerukan penolakan terhadap sunah Nabi saw dan mencukupkan diri dengan Alquran adalah Umar bin Khaththab, ketika Nabi saw sedang sakit parah dan hendak menulis surat penting sebagai jaminan agar umatnya tidak tersesat.
Namun Umar bin Khaththab menolak dan menghadang niat Nabi saw, yang menyebabkan keributan di hadapan beliau yang sedang sakit.
Pengacara Ahmad Husain Ya’qub(4) menjelaskan bahwa Nabi saw sedang terbaring sakit, rumah beliau penuh dengan sahabat-sahabat penting. Nabi bersikeras ingin menuliskan sesuatu yang penting demi menjamin arah masa depan umat Islam, lalu beliau berkata, “Bawakanlah (pena dan kertas kepadaku), akan kutuliskan sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelahnya selamanya.”
Apa salahnya dengan tawaran seperti itu? Siapa yang tidak ingin jaminan agar tidak sesat? Dan mengapa harus ditolak? Untuk kepentingan siapa?
Padahal, bahkan jika Muhammad hanyalah orang biasa (bukan nabi), dia tetap berhak berwasiat sebelum wafat, dan para pendengar bisa memilih untuk mengikuti atau tidak. Apalagi beliau adalah nabi dan pemimpin umat.
Namun, Umar bin Khaththab menanggapi dengan berkata kepada para hadirin, “Sesungguhnya Nabi telah dikuasai oleh penyakit, dan kita sudah memiliki Alquran, maka cukuplah bagi kita Kitabullah.”
Akhirnya, terjadi perdebatan di antara para sahabat. Sebagian ingin mendekat agar Nabi menulis surat itu, sebagian lain mendukung perkataan Umar.
Karena keributan itu, Nabi saw bersabda, “Pergilah kalian dariku.”(5)
Dalam riwayat lain, ketika Nabi saw berkata, “Bawalah kertas dan tinta, akan kutuliskan untuk kalian sesuatu yang tidak akan membuat kalian tersesat setelahku.”
Para sahabat berselisih dan bertengkar, padahal tidak layak terjadi pertengkaran di hadapan Nabi saw.
Sebagian mengatakan, “Apakah Nabi mengigau?” Mereka mencoba memastikan maksud Nabi saw.
Lalu Nabi saw menjawab, “Biarkan aku. Keadaan yang sedang aku alami lebih baik daripada yang kalian serukan itu.”(6)
Dalam riwayat ketiga, Nabi saw bersabda, “Bawakan kepadaku tulang belikat dan tinta, atau papan dan tinta. Akan kutuliskan untuk kalian sebuah tulisan yang kalian tidak akan tersesat setelahnya selamanya.”
Lalu mereka berkata, “Sesungguhnya Rasulullah sedang mengigau.”(7)
Dan dalam riwayat keempat dalam Shahih Bukhari, Nabi saw bersabda, “Bawakan kepadaku kitab, akan kutuliskan untuk kalian sebuah kitab yang kalian tidak akan tersesat setelahnya.”
Umar bin Khattab berkata, “Sesungguhnya Nabi sedang dikuasai oleh sakitnya, dan kita sudah memiliki Kitabullah (Alquran), itu sudah cukup bagi kita.”
Lalu mereka berselisih dan memperbanyak perdebatan. Nabi saw pun bersabda, “Pergilah kalian dariku, tidak sepantasnya ada perdebatan di hadapan seorang nabi.”(8)
Riwayat kelima dalam Shahih Bukhari dengan redaksi lain: Nabi saw bersabda, “Bawakan (kertas dan pena) kepadaku. Akan kutuliskan untuk kalian sebuah kitab yang kalian tidak akan tersesat setelahnya selamanya.”
Lalu mereka berselisih, dan tidak sepantasnya ada perdebatan di hadapan seorang nabi.
Mereka berkata, “Apa yang terjadi padanya? Apakah dia sedang mengigau? Tanyakan padanya!”
Lalu mereka mengulang-ulang pertanyaan itu padanya.
Nabi saw pun bersabda, “Biarkan aku! Keadaan yang sedang aku alami ini lebih baik daripada apa yang kalian ajak aku kepadanya.”(9)
Riwayat keenam dalam Shahih Bukhari dengan redaksi lain: Nabi bersabda, “Bawakan kepadaku tulang belikat. Akan kutuliskan untuk kalian sebuah kitab yang kalian tidak akan tersesat setelahnya selamanya.”
Lalu mereka berselisih, dan tidak sepantasnya ada perdebatan di hadapan seorang nabi.
Mereka berkata, “Ada apa dengannya? Apakah dia sedang mengigau? Tanyakan padanya!”
Maka Nabi saw bersabda, “Tinggalkan aku! Keadaan yang sedang aku alami ini lebih baik daripada apa yang kalian ajak aku kepadanya.”(10)
Riwayat versi ketujuh dari Bukhari bahwa Nabi saw bersabda, “Kemarilah, aku akan menulis untuk kalian sebuah kitab yang kalian tidak akan sesat setelahnya.” Namun Umar berkata, “Sesungguhnya Nabi sedang dikuasai rasa sakit. Kalian telah memiliki Alquran, maka cukuplah bagi kami Kitabullah.”
Maka terjadilah perbedaan pendapat dan pertengkaran di kalangan penghuni rumah itu. Sebagian dari mereka berkata, “Dekatkanlah (alat tulis), agar Rasulullah menuliskan untuk kalian kitab yang tidak akan membuat kalian sesat setelahnya,” dan sebagian yang lain berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Umar.
Ketika mereka semakin banyak berselisih dan bertengkar di hadapan Nabi, maka beliau bersabda, “Pergilah kalian dariku.”(11)
Dan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khaththab berkata, “Sesungguhnya Nabi sedang mengigau (berucap tak sadar).”(12)
Mengapa Mereka Menghalangi Nabi saw Menulis Wasiat Tersebut?
Tidak tersembunyi bagi siapa pun yang membaca sejarah bahwa orang-orang yang menghalangi Nabi saw untuk menulis kitab itu, sebenarnya tahu persis apa yang ingin ditulis Nabi saw. Karena itu, mereka berusaha mencegahnya, sebab mereka tahu bahwa jika Nabi saw benar-benar menulisnya, maka tidak ada lagi ruang untuk penafsiran atau takwil. Sementara ayat-ayat Alquran masih memungkinkan untuk ditakwil dan ditafsirkan sesuai pandangan mereka.
Salah satu bukti hal ini adalah bahwa Imam Ali as pernah berwasiat kepada Abdullah bin Abbas saat dia mengutusnya untuk berdialog dengan kaum Khawarij, agar berdebat dengan menggunakan sunah, bukan Alquran, karena sunah lebih tegas dan tidak memberi ruang takwil, sebagaimana sabda beliau as, “Jangan engkau berdebat dengan mereka menggunakan Alquran, karena Alquran itu memiliki banyak makna dan wajah. Engkau akan berkata dan mereka pun akan berkata (menafsirkannya sesuai keinginan mereka)… Tapi, debatlah mereka dengan sunah, karena mereka tidak akan menemukan jalan keluar darinya.”(13)
Dan sungguh Umar bin Khaththab mengakui bahwa dia menghalangi Nabi menulis kitab itu karena khawatir Nabi saw akan menjadikannya (Ali) sebagai pemimpin setelah beliau.(14)
Tahapan-tahapan Pelarangan Penulisan Sunah Nabi saw
Larangan penulisan sunah Nabi saw mengalami tiga tahap:
- Tahap pertama: Pada masa dua khalifah awal (Abu Bakar dan Umar).
- Tahap kedua: Pada masa mereka yang mengikuti jalan keduanya, seperti Usman dan Muawiyah.
- Tahap ketiga: Pada masa kekuasaan Bani Umayah setelah Muawiyah hingga masa kodifikasi resmi oleh pemerintah.
- Adapun tahap pertama, terjadi setelah diakuinya bahwa penghapusan keutamaan (Ahlulbait as) merupakan salah satu penyebab larangan tersebut, karena keterbatasan kemampuan ilmu dan pengetahuan agama mereka dan ketidaktahuan mereka terhadap semua hadis Rasulullah saw. Sebab, seperti kita katakan bahwa posisi kekhalifahan menuntut pengetahuan terhadap semua hukum yang telah ditetapkan Rasulullah saw. Sementara sang khalifah tidak mengetahui seluruh hukum yang bersumber darinya, maka dia menghadapi masalah besar, yaitu fatwa-fatwanya bertentangan dengan sabda-sabda Rasulullah saw. Hal ini menyebabkan para sahabat bahkan para wanita pun menyalahkannya.(15) Inilah yang mendorongnya untuk melarang penulisan hadits, sebagaimana telah kami rinci sebelumnya.
- Adapun tahap kedua, terjadi untuk mendukung sikap dua khalifah sebelumnya, karena diriwayatkan bahwa Usman bin Affan dan Muawiyah bin Abi Sufyan melarang meriwayatkan hadis Nabi saw kecuali yang diamalkan pada masa dua khalifah tersebut.
- Adapun tahap ketiga, adalah masa para khalifah setelah Muawiyah hingga masa kodifikasi hadits oleh pemerintah. Pada masa ini, mereka memanfaatkan pemikiran yang berkembang pada dua masa sebelumnya untuk menghapus keutamaan Ahlulbait as dan menanamkan tujuan-tujuan politik mereka.
Maka, menjadi jelas bahwa alasan pelarangan penulisan hadits berbeda-beda pada setiap periode:
Pada masa Islam awal—masa dua khalifah—larangan tersebut bertujuan untuk menutupi kelemahan ilmu dan pengetahuan agama sang khalifah dan memperkuat dasar kekuasaan mereka serta menghindari serangan lawan politik mereka.
Pada masa kedua, bertujuan untuk mempertahankan kebijakan yang telah ditetapkan oleh dua khalifah tersebut dan menolak mengambil pendapat selain dari mereka.
Sedangkan pada masa Bani Umayah, larangan itu dilakukan secara terang-terangan, sebagai bentuk permusuhan terhadap Ali bin Abi Thalib dan keluarganya.(16)
Orang Kedua yang Menyerukan Cukup dengan Alquran Saja
Setelah wafatnya Nabi saw, Abu Bakar melanjutkan langkah ini. Dia menyerukan bahwa Alquran saja sudah cukup, dan melarang penyebaran hadis Nabi saw dengan alasan untuk menghindari perbedaan pendapat.
Dia berkata, “Antara kami dan kalian adalah Kitabullah. Halalkanlah apa yang dihalalkan olehnya, dan haramkanlah apa yang diharamkannya.”(17)
Dalam Tadzkirah al-Huffazh disebutkan: Abu Bakar mengumpulkan orang-orang setelah wafatnya Nabi saw, dan berkata, “Kalian meriwayatkan hadis dari Rasulullah yang saling berbeda. Orang-orang setelah kalian akan lebih berbeda lagi. Maka jangan meriwayatkan apa pun darinya. Siapa pun yang bertanya, katakana, ‘Antara kami dan kalian adalah Kitabullah.’”
Aisyah meriwayatkan, “Ayahku (Abu Bakar) pernah mengumpulkan 500 hadis Nabi. Pada malam harinya, dia terus gelisah dan berbalik badan. Aku bertanya, ‘Apakah engkau sakit atau mendapat kabar buruk?’ Pagi harinya, dia berkata, ‘Wahai anakku! Bawakan hadis-hadis itu.’ Lalu aku membawakannya, dan dia membakarnya dengan api.’ Aku bertanya, ‘Mengapa engkau membakarnya?’ Dia menjawab, ‘Aku khawatir aku mati dalam keadaan menyimpan hadis-hadis yang aku dengar dari orang yang aku percayai, namun ternyata ia tidak seperti yang aku kira. Aku khawatir aku telah meriwayatkan sesuatu yang tidak benar.’”(18)
Pelarangan ini terus berlangsung hingga masa Khalifah Usman.
Golongan “Ahlul Alquran” vs “Ahlussunnah”
Akibat dari pelarangan sunnah ini, muncul dua kelompok ekstrem di tengah masyarakat awam:
- Ahlul Quran
Kelompok ini hanya berpegang pada Alquran dan menolak sunah. Mereka disebut “Quraniyyun”, dan semboyan mereka adalah, “Cukuplah bagi kami Kitabullah.”
Beberapa tokoh besar mengecam mereka:
- Syu’bah (ulama hadis terkenal) berkata, “Duduk bersama Yahudi dan Nasrani lebih aku sukai daripada duduk bersama kalian (ahli hadis). Kalian membuat orang lalai dari mengingat Allah dan salat.”(19)
- Fudhail bin Iyadh jika melihat ahli hadis mendekatinya, dia akan meletakkan tangannya di dadanya dan berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kalian.”(20)
- Bisyr bin Harits mendengar Abu Khalid Ahmar berkata, “Akan datang masa di mana mushaf tidak lagi dibaca. Manusia hanya sibuk dengan hadis dan pendapat. Hati-hatilah kalian dari hal itu, karena itu akan memukul wajah, memperbanyak omongan, dan menyibukkan hati.”(21)
- Dhahhak bin Muzahim berkata, “Akan datang masa di mana mushaf digantung dan dijadikan pajangan sampai diliputi sarang laba-laba, dan orang-orang hanya mengamalkan riwayat dan hadis.”(22)
Mereka menolak penulisan sunnah karena menganggap hal itu mengalihkan perhatian dari Alquran, dan semboyan mereka tetap, “Cukuplah bagi kami Kitabullah.”(23)
Kebangkitan Gerakan Quraniyyun Modern
Fitnah kaum Quraniyyun ini terus muncul di berbagai masa:
- Muncul kembali di abad ke-13 H di Mesir.
- Berkembang di India melalui tokoh-tokoh seperti:
- Sir Ahmad Khan
- Molvi Chiragh Ali
- Molvi Abdullah Bekralwi
- Ahmad Nabi Amritsari
- Maulana Aslam
- Terakhir dipimpin oleh Ghulam Ahmad Piroz.
Mereka semua merupakan kelanjutan dari gerakan kaum Quraniyyun klasik yang telah disebutkan sebelumnya.(24)
Tuduhan Quraniyyun terhadap Kitab-kitab Hadis
Salah satu tokoh Quraniyyun pernah berkata, “Pengultusan terhadap kitab-kitab sunah adalah bagian dari konspirasi orang asing (non-Arab) untuk menghancurkan Islam. Semua penyusun kitab hadis seperti Shahih Sittah (enam kitab utama hadis Ahlusunnah) adalah orang-orang Persia (Iran), tidak ada satu pun dari Jazirah Arab. Aneh sekali! Mengapa bangsa Arab tidak terlibat dalam usaha agung ini? Mengapa justru diserahkan kepada orang-orang non-Arab?”(25)
Ini jelas membahayakan persatuan umat Islam, dan dapat menimbulkan permusuhan antar bangsa dan mazhab, padahal Nabi saw telah bersabda, “Barang siapa beriman, maka dia adalah orang Arab, dan barang siapa tidak beriman maka dia adalah Ajam (asing, halaman non-Arab).”
Dan Rasulullah saw bersabda, “Ke-Arab-an seseorang bukan karena ayah atau ibunya. Barang siapa yang berbicara dalam bahasa Arab, maka dia adalah orang Arab.”(26)
Apakah Alquran Satu-satunya Sumber Syariat Islam?
Alquran al-Karim adalah warisan Ilahi yang agung dan sumber utama bagi akidah dan syariat Islam. Ia adalah pusaka terbesar dan konstitusi Ilahi yang abadi, yang tidak boleh ditinggalkan atau digantikan dengan sumber lain secara mutlak.
Namun demikian, Alquran bukanlah satu-satunya sumber, meskipun merupakan sumber terpenting bagi syariat Islam.
Sumber kedua adalah hadis Nabi Muhammad saw—berdasarkan nas Alquran— dan juga hadis-hadis dari Ahlulbait yang suci as—berdasarkan sabda Nabi Muhammad sendiri.
Tidak diragukan bahwa warisan keilmuan Islam terdiri dari Alquran yang agung dan sunah Nabi yang mulia secara bersama-sama.
Karena Alquran adalah firman Allah, kitab-Nya yang diwahyukan kepada rasul-Nya saw sebagai petunjuk bagi manusia, sedangkan sunah adalah bimbingan Rasulullah saw selama masa kenabiannya yang penuh kemuliaan.
Keduanya adalah tulang punggung agama Islam. Dengan memahami keduanya, agama Islam menjadi utuh.
Keduanya saling mendukung:
- Alquran mengukuhkan kerasulan, menjadikan Rasul sebagai hujah yang wajib ditaati, dan menjadikan sabdanya sebagai wahyu yang benar, sebagaimana firman Allah, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”(27)
- Sunah Rasulullah saw senantiasa menekankan untuk berpegang pada Alquran, mengamalkannya, menjaga, mempelajari, dan memuliakannya.
Bahkan beliau menjadikannya sebagai salah satu dari dua peninggalannya yang agung setelah wafatnya, seraya bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka yang berat (tsaqalain): yang pertama adalah Kitab Allah—di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, maka ambillah Kitab Allah dan berpeganglah padanya.” Lalu beliau bersabda, “Dan Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku… (diulang tiga kali).”(28)
Dan kaum muslim berpegang teguh pada Alquran dan sunah, baik untuk ilmu maupun untuk amal, dan tidak ada seorang pun dari kaum muslim yang membedakan antara dua sumber ini, di antara mereka yang meyakini Islam sebagai agama yang menyeluruh dan universal.
Alquran Membutuhkan Penjelasan, Tafsir dan Penjabaran
Allah Azza wa Jalla secara tegas menyatakan dalam Alquran bahwa manusia wajib merujuk kepada Rasulullah saw dalam memahami ayat-ayat yang tidak jelas (mutasyabihat) atau yang memerlukan penafsiran dan penjelasan.
Allah Swt berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Alkitab (Alquran) melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.”(29)
Dan Dia juga berfirman, “Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan izin Tuhan mereka menuju jalan (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji.”(30)
Dan firman-Nya, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr (Alquran) agar kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar mereka berpikir.”(31)
Serta, “Maka apakah mereka tidak merenungkan Alquran? Kalau sekiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, pastilah mereka menemukan pertentangan yang banyak di dalamnya. Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka menyebarkannya. Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, niscaya orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka…”(32)
Dan firman Allah, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”(33)
Ayat-ayat ini secara gamblang menegaskan pentingnya merujuk kepada Rasulullah saw untuk memahami Alquran dan untuk mengetahui rincian syariat Islam yang tidak dijelaskan secara lengkap dalam Alquran, namun dijelaskan oleh Nabi saw.
Contoh paling nyata: Salat wajib lima waktu—kita mengetahui kewajibannya dari Alquran, tetapi jumlah rakaatnya, tata cara dan waktunya hanya dapat diketahui melalui Nabi saw, guru pertama Alquran dan Islam, dan setelah beliau, Ahlulbaitnya yang suci, sebagaimana beliau wasiatkan agar umat mengikuti mereka.
Contoh sejarah: Umar bin Khaththab tidak memahami ayat tertentu.
Sejarah mencatat bahwa Umar bin Khaththab, orang yang paling vokal dalam mengatakan “Cukuplah bagi kami kitab Allah,” ternyata kesulitan memahami ayat Alquran, “Wa fākihatan wa abban.”(34)
Riwayat dari Hakim dalam al-Mustadrak: Diriwayatkan dari Anas ra, dia berkata, “Umar bin Khaththab ra membaca ayat ini, lalu sebagian orang membacanya dengan satu cara, yang lain dengan cara lain. Umar berkata, ‘Tinggalkanlah hal ini! Kami beriman bahwa semuanya berasal dari Tuhan kami.’”
Hadis ini sahih sanadnya menurut syarat Imam Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya.(35)
Juga diriwayatkan dari Umar, dia membaca ayat, “Dan Kami tumbuhkan biji-bijian di dalamnya, anggur, sayur-sayuran, zaitun, kurma, kebun-kebun yang lebat, buah-buahan dan abb (makanan ternak).”(36) Lalu dia berkata, “Semua ini kami tahu. Tapi, apa itu ‘abb’?” Kemudian dia memukulkan tongkatnya dan berkata, “Demi Allah! Ini adalah bentuk takalluf (membebani diri). Ikutilah apa yang telah jelas bagi kalian dalam kitab ini!” Ini adalah hadis yang sahih menurut syarat (kriteria) Imam Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya.(37)
Juga disebutkan oleh Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur bahwa kejadian ini terjadi saat Umar sedang berkhotbah di atas mimbar, ketika seseorang bertanya kepadanya tentang makna “abb”.
Perawi berkata, “Sa’id bin Manshur, Ibnu Jarir, Ibnu Sa’d, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman, Khatib dan Hakim (yang mensahihkannya) meriwayatkan dari Anas bahwa Umar membaca di atas mimbar ayat, ‘Maka Kami tumbuhkan di dalamnya biji-bijian, anggur dan sayur-sayuran…’ hingga firman-Nya, “dan abb (tanaman).”(38) Umar lalu berkata, “Semua ini kami tahu. Tapi apa itu ‘abb’?” Kemudian dia menggoyangkan tongkat yang ada di tangannya dan berkata, “Inilah, demi Allah, sikap yang berlebihan (takalluf). Tidak masalah jika kita tidak mengetahui makna ‘abb’. Ikutilah apa yang telah dijelaskan dalam Alquran, dan amalkanlah. Adapun yang tidak kalian ketahui, serahkanlah kepada Tuhannya.”(39)
Juga diriwayatkan oleh Abd bin Humaid dari Abdurrahman bin Yazid, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Umar tentang makna kata ‘abb’, maka ketika Umar melihat mereka membicarakannya, beliau mendekati mereka sambil membawa cambuk (dan menghardik mereka).
Demikian pula diriwayatkan oleh Abd bin Humaid dan Ibnul Anbari dalam al-Mashahif, dari Anas, bahwa Umar membaca ayat, “Buah-buahan dan abb…”(40) lalu berkata, “Buah-buahan ini kami tahu, lalu apa itu ‘abb’? Kita telah dilarang dari bersikap berlebihan (takalluf)!”
Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Abu Wa’il, bahwa Umar ditanya tentang ayat, “Wa abbā,” dan Umar menjawab, “Kita tidak dibebani (untuk mengetahui) hal ini!”
Diriwayatkan dalam Kanz al-Ummal, dari Anas, yang berkata, “Umar membaca ayat, ‘Wa fākihatan wa abban,’ lalu dia berkata, ‘Ini (yang dimaksud dengan) buah-buahan telah kami ketahui, maka apakah ‘abb’ itu?’ Kemudian dia berkata, ‘Cukup! Kita dilarang untuk memaksakan diri (bertakalluf).’”
Dan dalam lafaz lain, “Kemudian dia berkata, ‘Sesungguhnya ini adalah bentuk takalluf (memaksakan diri dalam sesuatu yang tidak perlu). Wahai Umar! Apa urusanmu bila kamu tidak tahu apa itu ‘abb’? Ikutilah apa yang telah dijelaskan kepada kalian dari kitab ini, dan amalkanlah. Adapun yang tidak kalian ketahui, serahkanlah kepada ahlinya (orang yang berilmu).’”(40)
Demikianlah berbagai riwayat yang menunjukkan bahwa Umar bin Khaththab menolak pembahasan mendalam terhadap sebagian kata dalam Alquran, khususnya kata “abb”. Bahkan, beliau menganggap bahwa bertanya dan berdiskusi soal itu termasuk dalam perbuatan takalluf (sikap berlebihan) yang dilarang.
Sebagian orang mungkin mengkritik Umar karena tidak mengetahui makna sebagian kata dalam Alquran. Namun, hal ini hanya menjadi masalah bagi mereka yang meyakini bahwa imam atau khalifah harus maksum (terjaga dari kesalahan) dan harus menjadi orang yang paling berilmu di zamannya, sebagaimana diyakini oleh kaum Syiah terhadap para Imam dari Ahlulbait Nabi as. Bila kejadian ini terjadi pada salah satu dari mereka, niscaya dianggap mencederai keilmuan dan kemaksumannya.
Namun menurut keyakinan Ahlusunnah, khalifah tidak disyaratkan untuk maksum dan tidak perlu menjadi orang yang paling berilmu. Mereka sendiri meriwayatkan bahwa Umar sering kali menyatakan bahwa Ali dan sahabat lain lebih berilmu darinya dalam beberapa bidang.
Apakah Bertanya tentang Alquran Itu Takalluf (Berlebihan)?
Yang menjadi fokus kita di sini adalah sikap Umar terhadap penelitian ilmiah dalam memahami Alquran. Dalam riwayat-riwayat tadi, tampak bahwa beliau berkata:
- “Ini adalah takalluf.”
- “Ikutilah apa yang telah dijelaskan dalam Alquran dan amalkanlah.”
- Bahkan, ketika ada yang bertanya tentang makna “abb”, Umar mendekati mereka dengan membawa cambuk!
Maka, apakah bertanya tentang makna kata dalam Alquran dianggap sebagai sikap berlebihan (takalluf) yang dilarang dalam syariat?
Dan apakah seorang penguasa muslim boleh menghukum atau memukul para sahabat atau ulama yang tengah berdiskusi ilmiah mengenai tafsir kata dalam Alquran?
Jika demikian, maka kejadian ini seolah menunjukkan bahwa Umar berfatwa bahwa meneliti tafsir Alquran adalah haram dan layak dihukum!(41)
Kontradiksi dengan Slogan “Cukup Alquran Saja”
Sungguh mengherankan, ketika seseorang berkata, “Cukup bagi kami Alquran!”
Namun ternyata ia tidak memahami makna kata-kata dalam Alquran itu sendiri!
Lebih mengejutkan lagi, ia menyerukan untuk meninggalkan sunnah Nabi saw, namun pada saat yang sama melarang orang lain meneliti makna ayat-ayat Alquran!
Padahal, dalam Alquran terdapat ayat-ayat mutasyabihat (samar) dan musykilat (sulit dipahami), yang tidak dapat dipahami kecuali dengan petunjuk wahyu, yakni melalui Nabi saw dan keluarganya yang suci (Ahlulbait), sebagaimana telah beliau perintahkan kepada umatnya.
Sabda Nabi saw dalam Khotbah Ghadir tentang Tafsir Alquran
Dalam khotbah Nabi saw pada hari Ghadir, beliau bersabda, “Wahai manusia! Renungkanlah Alquran, pahamilah ayat-ayatnya, dan perhatikanlah ayat-ayat yang muhkam, serta jangan ikuti ayat-ayat yang mutasyabihat. Demi Allah! Tidak ada yang akan menjelaskan larangannya dan tidak akan menerangkan tafsirnya kecuali dia yang tanganku pegang dan kuangkat bersamaku serta kuperkenalkan, ‘Siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya juga! Dia adalah Ali bin Abi Thalib, saudaraku, wasiku. Kewajiban mencintainya adalah dari Allah yang telah menurunkannya kepadaku.”(42)
Nabi saw Dan Ahlulbait as adalah Penafsir Alquran
Karena itu, umat Islam harus merujuk kepada Nabi saw untuk memahami tafsir Alquran, dan setelah wafatnya Nabi, mereka wajib merujuk kepada Ahlulbait yang suci, sebagaimana dinyatakan oleh Alquran dan hadis-hadis Nabi saw, seperti hadis Tsaqalain dan lainnya.
Contoh Ayat yang Menunjukkan Kemuliaan Ahlulbait: Ayat Tathir
Salah satu contoh adalah Ayat Tathir, “Sesungguhnya Allah menghendaki untuk menghilangkan dosa dari kalian wahai Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.”(43)
Kisah Sebab Turunnya Ayat Tathir
Menurut banyak sumber hadis dan tafsir, ayat ini diturunkan untuk:
- Nabi Muhammad saw
- Imam Ali bin Abi Thalib as
- Sayidah Fathimah Zahra as
- Imam Hasan bin Ali as
- Imam Husain bin Ali as.
Dalam Shahih Muslim, dari Shafiyah binti Syaibah, beliau berkata, “Rasulullah saw keluar pada pagi hari dengan mengenakan mantel hitam(44) dari bulu,(45) lalu datanglah Hasan bin Ali dan beliau memasukkannya, kemudian datang Husain lalu beliau ikutkan, lalu datang Fathimah dan beliau ikutkan, kemudian datang Ali dan beliau ikutkan, lalu beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah hanya ingin menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya’.”(46)
Dalam Musnad Ahmad bin Hambal, diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa, “Nabi saw sedang berada di rumahnya. Lalu datanglah Fathimah membawa sebuah periuk berisi khazirah (sejenis makanan dari daging dan gandum).(47) Dia masuk dan membawanya kepada Nabi saw. Nabi saw bersabda kepadanya, ‘Panggillah suamimu dan kedua anakmu.’ Fathimah kemudian memanggil Ali, Hasan, dan Husain, lalu mereka masuk dan duduk bersama Nabi untuk makan dari khazirah itu, sedangkan Nabi saw berbaring di atas sehelai alas dari kulit yang di bawahnya ada kain dari Khaibar. Ummu Salamah berkata, ‘Aku sedang shalat di kamar.’ Kemudian Allah menurunkan ayat, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlulbait, dan menyucikan kalian dengan sesuci-sucinya.’ Ummu Salamah berkata, ‘Lalu Nabi saw mengambil sisa kain itu dan menutup mereka (Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain) dengannya. Lalu beliau mengangkat tangannya ke langit dan berkata, ‘Ya Allah! Mereka adalah Ahlulbaitku dan orang-orang khusus bagiku, maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’ Kemudian aku (Ummu Salamah) menyelipkan kepalaku ke dalam rumah dan bertanya, ‘Apakah aku termasuk bersama kalian, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Engkau berada di atas kebaikan. Engkau berada di atas kebaikan.’”(48)
Banyaknya Riwayat tentang Ayat Tathhir
Terdapat banyak hadis dengan redaksi yang beragam mengenai Ayat Tathhir ini yang diriwayatkan dalam lebih dari 50 kitab tafsir dan hadis. Beberapa di antaranya:
- Tirmizi (w.279 H), dalam Shahih-nya, jilid 4, halaman 351, hadis ke-3205.
- Hakim Hasakani, abad ke-5 H, dalam Syawahid al-Tanzil, jilid 2, halaman 13.
- Hakim Naisaburi (w.405 H), dalam al-Mustadrak ‘ala al-Shahihayn, jilid 3, halaman 146–147.
- Ibnu Atsir (w.630 H), dalam Usdu al-Ghabah, jilid 7, halaman 343.
- Wahidi Naisaburi (w.468 H), dalam Asbab al-Nuzul, halaman 203.
- Ibnu Hajar Asqalani (w.852 H), dalam al-Iṣhabah fi Tamyiz al-Shahabah, jilid 4, halaman 568.
Poin-Poin Penting
Perlu di sini untuk menunjukkan beberapa poin penting, yaitu:
- Sesungguhnya ayat ini menunjukkan kepada kemaksuman Ahlulbait as, karena yang dimaksud dengan “rijs” (kekotoran) adalah segala bentuk dosa, kesalahan, dan kenajisan. Sedangkan yang dimaksud dengan pensucian “tathīr” adalah pembersihan dari segala macam maksiat dan dosa, serta penyucian dari semua jenis kenajisan dan kekotoran.(49)
- Sesungguhnya keinginan untuk menyucikan dalam ayat ini dikhususkan kepada Ahlulbait as saja, tidak kepada yang lain, karena ayat ini diawali dengan kata pembatas “innamā” (hanya saja).
- Bahwa pengkhususan lima orang ini (Ahlul Kisa’) dengan kedudukan yang tinggi dan mulia ini bukanlah secara kebetulan, melainkan merupakan ungkapan dari sebuah persiapan Ilahi yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi keberlanjutan dalam gerakan risalah (kenabian). Dan eksistensi ini tidak dapat diwakili kecuali oleh Ahlulbait as, karena mereka memiliki seluruh karakteristik dan kapasitas yang membuat mereka layak untuk itu.
Hadis Tsaqalain (Dua Pusaka Agung)
Hadis Tsaqalain (Hadis Dua Peninggalan Berharga)(50) yang masyhur dianggap sebagai salah satu dari 50 hadis mutawatir (yang diriwayatkan oleh banyak perawi dari berbagai jalur) yang paling penting dan paling sahih sanadnya, yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw.
Rasulullah saw telah menyampaikan hadis ini di berbagai tempat dan dalam berbagai kesempatan.
Hadis Tsaqalain ini telah diriwayatkan oleh 35 sahabat Nabi saw,(51) dan juga diriwayatkan oleh para huffaz (penghafal hadis) serta muhadditsin (ahli hadis) dalam kitab-kitab Shahih dan Musnad mereka.(52)
Ini juga termasuk hadis penting dan krusial yang telah dicatat dalam puluhan sumber hadis Ahlusunnah, termasuk dalam kitab-kitab hadis, sunan, tafsir, sejarah, dan bahasa secara mutawatir, selain juga dicatat oleh sumber-sumber Syiah yang juga meriwayatkan hadis ini secara mutawatir.(53)
Sebab Penamaan Hadis Ini dengan “Tsaqalain”
Adapun sebab dinamakan hadis ini dengan “Tsaqalain” (Dua Peninggalan Berharga) adalah karena terdapat kata “al-Tsaqalain”(54) di dalamnya. Yang dimaksud dengan Tsaqalain di sini adalah,
- Alquran al-Karim, yang merupakan tsaqal (peninggalan) yang lebih besar.
- Itrah Nabawiyah yang suci (Ahlulbait as), yang merupakan tsaqal (peninggalan) yang lebih kecil.
Teks Hadis Tsaqalain
Para perawi telah meriwayatkan hadis ini dengan beragam redaksi (lafal), namun makna dan kandungannya tetap sama. Mungkin perbedaan redaksi ini dikarenakan Rasulullah saw menyampaikan hadis ini dalam berbagai bentuk di berbagai tempat dan kesempatan.
Berikut ini adalah dua contoh redaksi dari hadis yang diriwayatkan. Bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak versi redaksi dari hadis ini, silakan merujuk ke Risalah Hadits al-Tsaqalain yang diterbitkan oleh Dar al-Taqrib bayna al-Madzahib al-Islamiyyah di Kairo.(55) Adapun teks hadis tersebut adalah:
Model Pertama
Diriwayatkan oleh Muslim dari Zaid bin Arqam, dia berkata, “Suatu hari, Rasulullah saw berdiri di antara kami berkhotbah di suatu tempat bernama Khumm, antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, menasihati kami, lalu berkata, ‘Wahai manusia! Aku hanyalah manusia biasa. Sebentar lagi utusan Tuhanku akan datang (malaikat maut) dan aku akan menyambutnya. Aku tinggalkan di tengah kalian dua peninggalan berat: yang pertama adalah Kitabullah, yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka berpeganglah padanya.’ Kemudian beliau menambahkan, ‘Dan (yang kedua) adalah Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku (diulang tiga kali).’”(56)
Model Kedua
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Khudri bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya aku akan segera dipanggil dan aku akan memenuhinya. Aku tinggalkan di tengah kalian dua peninggalan berat: Kitabullah yang merupakan tali yang terbentang dari langit ke bumi, dan Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui telah mengabarkan kepadaku bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai datang kepadaku di Telaga Haudh. Maka lihatlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya setelahku.”(57)
Siapakah Ahlulbait Itu?
- Dari Aisyah:
“Nabi saw keluar pagi hari dengan mengenakan mantel hitam(58) dari kain wol.(59) Hasan datang dan beliau masukkan ke dalam mantel, lalu Husain, kemudian Fathimah, kemudian Ali. Lalu beliau membaca ayat, ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kalian wahai Ahlulbait dan menyucikan kalian dengan sesuci-sucinya’.”(60)
- Dari Ummu Salamah:
Ia berkata, “Di rumahku ayat ini diturunkan, ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlulbait…’ Maka Rasulullah saw memanggil Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, dan bersabda, ‘Mereka inilah Ahlulbaitku.”(61)
- Dari Umar bin Abu Salamah, anak tiri Nabi saw, dia berkata,
“Ketika ayat ini turun kepada Nabi saw, ‘… Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya’—yang diturunkan di rumah Ummu Salamah—Nabi saw pun memanggil Fathimah, Hasan, dan Husain, dan Ali berada di belakangnya. Beliau menyelimuti mereka dengan kain (kisa’), lalu berkata, ‘Ya Allah! Mereka inilah Ahlulbaitku. Maka hilangkanlah dari mereka dosa dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’ Ummu Salamah pun berkata, ‘Apakah aku juga bersama mereka, wahai Nabi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Tetaplah kamu di tempatmu, dan sesungguhnya kamu berada dalam kebaikan.’”(62)
Ya, Rasulullah saw telah secara tegas menyatakan maksudnya dari istilah Ahlulbait, dan menjelaskannya saat beliau berkata, “Setiap nabi memiliki keluarga (Ahl) dan peninggalan berat (thiql), dan mereka (yakni Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain) adalah Ahlulbaitku dan peninggalanku.”(63)
Dan beliau juga bersabda, “Sebagaimana para nabi terdahulu memiliki peninggalan berat, maka sesungguhnya Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain adalah Ahlulbaitku dan peninggalanku.”(64)
Kapan Nabi saw Menyampaikan Hadis Ini?
Rasulullah saw menyampaikan hadis ini dalam berbagai kesempatan, antara lain:
- Setelah kembali dari Thaif
- Pada hari Arafah saat Haji Wada’
- Pada peristiwa Ghadir Khum
- Di atas mimbar di Madinah
- Di kamar beliau yang mulia, ketika beliau sedang sakit dan kamar tersebut penuh dengan orang-orang
Apa yang Bisa Disimpulkan dari Hadis Tsaqalain?
Banyak poin yang bisa diambil dari hadis Tsaqalain (Hadis Dua Peninggalan Berharga), di antaranya:
- Keterikatan dan keterkaitan antara Alquran dan Ahlulbait yang suci as.
- Sebagaimana Alquran tidak akan tersentuh kebatilan dari depan maupun dari belakang, begitu pula Ahlulbait as adalah maksum (terjaga dari dosa). Jika tidak, maka akan terjadi perpisahan antara keduanya, padahal Nabi telah menegaskan, “Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga datang kepadaku di Telaga Haudh.”
- Berpegang teguh pada Alquran dan Ahlulbait as secara bersamaan adalah penyelamat dari kesesatan, dan jaminan untuk tidak menyimpang dari jalan Ilahi. Seperti halnya berpegang pada Alquran berarti mengikuti ajaran-ajarannya, begitu pula berpegang pada Ahlulbait berarti mengikuti ajaran mereka as.
Dari sudut pandang inilah, maka kaum Syiah Ahlulbait as sangat menjaga untuk menuliskan dan mendokumentasikan hadis-hadis suci dengan teliti dan amanah, sejak zaman Nabi saw hingga hari ini, meskipun menghadapi berbagai kesulitan dan bahaya, serta harus menanggung banyak penderitaan demi hal tersebut.
Dalam hal keabsahan dan pentingnya, perbuatan dan ketetapan (taqrir) dari seorang maksum as sejajar dengan sabdanya.(65)[SM]
Referensi:
- al-Ankabut [29]:51, halaman 402.
- Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa air mata Ibnu Abbas mengalir sampai membasahi kerikil saat dia menyebut Tragedi Hari Kamis, dan berkata, “Sesungguhnya tragedi, seluruh tragedi adalah yang menghalangi Rasulullah saw menuliskan surat untuk mereka karena perbedaan pendapat dan keributan mereka” (Shahih Bukhari, jilid 4, halaman 121).
- Sayid Muhammad Ridha Husaini Jalali, Difa’ ‘an Alquran al-Karim al-Jami’ Likalimah al-Muslimin ‘ala Kalimah al-Tawhid, halaman 12.
- Nazhariyyah ‘Adalah al-Shahabah, halaman 178–180.
- Shahih Bukhari, Kitab al-Marḍha Bab Qawl al-Mariḍh: Qumu ‘anni, jilid 7, halaman 9. Juga Shahih Muslim di akhir Kitab al-Washiyyah, jilid 5, halaman 75, dan Syarah Shahih Muslim oleh Nawawi, jilid 11, halaman 95, serta Musnad Imam Ahmad, jilid 4, halaman 356, hadis ke-2992, dan Syarah Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid, jilid 6, halaman 51.
- Shahih Bukhari, jilid 4, halaman 31; Shahih Muslim, jilid 3, halaman 16; Musnad Ahmad, jilid 1, halaman 222, dan jilid 3, halaman 286.
- Shahih Muslim: 2, halaman 16; 11, halaman 94–95 (Syarah Nawawi); Musnad Ahmad, jilid 1, halaman 355; Tarikh Thabari, jilid 2, halaman 193; Ibnu Atsir, al-Kamil, halaman 320.
- Shahih Bukhari, jilid 1, halaman 37.
- Shahih Bukhari, jilid 5, halaman 137; Tarikh Thabari, jilid 3, halaman 192–193.
- Shahih Bukhari, jilid 2, halaman 132; 4, halaman 65–66.
- Shahih Bukhari, jilid 8, halaman 161.
- Tadzkirah al-Khawash karya Sibth Ibnul Jauzi Hanafi, halaman 62; Sirr al-’Ālamīn karya Abu Hamid Ghazali, halaman 21.
- Nahj al-Balaghah, halaman 465.
- Syarah Nahj al-Balaghah karya Ibnu Abil Hadid, jilid 3, halaman 114, baris ke-27, cetakan pertama Mesir, dan cetakan offset Beirut; juga, jilid 12, halaman 79, baris ke-3, edisi Muhammad Abul Fadhl; serta, jilid 3, halaman 803 (Dar Maktabah al-Hayah) dan, jilid 3, halaman 167 (Dar al-Fikr).
- Khalifah Kedua (Umar bin Khaththab) mengakui keterbatasan ilmunya, dengan berkata, “Semua orang lebih fakih darimu, wahai Umar, bahkan para wanita di balik hijab itu.” Lihat al-Durr al-Mantsur karya Suyuthi, jilid 2, halaman 133.
- Sayid Ali Syahrastani, Man’u Tadzwin al-Hadits, halaman 46.
- Tadzkirah al-Huffazh, jilid 1, halaman 32; Hujjiyah al-Sunnah, halaman 394.
- Tadzkirah al-Huffazh, jilid 1, halaman 5; al-I’tisham Bihablillah al-Matin, jilid 1, halaman 30; Hujjiyah al-Sunnah, halaman 394.
- Al-Jami’ Liakhlaq al-Rawi, karya Khatib, jilid 1, halaman 331, hadis ke-409.
- Ibid, jilid 1, halaman 332, hadis ke-411.
- Jami’ Bayan al-’Ilm, karya Qurthubi, jilid 2, halaman 125.
- Ibid, jilid 2, halaman 129.
- Difa’ ‘an Alquran, halaman 9.
- Lihat: Difa’ ‘an Alquran al-Karim al-Jami’ Likalimah al-Muslimin ‘ala Kalimah al-Tawhid, halaman 14.
- Ibid, halaman 10, dikutip dari Al-Quraniyyun, halaman 238.
- Ibid, halaman 11.
- QS. al-Najm [53]:3–4, halaman 526.
- Diriwayatkan oleh Muslim, jilid 7, halaman 122. Lihat juga Tadwin al-Sunnah al-Syarifah.
- QS. al-Nahl [16]:64, halaman 273.
- QS. Ibrahim [14]:1, halaman 255.
- QS. al-Nahl [16]:44, halaman 272.
- QS. al-Nisa’ [4]:82–83, halaman 91.
- QS. al-Hasyr [59]:7, halaman 546.
- QS. Abasa [80]:31, halaman 585.
- Hakim, al-Mustadrak, jilid 2, halaman 290.
- QS. Abasa [80]:27–31, halaman 585.
- Ibid, jilid 2, halaman 514.
- QS. Abasa [80]:27–28, halaman 585.
- Ad-Durr al-Mantsur, jilid 6, halaman 317.
- Kanz al-Ummal, jilid 2, halaman 328.
- Lihat Tadwin Alquran, Bab Tujuh, karya Syekh Ali Kurani.
- Al-Ihtijaj, jilid 1, halaman 60.
- QS. al-Ahzab [33]:33, halaman 422.
- Mirth: Kain dari wol, sutra, atau linen yang digunakan seperti sarung.
- Murahhal: Jenis kain tenun dari Yaman.
- Shahih Muslim, jilid 4, halaman 1883, hadis ke-2424, cetakan Beirut.
- Khazirah: Sup dari daging dan tepung.
- Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 6, halaman 292, cetakan Beirut.
- Lihat Tafsir al-Durr al-Mantsur dan cermati hadis-hadis yang dicantumkan oleh penulis mulia saat membahas ayat tersebut.
- Tsaqalain: Jika dibaca dengan harakat “Tsaqalain” (berasal dari tsaqal, artinya beban, perbekalan), berarti harta perjalanan. Jika dibaca “Tsiqalain” (berasal dari tsiqal, lawan dari ringan), berarti sesuatu yang berat. Maka maksud hadis di sini adalah bahwa berpegang teguh kepada keduanya (Alquran dan Ahlulbait) adalah sesuatu yang berat (berat tanggung jawabnya).
- Perlu dicatat bahwa yang diharapkan adalah jumlah perawi hadis Tsaqalain seharusnya jauh lebih banyak dari jumlah yang ada, sebagaimana jelas bagi yang menelusuri berbagai versi hadis ini yang berbeda lafaz namun satu makna. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi saw menyampaikan makna ini dalam banyak kesempatan. Sedikitnya jumlah perawi kemungkinan karena tekanan dan larangan dari penguasa zalim terhadap para perawi hadis yang menyebutkan keutamaan Ahlulbait as.
- Hadis ini diriwayatkan oleh para ulama besar berbagai mazhab, baik klasik maupun kontemporer, dalam kitab-kitab sahih, sunan, musnad, tafsir, sirah, sejarah, bahasa, dan lainnya. Untuk detailnya, lihat Risalah Hadis Tsaqalayn, halaman 5, terbitan Dar al-Taqrib Bain al-Madzahib al-Islamiyyah, Kairo, cetakan 1374 H, 1955 M.
- Allamah Sayid Mir Hamid Husain Hindi (rahimahullah) meriwayatkan hadis ini dari sekitar 200 ulama besar dari mazhab-mazhab yang berbeda mulai abad ke-2 hingga abad ke-13 Hijriah, serta dari lebih dari 30 sahabat laki-laki dan perempuan. Lihat Hadits al-Tsaqalayn, halaman 9, terbitan Dar al-Taqrib, Kairo, cetakan 1374 H, halaman 1955 M.
- Hadis ini juga dikenal dengan nama Hadits al-Tamasuk (hadis tentang berpegang teguh).
- Lihat Risalah al-Hadits al-Tsaqalayn yang dicetak tahun 1374 H, 1955 M, Kairo, Mesir. Risalah ini mencantumkan hadis tersebut dari 40 sumber terpercaya. Juga, Allamah Sayid Mir Hamid Husain Hindi (rahimahullah) telah mengumpulkan sanad dan matan hadis ini dalam 6 jilid dari karya terkenalnya, ‘Abaqat al-Anwar.
- Shahih Muslim, jilid 4, halaman 1873, hadis ke-2408, cetakan Abdul Baqi; juga cetakan Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi dan Dar al-Qalam, Beirut, Lebanon.
- Musnad Ahmad, hadis ke-10707. Di catatan kaki CD hadis disebutkan bahwa “Tsaqalain” maksudnya adalah Kitabullah dan Ahlulbait Nabi, “‘Itrati” adalah Ahlulbaitku. Juga rujuk Shahih Muslim, jilid 4, halaman 1873 dari Zaid bin Arqam.
- Mirth: Pakaian dari wol, sutra, atau linen yang dipakai seperti sarung.
- Murahhal: Jenis kain tenun dari Yaman.
- Shahih Muslim (Kitab: Fadhail al-Shahabah, Bab: Keutamaan Ahlulbait Nabi), jilid 4, halaman 1883, hadis ke-2424, cetakan Beirut.
- Hakim Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain (Kitab: Ma’rifah al-Shahabah), jilid 3, halaman 146, dan Hakim berkata, “Hadis ini sahih sesuai syarat Bukhari, namun tidak diriwayatkan olehnya,” cetakan Beirut, halaman Lebanon.
- Shahih Tirmizi (Kitab: Tafsir Alquran), jilid 5, halaman 351, hadis ke-3105; juga dalam (Kitab: Manaqib, Bab Manaqib Ahlulbait), jilid 5, halaman 663, hadis ke-3787, cetakan Beirut, halaman Lebanon.
- Majma’ al-Bahrain, jilid 5, halaman 330.
- Ibid, jilid 5, halaman 331.
- Kemudian, fikih Islam Syiah Imamiyah tidak hanya mengambil sumber materinya dari dua sumber tersebut (yaitu Alquran dan sunah), tetapi juga dari akal dalam kerangka tertentu, seperti pada pembahasan hubungan-hubungan logis (aqliyah), misalnya hubungan antara kewajiban suatu hal dengan kewajiban pendahuluannya, atau hubungan antara keharaman suatu hal dengan keharaman lawannya, atau keharaman suatu hal dengan kebatalannya, serta bergantungnya keberlakuan taklif (kewajiban hukum) pada adanya penjelasan (bayan), dan keburukan menghukum tanpa penjelasan, serta keharusan keyakinan dalam tanggungan (syakl al-yaqin) agar bisa berlepas diri secara pasti (bara’ah qath’iyah), dan lain-lain yang dibahas dalam bab-bab hubungan logis (aqliyah).
Demikian juga, fikih Syiah Imamiyah juga mengambil sumber materinya dari ijmak (konsensus para fukaha) yang menunjukkan adanya nas (teks, dalil) yang datang dari yang maksum as dalam suatu permasalahan, walaupun teks tersebut tidak sampai ke tangan mujtahid dan ia tidak mengetahui dasar dari ijmak tersebut.
Itulah prinsip-prinsip terpenting yang menjadi dasar bangunan fikih Islam Syiah Imamiyah (lihat: Tadzkirah al-A’yan, halaman 226–227).
Dengan demikian, sumber-sumber fikih Imamiyah adalah:
- Alquran al-Karim, yang tidak akan dialihkan kepada sumber lain selamanya.
- Sunah Nabi, yang diriwayatkan dari Nabi saw melalui jalur Ahlulbait yang suci, bahkan juga melalui perawi lain yang tepercaya.
Adapun rahasia keterikatan Syiah pada riwayat Ahlulbait as adalah karena apa yang mereka riwayatkan pasti bersumber dari Nabi saw dengan sanad yang terpercaya dan tidak diragukan, ditambah lagi dengan wasiat Nabi saw untuk mengikuti mereka (Ahlulbait).
- Ijmak, yakni kesepakatan kaum muslim atas suatu hukum syar’i, atau ijmak dari kalangan Syiah Imamiyah, yang dalam hal ini menjadi indikator adanya nas yang sampai kepada orang-orang yang berijmak, meskipun nash tersebut tidak sampai kepada kita. Maka, ijmak itu sendiri bukanlah hujah (dasar hukum) secara independen, namun menjadi hujah karena menunjukkan adanya dalil syar’i yang dimiliki oleh para pelakunya.
- Akal, yaitu pemahaman akal yang bersifat pasti dan tidak diragukan atau diperdebatkan kebenarannya. Bagaimana tidak, akal adalah hujah batiniah yang dijadikan Allah sebagai dasar argumentasi terhadap hamba-hamba-Nya. Maka, melalui hukum akal yang memiliki kewenangan untuk menetapkan dan memutuskan, dapat disimpulkan hukum syar’i, karena adanya hubungan erat antara hukum akal dan hukum syariat, serta mustahil keduanya terpisahkan. Contohnya, apabila akal secara independen menetapkan bahwa menghukum tanpa adanya penjelasan adalah perbuatan buruk, maka mujtahid akan berfatwa dengan bara’ah (pembebasan tanggungan) atau halal pada perkara-perkara yang tidak terdapat dalil syar’i mengenai hukumnya.
Inilah sumber-sumber legislasi (penetapan hukum) dalam mazhab Syiah. Tidak ada sumber lain yang dijadikan sandaran (lihat: Tadzkirat al-A’yan, hal. 226–227).
Adapun rujukan kepada uruf (kebiasaan sosial, halaman adat) hanyalah sebatas untuk menentukan makna istilah dan menjelaskan penggunaan kata, sebagaimana merujuk kepada pendapat ahli bahasa.
Ya, sejak masa awal, Syiah telah menolak metode qiyas (analogi), istihsan (preferensi pribadi), sadd dzari’ah (menutup celah, halaman cara yang dapat mengarah kepada sesuatu yang haram), dan metode lainnya yang bersifat zhanni (dugaan semata), karena tidak ada dalil yang sah menurut mereka tentang keabsahan metode-metode tersebut (lihat: Rasail wa Maqalat, halaman 68–69).