Abdullah seperti ayahandanya, Abu Thalib dan bersama dengan ayahandanya, masuk Islam beberapa waktu sebelum Fathu Makkah dan setelah Fathu Makah ia bersama dengan Nabi Muhammad Saw ikut serta dalam perang Hunain dan Thaif.[3] Sebagian literatur, khususnya Ahlusunah sangat banyak menukil riwayat dari Ibnu Abbas. Nukilan ini sebagian besarnya merupakan doa-doa yang dipanjatkan Nabi Muhammad Saw untuk Abdullah bin Abbas, seperti ketika Abdullah bin Abbas lahir, ayahandanya membawanya ke hadapan Nabi Muhammad Saw. Nabi-pun mencium anak itu dan mengusapnya di bagian wajah dan tangannya kemudian berdoa: “Tuhanku, penuhilah ia dengan ilmu dan pemahaman dan jadikan ia termasuk hamba-hamba yang saleh.”[4]
Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw berdoa: “Anugerahkanlah ilmu dan hikmah kepada Ibnu Abbas.”[5] Karena berbagai sebab ia menjadi sosok yang diterima dan luar biasa yang dapat diterima baik oleh Syiah maupun Ahlusunah. Keunggulan pribadi Ibnu Abbas dapat dilihat dari sisi bahwa ia seorang sahabat, memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi Muhammad Saw, doa Nabi Saw untuknya, memperoleh ilmu dari Imam Ali, menyebarkan ilmu itu dan lainnya.
Dua mazhab besar Islam, banyak menggunakan nukilan-nukilan dan pendapat-pendapat Ibnu Abbas. Sumber-sumber riwayat dan tafsir Syiah[6] dan juga Ahlusunah[7] sangat banyak menukil riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas dan hal ini menunjukkan kedalaman ilmunya. Dengan dalil ini sebagian kaum muslimin mengenalnya sebagai “tinta umat”.
Meskipun ia sangat dikenal dalam aspek ilmiah, namun kehidupan politiknya patut dipertimbangkan. Ia selama masa tiga kekhlaifahan pertama, karena umurnya yang masih muda, tidak memiliki kesempatan untuk berbuat banyak guna menunjukkan kemampuannya namun pada tahun-tahun kekhalifahan Usman, ia bertanggung jawab terhadap urusan haji.[8] Puncak keterlibatan Ibnu Abbas pada urusan politik terjadi pada masa kekhilafahan Imam Ali.Ibnu Abbas dan Imam Ali As
Setelah Imam Ali menjabat sebagai khalifah, Abdullah bin Abbas terpilih sebagai gubernur Syam dan Imam Ali memerintahkan supaya menjadi pemimpin di daerah itu. Namun Ibnu Abbas tidak mengabulkan permintaan Imam Ali dan kepada beliau ia berkata: “Dari sisi bahwa Muawiyah merupakan bagian dari Bani Umayah dan keponakan Utsman serta menjadi penguasa di Syria, maka aku tidak akan pernah merasa aman. Meskipun ia tidak membunuhku maka ia akan memenjarakanku.”[9]
Setelah itu, Imam Ali As memerintahkan Ibnu Abbas menjadi gubernur di Yaman.[10] Dengan meletusnya peperangan yang dipaksakan atas Imam Ali As, Ibnu Abbas pun dengan cekatan menolong Imam Ali dan ia turut serta dalam tiga peperangan: Jamal, Shiffin dan Nahrawan.[11]
Pada perang Jamal, ia berdialong dengan pihak lawan dan juga membawa pesan Imam Ali As kepada Zubair.[12] Setelah perang selesai, sesuai dengan perintah Imam Ali As, ia menjadi gubernur di Basrah.[13] Dengan semakin nyatanya perbedaan antara Imam Ali dan Muawiyah, Muawiyah dan Umar bin Ash menulis surat kepada Ibnu Abbas yang berisi ajakan Muawiyah dan Umar bin Ash untuk bergabung. Ibnu Abbas pun memperlihatkan surat itu kepada Imam Ali As dan ia pun memberikan jawaban secara tegas kepada mereka.[14]
Ibnu Abbas merupakan pengikut dan murid Imam Ali. Ia melakukan sangat banyak dialog dalam menghadapi pihak musuh. Di sini kita akan menuliskan tentang dialog Ibnu Abbas dan Aisyah, istri Nabi yang memiliki kedudukan yang sangat terhormat di antara kebanyakan kaum Muslimin sehingga akan membantu kita untuk mengenal lebih jauh tentang kepribadian dan integritasnya.
Setelah selesai perang Jamal, Imam Ali mengutus Ibnu Abbas untuk menemui Aisyah supaya kembali ke Madinah dan tidak tinggal di Basrah. Ibnu Abbas untuk menemui Aisyah minta ijin darinya, namun Aisyah tidak mengiyakan. Karena telah ditugaskan oleh Imam Ali maka Ibnu Abbas langsung memasuki rumah Aisyah dan mengambil sandaran yang ada di sana dan duduk di atasnya! Aisyah kepada Ibnu Abbas berkata: Wahai anak Abbas! Anda telah merusak sunnah dan kebiasaan yang ada dan masuk ke rumahku tanpa ijin!
Ibnu Abbas: Apabila Anda berada di rumah dimana ada Nabi Muhammad Saw di dalamnya, pasti aku tidak akan masuk tanpa ijin. Namun Anda telah membangkang Allah Swt dan Nabi-Nya dan telah keluar dari rumah itu! Bagaimanapun, Amirul Mukminin telah memerintahkan Anda untuk pulang ke Madinah dan jangan membangkang!
Aisyah: Semoga Allah Swt merahmati Amirul Mukminin! Gelar ini hanya untuk Umar bin Khatab!.
Ibnu Abbas: Aku bersumpah demi Tuhan! Bahkan jika hal ini tidak menyenangkan Anda, tetap saja Ali adalah Amirul Mukminin!
Aisyah: Aku tidak sudi mengikuti perintahmu.
Ibnu Abbas: Masa Anda berkuasa telah berakhir.
Aisyah terdiam dan menangis: Baiklah, aku akan meninggalkan kota ini, tidak ada tempat bagiku yang lebih buruk dari pada tempat dimana ada Anda, wahai Bani Hasyim!
Ibnu Abbas: Mengapa Anda berkata demikian? Segala keberkahan yang Anda miliki berasal dari kami.
Aisyah: Dengan mengatasnamakan Nabi Saw (Bani Hasyim) engkau ingin memberati aku?
Ibnu Abbas: Tentu tidak demikian. Kenapa harus mengatasnamakan beliau kami membuat Anda berat?”[15]Pada malam syahadah Amirul Mukminin, Ibnu Abbas memiliki anak dan menamakan anaknya seperti tuannya, dengan nama “Ali.”[16] Para khalifah Bani Abbasiyah berasal dari keturunan anak ini.[17]
Ibnu Abbas merupakan murid khusus Imam Ali As dan orang-orang mengenal Ibnu Abbas juga dengan ciri ini.[18] Ia tidak pernah lupa untuk bertawadhu terhadap gurunya dan ketika orang-orang bertanya kepadanya, berapakah jarak antara ilmumu dan ilmu anak lelaki pamanmu (Imam Ali As)? Maka Ibnu Abbas menjawab: “Perumpamaannya bagaikan setetes air di hadapan laut.”[19]
Demikian juga sejauh mana kepercayaan Imam Ali kepada Ibnu Abbas dalam peristiwa arbitrase (hakamiyat) antara Imam Ali As dan Muawiyah, ia adalah salah satu kandidat Imam sebagai delegasinya.[20] Namun karena sebagian orang tidak setuju dengan keputusan Imam Ali tersebut, maka Imam Ali As terpaksa memilih Abu Musa ‘Asy’ari.
Meskipun semua kebaikan-kebaikan Ibnu Abbas telah dipaparkan, namun terdapat peristiwa yang menyebabkan ia dikritik dan hal itu terjadi ketika Ibnu Abbas mengambil sebagian harta dari baitul mal dari tempat pemerintahannya (Basrah) ia kemudian pergi ke Mekkah. Perbuatan ini membuat Imam Ali As sedih dan mengkritik keras atasnya.[21]
Dalam peristiwa ini terdapat hubungan surat menyurat antara ia dan Imam Ali As yang menjadi perbedaan dalam sejarah dan bukan tempatnya di sini untuk mengurainya lebih jauh.Ibnu Abbas setelah syahadah Imam Ali As
Dengan syahadahnya Imam Ali As, kekuatan Syiah mengalami penurunan sehingga putra-putra Imam Hasan As terpaksa harus berdamai dengan Muawiyah dan mengalihkan kekhilafahannya. Setelah peristiwa ini, Ibnu Abbas juga seperti pembesar-pembesar Syiah lainnya hadir di Hijaz, tidak melakukan perlawanan terhadap Muawiyah. Ia juga tidak memberikan pelayanan kepada Muawiyah dan tidak memikul tanggung jawab sebagai apa pun. Pada masa itu, Ibnu Abbas sibuk menyebarkan ilmu-ilmu yang sebagian besarnya ia pelajari dari imamnya. Dalam peristiwa revolusi Imam Husain As, ia memperingatkan ketidaksetiaan kaum Kufah dan mengingatkan Imam Husain tentang perjalanan ini. Meskipun ia mencintai Imam Husain dalam hatinya, namun ia tidak menyertai beliau ke Karbala.[22]
Setelah syahadah Imam Husain dan kematian Yazid, Ibnu Zubair mengambil kekuasaan di Mekah. Ia menekan Ibnu Abbas dan Muhammad bin Hanafiyah supaya mengambil baiat dari mereka. Namun keduanya meminta pertolongan beberapa orang Syiah Irak untuk membebaskan diri mereka dan pada akhirnya Ibnu Abbas berhasil pergi ke Thaif dan tidak memberikan baiat kepada Zubair.[23]
Ibnu Abbas di penghujung usianya menderita buta.[24] Sebagian literatur menyatakan bahwa sebab kebutaan Ibnu Abbas di akhir kehidupannya. Literatur ini memuat hadis yang perlu diteliti kembali dan dapat dikritik dimana berdasarkan hadis ini disebutkan bahwa Ibnu Abbas pada masa mudanya melihat malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Saw dan Nabi Muhammad berkata karena ia melihat mata malaikat Jibril maka ia akan buta pada akhir kehidupannya.[25]
Ibnu Abbas akhirnya pada tahun 68 H pada usia 71 tahun meninggal dunia di Haif[26] dan Muhammad bin Hanafiyah menyolati jenazahnya.[27] [iQuest]