ICC Jakarta – Akhir-akhir ini, media massa serempak kompak memberitakan ‘penindasan’ muslim Uighur di Xinjiang. Beragam detail mengerikan untuk menggambarkan betapa mengerikannya ‘rezim komunis’ China sudah dipaparkan. MSM dan NGO milik Soros padu menyuarakan hal ini, yang kemudian ditambahi dengan bumbu-bumbu mengatasnamakan PBB.
Sekilas, China sedang menjalankan misi sucinya untuk menghilangkan Islam dari tanah Tongkok. Kita seolah mengalami deja vu. Benarkah sesederhana, dan sekeji itu?
Jikalah ada pelajaran yang bisa kita petik dari kehancuran Libya dan Syria, Xinjiang memiliki segala indikasi yang menahan jemari kita untuk tak terburu menekan tombol share.
Gelombang propaganda yang disamarkan menjadi berita oleh MSM biasanya menerjang bak badai, dan seperti kasus Libya dan Syria, kegemaran kita untuk reaktif tanpa riset saat menanggapi hal yang ‘wah’, terbukti menjadi kesalahan fatal.
Haruskah kita ulangi kebodohan yang sama?
Xinjiang, merupakan daerah otonomi khusus etnis Uyghur di China – yang memiliki perbatasan langsung dengan Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Mongolia dan dua daerah rawan di India, Jammu & Kashmir. Pendeknya, Xinjiang merupakan pintu masuk, dan pintu keluar utama dari Eurasia ke daratan China.
Menilik sejarahnya, konflik bukanlah hal baru di Xinjiang. Sejak Dinasti Qing, etnik Uyghur yang menjadi mayoritas di Xinjiang berulangkali memberontak pada penguasa, berdamai, dan kemudian memberontak lagi setiap kali ada kesempatan. Namun yang menarik, Islam sebagai ideologi bukanlah satu-satunya pemicu dari pemberontakan-pemberontakan ini. Motivasi lainnya yang tak kalah penting untuk diingat, adalah melekatnya ide Pan-Turkisme, dan Nasionalisme Uighur sendiri.
Bagi Turki, seperti dikatakan Erdogan, Xinjiang dan Uighur adalah bagian penting dari impian untuk membangkitkan Ottoman. Jauh saat pidatonya pada 1995, Erdogan menyatakan Turkistan Timur bukan hanya merupakan rumah bagi etnis Turkic, melainkan juga tempat kelahiran sejarah, peradaban dan budaya Turki. Ia juga menandaskan, “Para martir Turkistan Timur adalah martir kita juga.”
Turkistan Timur, adalah Xinjiang dan Uighur – dengan cakupan area yang lebih luas ketimbang batas provinsinya saat ini. Selain menjadi produsen minyak yang cukup signifikan di China, Xinjiang seolah tertakdir untuk memiliki banyak masalah, terutama sejak penemuan hampir 54 mineral langka di tanahnya, dan titik cadangan minyak sangat besar di lembah Janggar, yang sudah dalam radar CIA sejak 1987.
Berbatasan dengan negara-negara di titik utama Eurasia, Xinjiang menjadi jalur penghubung utama komoditi China ke Asia Selatan. Jalur minyak dan gas yang berasal dari Laut Kaspia juga melewatinya sebelum lepas di Asia-Pasifik. Xinjiang juga menjadi titik seberang proyek fiber optik ambisius yang membentang dari Shanghai, hingga Frankfurt.
Dan tentu saja, Xinjiang, merupakan titik vital One Belt One Road (OBOR). Jalur ekonomi baru yang diprediksi akan mempercepat keruntuhan hegemoni Amerika Serikat. Dengan titik tekan geopolitik dan geostrategis seberat itu, apakah mengherankan jika Xinjiang kini membara?
Menurut catatan sejarah, Sun Yat Sen, menyatakan bahwa China merupakan hak milik bersama-rata antara suku Han, Man (Manchu), Meng (Mongol), Hui (Muslim), Tsang (Tibet), dan Miao.
Uighur tidak disebut dalam pernyataan itu, namun menilik populasinya yang sangat sedikit kala itu, China merasa sudah memberi perwakilan kaum muslim melalui suku Hui. Bahkan di era Kuomintang, umat Islam memiliki wakil yang cukup mentereng sebagai menteri pertahanan China, yang akhirnya malah menjadi pimpinan pemberontakan Kuomintang yang didukung CIA, saat komunisme menang di daratan China.
Pasca invasi Soviet ke Afghanistan, usaha untuk berebut pengaruh di kalangan muslim dan etnis Turkic (termasuk Uighur) menjadi tak terkendali. China merasa Soviet sedang berupaya mengepungnya, dan mengerahkan migrasi muslim Hui besar-besaran ke Xinjiang sebagai tameng. China juga mengupayakan peningkatan populasi Uighur secara masif, yang berhasil menambah jumlah etnis Uighur dari 4 juta menjadi 8 juta orang dalam 4 dekade saja. Namun, upaya gegabah China untuk mendirikan kamp pelatihan bagi mujahidin Afghanistan dan memberi senjata senilai jutaan dolar pada mereka, terbukti akan menjadi batu sandungan di kemudian hari.Kekhawatiran China akan maraknya ekstrimisme mengatasnamakan Islam yang bermuara dari Xinjiang bukan isapan jempol belaka. Sejak 2007 saja, sudah terjadi lebih dari selusin serangan teror yang mengatasnamakan Uighur sebagai pelaku dengan yang terakhir adalah pembantaian 50 penambang batubara di Aksu, yang dilakukan oleh anasir Turkistan Islamic Party (TIP).
Dengan sejarah yang sedemikian ruwet dan ketidakakuran politis dengan suku Hui yang lebih moderat serta tendensinya untuk melakukan kekerasan dan mudah terhasut radikalisme, Uighur mengalami perlakuan berbeda dibanding muslim lainnya di China.
Diskriminasi dan pengamanan yang lebih ketat menjadi makanan Uyghur sehari-hari, dan pemerintah China, cenderung terlihat reaktif akhir-akhir ini, dengan upaya ‘menyekolahkan’ kembali para radikalis, yang kemudian digoreng MSM sebagai, kamp konsentrasi.
Jadi, apakah benar bahwa China memiliki misi tertentu untuk menggerus Islam?
Di sini kepingan-kepingan ini menjadi menarik. Turkistan Islamic Party (TIP) merupakan salah satu organisasi teror yang tumbuh subur di kalangan Uyghur Xinjiang. TIP memiliki hubungan erat dengan Islamic Movement of Uzbekistan (IMU) dan Talibani Pakistan, dengan ideologi yang sama persis dengan al-Qaeda.
Bahkan, salah satu pimpinan TIP, ditahbiskan menjadi anggota dewan syura al-Qaeda. Di Perang Syria, TIP juga menjadi penyedia utama petempur Uighur, dengan mengirimkan Brigade Turkistan, yang sempat masyhur dalam operasi Jisr al-Shughur, ibukota Idlib – dimana mereka mengepung rumah-sakit yang dijaga oleh tentara Syria selama 27 hari, lalu mengeksekusi mereka yang menyerah karena kehabisan logistik.
Uniknya lagi, para petempur Uyghur menyeberang ke Syria melalui Malaysia via Kamboja dan Thailand, untuk kemudian menuju Turki menggunakan paspor Turki. Seorang kepala distrik Zeytinburnu, Nurali – mencetak lebih dari 100.000 paspor Turki palsu untuk petempur Uyghur. Meski pihak keamanan Turki mengetahui tentang paspor palsu tersebut, para petempur Uyghur ini hanya ditahan paspornya namun diijinkan masuk ke Turki dan berkumpul di sana, yang kemudian masuk ke Syria dan Iraq melalui Turki selatan.
Rekam jejak ekstrimis Uighur di Syria juga tak kalah mengerikan. Bersanding setara dalam hal kekejaman dengan petempur Jabhat Nusra, ‘jihadis’ Uighur disebut tak kenal ampun, seperti dalam pembantaian di Qalb Loze. Mereka juga terkenal susah bergaul dengan selain etnisnya sendiri, dan yang tak kalah penting, mereka juga membanjiri Idlib dengan anak dan istrinya.
Perubahan demografi Idlib ini begitu kentara, hingga menyebabkan China sedang mempertimbangkan untuk ikut serta dalam operasi militer di Idlib. Pendeknya, China ingin memastikan bahwa para ekstrimis Uyghur dari daratan China, tumpas dengan tuntas.
Namun rencana ini juga memberikan implikasi serius bagi kerabat puluhan ribu militan yang masih tertinggal di Xinjiang. Sejak penerapan zona de-eskalasi, Erdogan mencoba mempersempit kekalahan dengan menutup pintu rapat bagi Uighur yang hendak berlindung ke Turki, yang menjadikan mereka tak punya pilihan lain selain bertempur hingga mati, atau berupaya pulang ke Xinjiang dengan berbagai cara.
Menjelang dimulainya operasi militer di Idlib, pengetatan keamanan juga meningkat di Xinjiang. Hal ini merupakan sesuatu yang tak terelakkan, mengingat sebagian besar ‘jihadis’ – meski telah membawa anak dan istrinya – masih memiliki hubungan kerabat di kampung halaman.
Neokolonialisme, tentunya, tak ingin tinggal diam dan menonton kekalahannya di Syria tanpa mengambil setitik keuntungan pun. Eskalasi media dan sentimen agama atas respon preventif China yang tergolong reaktif di Xinjiang merupakan opsi terbaik untuk memicu instabilitas di daerah kunci tersebut. Setelah kegagalan menerobos China melalui Korea Utara, jika masyarakat Islam dan dunia kembali tersengat dengan umpan kali ini, pintu ke daratan China akan terbuka lebar – dan mimpi akan OBOR akan sirna.
Di Xinjiang, menjadi muslim Uighur merupakan hal yang problematik. Diperlakukan secara kontras berbeda dengan saudara muslimnya beretnis Hui, diskrimnasi yang dialami etnis Uyghur secara politik patut menjadi keprihatinan kita, dan wajib kita suarakan. Namun jangan terlena, China tidak sedang melancarkan perang pada Islam, namun pada sisi radikalnya, meski dengan cara yang cukup radikal pula. Dalam wawancara dengan AP, seorang petempur Uighur menyatakan, “Kami tak peduli bagaimana pertempurannya, atau siapa Assad. Kami hanya ingin belajar menggunakan senjata-senjata ini lalu kembali ke China.”
Graham Fuller, seorang agen CIA senior yang turut membidani insiden Iran-Contra; menjadi penjamin Fethullah Gulen di AS; yang juga hadir di Istanbul dalam kudeta gagal beberapa waktu lalu; dan yang juga pernah menulis buku perang filosofis “The Xinjiang Project” pada 1998, pernah menyatakan, “Kebijakan untuk membimbing evolusi Islam dan membantu mereka melawan musuh-musuh kita berjalan dengan luar biasa di Afghanistan melawan Uni Soviet. Doktrin yang sama masih bisa digunakan untuk mengacaukan apa yang tersisa dari kekuatan Soviet, terutama untuk mengatasi pengaruh China di Asia Tengah.”
Badr Bassem