Tak pernah ada seorangpun menyangka bahwa Zion suatu saat akan menjadi sebuah kata yang disesaki dengan beban angkara. Naskah-naskah kuno menyebut Zion sebagai bukit belaka. Memang di sana ada semacam jejak perjanjian Tuhan dengan sekelompok umat. Mereka adalah keturunan Israil, cucu Baginda Nabi Ibrahim, Sang Bapak Monoteisme. Zion hadir menjadi simbol akan datangnya kejayaan kaum ini andai saja mereka merencanakan hidupnya kemanusiaan dalam kehidupan manusia yang mendiami bumi ini.
Sayangnya, Bani Israil datang dengan perpecahan setelah kelompok-kelompok suku di dalamnya berpecah belah. Mereka menitip riwayat berdarah atas nama klaim keunggulan antar kelompok. Tersebutlah satu sekte di antara mereka, Yahudi. Melalui nama nenek moyang mereka Yehuda, sekte ini dikembangkan dalam semangat keunggulan itu. Derajat mereka diambil dari kebanggaan terhadap moyangnya ini.
Semula kebanggan mereka terhadap keunggulan Yahudi atas bangsa lain di dunia hanya berdimensi psikologis. Suatu kebanggaan yang hanya diekspresikan sebagai bentuk keutamaan religius Yahudi dibanding umat lain. Kini berubah. Spirit Yahudi menyeruak di antara puing-puing perang dunia. Menyusul keruntuhan Imperium Ottoman wilayah Palestina mulai masuk dalam otoritas Britania Raya. Kini Bukit Zion pun berubah dari sekadar simbol pertemuan Tuhan dan Bangsa Yahudi dalam perjanjian suci menjadi industri perang.
Imperialisme baru dimulai dengan meminjam namanya. Sakralitas nama bukit ini mulai memuat beban ideologis, sosial, politik, dan ekonomi, serta kebudayaan baru. Secara ideologis, sekelompok Yahudi mulai melakukan sakralisasi Bukit Zion sebagai sebuah gerakan universal kaum Yahudi untuk mewujudkan Israel Raya. Semua itu berdimensi teologis, ketika Tuhan memang suatu saat akan mempertemukan mereka dengan takdirnya sebagai penguasa dunia. Itulah Zionisme!
Secara politis wilayah Bukit Zion mulai didempetkan dengan keberadaan Yerusalem sebagai ibukota Israel Raya. Memang Kota Tua Yerusalem berada tepat di bukit Zion ini. Ambisi politik sekelompok Yahudi ini tidak sedang bercanda untuk mewujudkan Israel Raya dalam versi mereka. Mereka merancang sebuah negara dengan kekuatan persekutuan dunia yang kian membesar. Caranya tak berbeda dengan imperialisme. Korbannya adalah Palestina.
Ambisi politik Zionisme sesungguhnya bermotif ekonomi. Gerakan kembali ke tanah Zion (Zionisme) itu dirancang untuk menjalankan agenda-agenda politik bermotif industri. Imperalisme sedang berlangsung di tanah terlarang harus dibenarkan demi suatu ambisi industri itu. Industri yang akan menyebar ke semua negara usai perang adalah pelecut gerakan imperialis itu. Dimensi religius hanyalah kendaraan untuk mengantar seluruh pelaku penjajahan ke tanah Zion, Tanah Yerusalem.
Semua narasi ini adalah kabar buruk bagi kemanusiaan dan masa depan peradaban manusia. Bagaimana mungkin dunia yang baru saja meninggalkan kolonialisme dan imperialisme harus membenarkan sebuah ambisi politik imperium baru yang lebih kejam? Pertanyaan ini sekadar dalam penyataan verbal. Bukan untuk dijawab dan disikapi sebagai sebuah refleksi humanisme. Ia harus dimaklumi demi ambisi itu. Karena permakluman itulah maka Palestina harus menanggung derita dan kesengsaraan berkepanjangan.
Zion memang hanya bukit bersejarah. Ia memiliki keindahan historis karena ia pernah memeluk para pemuja Tuhan dari tradisi monoteisme besar di negeri keturunan Nabi Yakub itu. Lelehan lahar industri perang yang mengalir dari mata air bukit sakral ini semakin lama semakin merisukan banyak negeri. Perilaku manusia perlahan berubah dalam sebuah budaya permisif yang baru. Zion kini diganti oleh Zionisme, sebuah ideologi kaum imperialis.
Pengaruh Khutbah Imam Sajjad (AS) dalam Mempermalukan Yazid
Saat Imam Sajjad (AS) menyampaikan khutbah yang tegas, orang-orang yang hadir di masjid sangat terpengaruh dan terbangkitkan kesadarannya. Khutbah...