ICC Jakarta – Jejak para waliyullah dalam menyiarkan Islam di Bumi Nusantara patut menjadi suri tauladan bagi umat Muslim yang tengah menjalankan ibadah puasa. Sebab, karomahatau kekuatan luar biasa yang diberikan Allah Swt kepada para wali dapat dijadikan penyemangat hidup.
Karomah biasanya ditunjukan oleh para wali berupa bangunan masjid, ilmu tafsir Al-Qur’an, maupun benda-benda pusaka lainnya. Di Semarang, terdapat sebuah Al-Qur’an yang ditulis tangan oleh Sayyid Abdurrahman, waliyullah asal “Pulau Garam”, Madura.
Menariknya, Al-Qur’an ini ditulis di atas daun lontar. Guratan-guratan ayat suci Al-Qur’an dari daun lontar kini tersimpan rapi di Pondok Pesantren Al Multazam, Pudakpayung, Semarang.
“Al-Qur’annya masih asli sejak disimpan di sini 10 bulan yang lalu,” kata KH Khamami, pengasuh Ponpes Al Multazam, seraya menunjukan lembaran-lembaran daun lontar yang bertuliskan ayat suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an yang kini disimpan di ruang perpustakaan tersebut, secara bergantian rutin dibaca oleh santri pesantrennya sebagai penyemangat, khususnya ketika menjalankan ibadah puasa.
“Sambil menunggu beduk Maghrib, saya rutin mengaji bersama santri agar dapat menghayati makna ayat suci yang terkandung di dalamnya,” kata Khamami.
Ada 30 juz ayat suci yang ditulis di atas lontar setebal 22 lembar. Di atas lontar selebar 1,5 meter inilah dapat dilihat jelas guratan-guratan ayat suci tanpa harakat lengkap dengan untaian kaligrafi yang indah.
Lontar tersebut hanya direkatkan pada seuntai benang agar tidak terpisahkan satu sama lain. Aroma lontar pun masih harum semerbak layaknya daun yang baru dipetik. Padahal, usia kitab suci warisan Sayyid Abdurrahman ini telah mencapai lebih dari 200 tahun.
Dengan hanya direkatkan dengan untaian benang, Khamami mengaku takjub betapa sederhananya Al-Qur’an peninggalan sang wali.
Hanya memakai pelepah lontar dan sebatang lidi, Khamami mengisahkan Sayyid Abdurrahman mampu menuliskan ayat-ayat suci yang sangat rapi lengkap dengan kaligrafi.
“Inilah mukjizat yang luar biasa. Beliau memberikan karomah pada ayat suci yang ditulis di atas lontar dan benda ini jadi pelajaran berharga bagi generasi muda,” ungkap Khamami.
Pada masa lampau, Sayyid Abdurrahman dikenal sebagai alim ulama yang memiliki ilmu agama yang sepadan dengan Walisongo. Sudah ada enam keturunannya yang mendapat warisan Al-Qur’an daun lontar.
Usai Sayyid Abdurrahman wafat, kitab suci itu diturunkan kepada sang anak, KH Tuju Langker, lalu secara turun-temurun diberikan kepada KH Aziz Tapa, KH Tuju Panaungan, hingga KH Bunyamin Maimunah yang wafat pada 2014 silam.
Berdasarkan literatur resmi yang diterimanya, ia bilang keturunan terakhir KH Maimunah lalu menyerahkan Al-Qur’an daun lontar kepada salah satu wali murid santrinya.
“Kemudian, dia minta saya menyimpannya di perpustakaan pesantren. Semuanya karena petunjuk Allah Swt,” ucap Khamami.
Khamami mengatakan, Al-Qur’an warisan Sayyid Abdurrahman akan disimpan dalam galeri museum tepat tanggal 17 Ramadan saat momentum turunnya kitab suci umat Islam itu kepada Nabi Muhammad Saw.
“Museumnya akan dibangun di Ponpes Multazam,” ujarnya lagi.
“Kita ingin melestarikan benda-benda peninggalan waliyullah yang telah memperjuangkan agama Islam sejak zaman dahulu. Sehingga, pada masa mendatang anak-anak muda mampu mempelajari kehebatan karomah para wali,” ujarnya.
Sementara itu, Dian Citra, seorang santriwati di Ponpes Al Multazam, mengaku gembira dapat membaca satu demi satu ayat yang ada di daun lontar tersebut.
“Saya baru tahu ada Al-Qur’an yang seperti ini karena biasanya hanya dibuat dari kertas dan kulit kambing. Kalau yang ditulis dari daun lontar merupakan benda langka dan perlu dilestarikan,” kata Dian.
Ia berpendapat keberadaan ayat suci Al-Qur’an jadi pelajaran berharga baginya yang kini sibuk menimba ilmu agama dan bahasa Inggris di Ponpes Al Multazam.
“Saya juga ingin membiasakan mengamalkan Al-Qur’an. Lalu mengasah kemampuan berbahasa Arab dan Inggris,” sahut seorang santri lainnya. EH / Islam Indonesia