Penilitian dan riset menyebutkan bahwa disebutkan dalam literatur kuno Syiah, hanya ada Jami’ al-Akhbar, Syuairi (abad keenam) dan juga tidak disebutkan sanadnya. Allamah Majlisi (w 1110 H) juga dalam Bihar al-Anwar juga mengutip riwayat ini dari Jami’ al-Akhbar.[2]
Kalau pun kita harus menutup mata terhadap sanad riwayat ini; kandungan umumnya yang disebutkan pada riwayat-riwayat lain sehubungan dengan celaan dan cercaan terhadap orang yang buruk berhijab dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
- Bagaimanapun hjab merupakan bagian dari dharuriyat (hal-hal yang mesti dan pasti) dalam agama Islam dan wajib bagi setiap wanita Muslim untuk mengenakannya secara sempurna. Meninggalkan kewajiban berhijab berkonsekuensi hukuman berat bagi orang yang melakukannya, kecuali ia bertaubat di dunia ini dan menghiasi dirinya dengan hijab syar’i.
- Kriteria kebahagiaan di akhirat dan masuk ke surga dalam pandangan al-Quran adalah iman dan amal saleh. Barang siapa yang beriman dan beramal saleh, bertakwa dan tidak melakukan dosa, sesuai dengan janji al-Quran maka ia akan masuk ke dalam surga dan akan abadi di dalamnya.[3]
- Bagaimanapun; riwayat ini dengan penjelasan jelas dan lugas menetapkan tidak adanya perasaan ghirah(baca: taat beragama) sekelompok pria yang melalaikan masalah hijab terhadap istrinya dan membolehkan mereka dengan bersolek dan berhias untuk lalu-lalang di antara para non mahram.
- Meski riwayat ini sehubungan dengna ghairat para suami terhadap para istrinya, namun hal ini tidak menunjukkan bahwa orang-orang lain seperti para ayah dan saudara-saudara boleh tidak memiliki ghairat. Tentu saja peran suami lebih besar ketimbang yang lain.
- Dosa hanyak ditulis ketika suami ridha dan rela dengan perbuatan dosa istrinya ini meski sebenarnya ia dapat mencegahnya namun ia tidak menaruh perhatian tentangnya. [iQuest]