ICC Jakarta – Islam dikenal sebagai agama tauhid. Ihwal tauhid ulama menyebutkan beberapa klasifikasi. Ada tauhid dzat, tauhid sifat, tauhid fi’il dan tauhid ibadah. Apa yang dimaksud dengan tauhid ini? Perbedaan di antara tauhid-tauhid ini apa?
Jawaban:
Pertanyaan Anda akan kami jawab sesuai dengan urutannya sebagai berikut.
Tauhid Dzat
Banyak orang berpendapat bahwa makna Tauhid Dzat (Pengesaan Tuhan dalam Dzat) adalah, bahwa Tuhan adalah Esa dan bukan dua. Ungkapan ini bukanlah sebuah ungkapan yang cermat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali a.s. Karena arti dari ungkapan ini adalah satu numerik. Artinya, dua bagi Tuhan dapat dikonsepsikan (tashawwur), akan tetapi tidak ada wujudnya di luar. Dan tentu saja ungkapan ini adalah ungkapan yang salah.
Ungkapan yang benar yaitu bahwa Tauhid Dzat berarti bahwa Tuhan itu satu dan dua bagi-Nya tidak dapat dikonsepsikan. Dengan kata lain, tidak ada yang serupa dan semisal dengan-Nya. Sesuatu tidak serupa dengan-Nya, dan juga Ia tidak serupa dengan sesuatu, sebab Dia adalah Satu Wujud Nir-Batas Nan Sempurna memiliki sifat seperti ini.
Dengan argumentasi yang sama, kita jumpai dalam hadis. Imam Ash-Shadiq a.s. pernah ditanya oleh salah seorang sahabat, “Apakah arti dari Allâhu Akbar?”
Beliau menjawab, “Allah adalah lebih Besar dari segala sesuatu.” Dan beliau melanjutkan, “Apakah ada sesuatu yang lebih besar dari-Nya?”
Lalu sahabat itu bertanya lagi, “Lalu apa tafsir Allâhu Akbar itu?”
Beliau menjawab, “Allah adalah lebih Besar dari penyifatan.”[1]
Tauhid Sifat
Ketika kita mengatakan bahwa satu cabang tauhid adalah Tauhid Sifat (pengesaan Tuhan dalam sifat), maksudnya ialah; sebagaimana Dzat-Nya adalah azali (tidak bermula) dan abadi(tidak berakhir), pun sifat-Nya,seperti ilmu, kuasa, dan lain sebagainya azali dan abadi. Ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, sifat ini bukanlah tambahan (zâ’id) dari luar Dzat-Nya, tidak memiliki sisi aksidental (‘âridh) dan teraksiden (ma’rûdh), melainkan sifat ini adalah Dzat-Nya sendiri.
Dan dari sisi ketiga, sifat-Nya tidak terpisah dengan sifat yang lainnya. Maksudnya, ilmu dan kuasa-Nya adalah satu, dan keduanya adalah Dzat-Nya itu sendiri.
Penjelasan
Bilamana kita merujuk kepada diri kita sendiri, kita melihat pada mulanya kita tidak memiliki satu pun sifat-sifat yang melekat pada diri kita. Tatkala kita terlahir ke dunia ini, kita tidak memilki ilmu, juga tidak memiliki kekuasaan. Secara gradual, sifat-sifat ini terbina dalam diri kita. Dengan dasar ini, sifat-sifat yang kemudian muncul ini adalah perkara-perkara “lain” dari luar diri (dzat) kita. Oleh karena itu, mungkin saja suatu hari kekuatan,ilmu dan pengetahuan yang kita miliki akan sirna. Dan juga dengan jelas kita melihat, antara ilmu dan kekuasaan yang kita miliki terpisah satu dengan yang lainnya. Kekuasaan berada pada raga kita dan ilmu berada pada ruh kita.
Akan tetapi, Tuhan sama sekali tidak dapat dikonsepsikan seperti di atas tadi. Seluruh Dzat-Nya adalah ilmu, dan seluruh Dzat-Nya merupakan kuasa. Dan segala sesuatu yang ada pada-Nya adalah satu. Tentu saja kita memastikan bahwa makna-makna ini tidak berada pada diri kita. Sifat-sifat dengan makna seperti ini tidak akrab dan tampak ruwet. Mak tidak ada jalan bagi kita selain menggunakan kekuatan logika dan filsafat, serta penalaran cermat.
Tauhid Fi’il
Artinya, setiap wujud, setiap gerak, setiap perbuatan di alam semesta ini kembali kepada Dzat Kudus Ilahi. Tauhid Fi’il berarti pengesaan Tuhan dalam perbuatan. Dzat Kudus-Nya adalah sebab-musabab, sebab seluruh akibat. Bahkan, perbuatan yang kita kerjakan —dalam satu makna— berasal dari-Nya. Ia yang memberikan kekuatan (qudrah), kebebasan (ikhtiyâr), dan kehendak (irâdah) kepada kita. Padahal —dengan demikian— kita adalah pelaku dari perbuatan-perbuatan kita sendiri. Dan kita bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang kita lakukan.
Dari satu perspektif, Tuhan adalah pelaku perbuatan kita sendiri. Lantaran segala sesuatu yang kita miliki berasal dari-Nya.Tiada yang dapat memberikan pengaruh di dalam alam wujud ini kecuali Allah!
Tauhid Ibadah
Maksudnya adalah Allah swt. satu-satunya Dzat yang harus disembah, dan selain-Nya tidak pantas disembah. Karena ibadah khusus bagi seseorang yang sempurna mutlak (kamâl mutlaq) dan mutlak sempurna (mutlaq kamâl). Dzat yang tidak memerlukan segala sesuatu, pemberi seluruh anugerah, pencipta seluruh wujud. Dan sifat ini tidak akan dijumpai selain pada Dzat Nan Kudus.
Tujuan utama ibadah adalah menemukan jalan untuk mendekatkan diri kepada derajat kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna, Wujud Nir-Batas itu. Dan refleksi pancaran dari sifat sempurna dan indah-Nya bertakhta dalam relung jiwa yang merupakan hasil penjagaan jarak dari hawa nafsu, serta menggayutkan diri kepada membina dan menghias diri (tahdzib nafs).
Tujuan ini hanya dapat tercapai dengan beribadah
kepada Allah swt. yang merupakan Pemilik kesempurnaan mutlak. [2]
[1] Ma’ânî al-Akbâr, Syaikh Shaduq, hal. 11, hadis ke-1.
[2] Tafsir Nemûneh, jilid 27, hal. 446.