ICC Jakarta – Ada 3 bentuk waktu pelaksanaan salat ayat gerhana bulan dan matahari.
- Ketika mulai gerhana hingga puncaknya, niatnya adalah adaan dan ihtiyath wajib untuk tidak menunda mengerjakan shalat ayat.
- Jika menunda shalatnya sehingga gerhana bulan atau matahari seukuran sudah mulai terbuka, niatnya bukan adaan dan juga bukan qadhaan.
- Jika gerhana bulan dan matahari sudah terbuka dengan sempurna maka niatnya adalah qadha.
- Sebab-sebab Menjadi Syar’inya Salat Ayat
Salat ayat wajib dilakukan dalam empat keadaan:
a. Ketika terjadi gerhana matahari, meskipun hanya sebagian,
b. Ketika terjadi gerhana bulan,
c. Ketika terjadi gempa bumi, dan
d. Ketika terjadi setiap peristiwa-peristiwa yang menakutkan bagi mayoritas manusia, seperti badai hitam dan badai merah yang luar biasa, kegelapan yang dahsyat, tanah longsor, teriakan dari langit dan api yang kadangkala muncul di langit.
Catatan
a. Selain pada peristiwa gerhana matahari, bulan dan gempa bumi, peristiwa-peristiwa lainnya harus berada pada tingkatan yang membuat mayoritas manusia merasa takut dan ngeri, sedangkan peristiwa-peristiwa yang tidak mengerikan atau hanya menyebabkan kengerian pada sebagian, tidaklah terhitung (sebagai sebab-sebab diwajibkannya salat ayat). (Ajwibah al-Istifta’at, no. 711)
b. Kewajiban salat ayat hanya khusus untuk orang-orang yang berada di kota tempat peristiwa terjadi, dan berlaku pula atas orang-orang yang berada di kota yang bersambung dengan kota tempat kejadian dan terhitung tinggal dalam satu kota. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 713)
c. Jika pusat pengamat gempa mengumumkan terjadinya gempa-gempa kecil yang berulang pada sebuah daerah akan tetapi individu yang tinggal di daerah tersebut sama sekali tidak merasakan terjadinya getaran saat terjadi gempa atau sesaat segera setelahnya, maka tidak ada kewajiban salat ayat atasnya. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 716)
d. Setiap gempa, baik yang dahsyat ataupun ringan –bahkan gempa susulan- apabila dianggap sebagai gempa yang mandiri, maka akan memiliki salat ayat yang terpisah. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 715) - Tata Cara Salat Ayat
Salat ayat terdiri dari dua rakaat dimana dalam setiap rakaatnya terdapat lima ruku’ dan dua sujud. Terdapat beberapa cara untuk melakukan salat ini, sebagai berikut:
Cara pertama:
Setelah niat dan takbiratul ihram, (mushalli) membaca al-Fatihah dan satu surah kemudian ruku’, setelah bangun dari ruku’ lalu membaca al-Fatihah dan satu surah, setelah itu kembali ruku’, setelah bangun dari ruku, membaca al-Fatihah lagi dan surah, dan begitu seterusnya hingga dalam satu rakaatnya mencapai lima kali ruku’ dimana setiap sebelum ruku’ membaca al-Fatihah dan satu surah. Setelah itu (mushalli) melakukan dua kali sujud, kemudian bangkit untuk melakukan rakaat kedua sebagaimana rakaat pertama, setelah itu kembali melakukan dua sujud, tasyahud lalu mengakhiri salat dengan salam.
Cara kedua:
Setelah niat dan mengucapkan takbiratul ihram (mushalli) membaca al-Fatihah dan membaca satu ayat dari sebuah surah, lalu ruku’, setelah bangkit dari ruku’ melanjutkan dengan bacaan ayat lainnya (dari surah itu juga) lalu kembali melakukan ruku’, setelah itu bangun dari ruku’ dan melanjutkan dengan ayat yang lainnya, tetap dari surah yang sama, begitu seterusnya hingga surah dibaca secara sempurna sebelum ruku’ terakhir, kemudian melakukan ruku’ kelima dan sujud dua kali lalu bangkit untuk melakukan rakaat kedua, sebagaimana yang dilakukan pada rakaat pertama hingga sampai pada tasyahud dan salam. Jika mushalli berkehendak untuk mencukupkan diri pada satu ayat dari sebuah surah untuk setiap ruku’, maka dia tidak boleh membaca al-Fatihah lebih dari satu kali pada awal rakaatnya.
Catatan:
Berdasarkan ihtiyath wajib “Bismillahirrahmanirrahim” tidak bisa dianggap sebagai bagian dari surah dan melakukan ruku’ dengannya.
Cara ketiga:
Salah satu rakaatnya dilakukan dengan salah satu dari cara di atas, sedangkan rakaat lainnya dengan cara yang lain.
Cara keempat:
Pada qiyam sebelum ruku’ kedua, ketiga dan keempat mushalli melengkapi bacaan surah yang sebagian ayatnya telah dibaca pada saat qiyam sebelum ruku’ pertama, dimana dalam keadaan ini, setelah bangkit dari ruku’, wajib atasnya untuk mengulang bacaan al-Fatihah dan jika mushalli membaca satu surah atau sebagian ayat darinya sebelum ruku’ ketiga atau keempat, maka wajib baginya untuk menyelesaikan surah tersebut hingga sebelum ruku’ kelima. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 712 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar).
Wal-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin
Depok, 26 Mei 2021
AMA