Oleh: Dr. Kazem Ghazizadeh
Dengan meneliti perkembangan pemikiran politik dalam Islam, kita menemukan para ulama dan sarjana muslim, sepanjang dua ratus tahun terakhir, telah mengembangkan teori-teori baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagian besar dari mereka gagal mengembangkan teori yang cocok dengan keperluan masyarakat. Tetapi, salah satu dari mereka, Ruhullah al-Musawi (Imam Khomeini), berhasil mengembangkan teori politiknya dengan memimpin sebuah revolusi dan mendirikan Republik Islam Iran. Itulah mengapa, dipandang perlu menggali ide-ide dan meneliti pemikiran politiknya. Alasannya: pertama, pemikiran Imam Khomeini meletakkan fondasi sebuah gerakan besar—yang berhasil—yakni Revolusi Islam Iran. Kedua, dengan Revolusi Islam di Iran itu, orang-orang tertindas di dunia pada umumnya, dan Iran khususnya, dapat terinspirasi buah gerakannya. Ketiga, demi memelihara catatan sejarah, perlu kiranya menyusun dan mengembangkan suatu pemikiran dari seorang mujtahid yang telah memprakarsai gerakan mulia menuju pembentukan sistem Islam, yang pencetusnya sendiri memanggul kepemimpinan negara selama sepuluh tahun.
Ketakterpisahan Agama dan Politik
Menelusuri dasar pemikiran politik Imam Khomeini berarti kita mesti mendekatinya lewat konsep agama dan politik. Sebab ia tak pernah melepaskan ide-idenya dari dua konsep tersebut, sejak awal gerakan Revolusi Islam di Iran.
Imam Khomeini tidak menafsirkan politik sebagai ilmu kekuasaan atau semacam teknik mengeksploitasi orang-orang dengan tujuan supaya mereka tunduk pada penguasa tertentu.[1] Ia memberikan terminologi “politik setan” untuk politik semacam itu dan meyakini bahwa politik tersebut jauh dari agama. Dalam sebuah pidato—pasca pembebasannya dari penjara—ia menceritakan: “Seorang pria, yang tak perlu diungkap namanya, datang kepada saya dan berkata: “politik itu kotor, hanya untuk mengejar kekuasaan serta penuh dengan kebohongan dan trik-trik. Jadi, biarkanlah urusan politik itu menjadi urusan kami, (dan Anda tinggal beribadah saja, peny.).’ Saya menjawab: ‘saya tidak mau terlibat dengan politik semacam itu.”[2]
Sedangkan agama, menurut Imam Khomeini, tidak terbatas hanya pada membangun hubungan khusus antara manusia dan Tuhan, dan bukan pula terbatas pada urusan kebahagiaan surgawi. Ia tidak setuju pada “pemisahan diri” urusan agama. Baginya, membatasi agama untuk urusan duniawi semata adalah materialistis, dan mengurung agama hanya pada aspek spiritual saja adalah mistisisme semu. Seorang materialis biasanya akan mereduksi ajaran agama ke dalam paham materialistik, bahkan keajaiban dan hal-hal gamblang sekalipun diinterpretasi ke pengertian materi. Sementara Imam Khomeini melihat realitas Islam melampaui semua itu.[3]
Setelah menyangkal pendekatan yang mengarah pada ide dan upaya pemisahan agama dari politik, Imam Khomeini mengemukakan pandangannya dengan mengacu pada berbagai aspek manusia dan masyarakat. Sambil membandingkan idenya dengan yang lain, ia menyatakan: “Politik yang saya bicarakan adalah keadaan politik kita. Ini berasal dari bentuk sempurna dari politik yang dipraktikkan Nabi Islam dan para Imam kita. Mereka datang untuk membimbing dan memimpin manusia menuju maslahat mereka yang sesungguhnya. Politik dimaksudkan untuk membimbing dan memperhitungkan seluruh kepentingan masyarakat dan manusia. Ini adalah politik para nabi yang orang lain tidak mampu melaksanakannya.”[4]
Politik tersebut bertujuan menuntun manusia kepada Allah dan meraih kebahagiaan mereka, yang hal tersebut telah diimplementasikan oleh para nabi dan pengikut setianya. Imam Khomeini menganut politik ini dan menentang keras pemikiran dangkal, yang mereduksi Islam hanya pada ajaran moral dan ritual saja.
Dalam Kitab al-Bay’, ia menulis: “Jika seseorang melihat beragam ajaran Islam berikut dimensi sosialnya—dengan memerhatikan dimensi ritual, seperti salat dan ibadah haji (yang berkenaan dengan hubungan khusus manusia dengan Tuhan), sekaligus memerhatikan kaidah Islam dalam sosial, ekonomi, politik dan hukum—maka dia akan menyimpulkan bahwa ajaran Islam bukan hanya berurusan dengan masalah ritual dan moral saja, tetapi juga untuk membangun sebuah pemerintahan adil dan memiliki aturan tertentu dalam pajak, keuangan publik, hukum dan keadilan, jihad, dan hubungan internasional.”[5]
Imam Khomeini menegaskan bahwa dalam Nasrani pun, Isa al-Masih as tidak pernah mengabaikan urusan sosial, meskipun para pengikutnya menganggap beliau sebagai simbol kesalehan sambil memisahkan dirinya dari urusan-urusan umat. Sejak mula kehidupannya, Isa as mendeklarasikan diri sebagai pembawa dan mengajarkan al-Kitab (risalah Ilahi).[6] Maksudnya, sejak awal, Nabi Isa as memulai langkahnya dengan sebuah kampanye antikezaliman.[7] Sesungguhnyalah, ajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Melalui pendirian sebuah pemerintahan yang adil, muslimin dapat mewujudkan keadilan masyarakat. Kesimpulannya adalah: politik Islam—dengan mempertimbangkan seluruh dimensi lahiriah dan spiritual manusia—dimaksudkan untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan.
Imam Khomeini memandang bahwa politik bisa bermanfaat jika diambil dari aturan agama; dan bahwa aturan dan hukum agama juga terkait dengan politik.[8] Dalam hal ini ia menyatakan: “Dengan mengatakan bahwa kita tak punya kaitan dengan (permasalahan) politik, adalah sama saja dengan mengisolasi Islam. Demi Allah, Islam dalam seluruh aspeknya berkaitan dengan politik. (Tapi) kenyataannya sekarang, Islam telah disalahartikan.”[9]
Pandangan ini juga tampak pada Ayatullah Mudarris, salah seorang ulama kenamaan Iran yang memiliki bangunan pemikiran serupa dengan Imam Khomeini. Ia mengatakan, “Politik kita adalah agama kita dan agama kita adalah politik kita.” Selanjutnya, perlu diperjelas juga, apakah Islam berkenaan hanya dengan prinsip-prinsip umumnya[10] atau Islam juga mengatur perkara khusus dalam politik yang menghadirkan suatu teori politik tertentu?
Sejauh pertanyaan tentang teori politik, kita tidak perlu membawa dari teori-teori lain untuk mengembangkan sebuah teori politik yang Islami. Sebab, agama Islam sendiri sudah menyediakan semua kerangka untuk suatu teori politik (yang bisa dikembangkan dan diimplementasikan di tiap era). Ini bukan berarti bahwa pada setiap zaman berarti perlu agama baru, tetapi yang dimaksud bahwa seseorang dapat merujuk pada sumber-sumber agama untuk mengembangkan sebuah teori politik yang sempurna sesuai kebutuhan zamannya.
Ada sejumlah figur politik tertentu dari kalangan muslim yang menyokong ide-ide para pendahulu, yang menyatakan bahwa Islam hanya berkenaan dengan prinsip-prinsip umum. Seperti penulis buku Marz-e Miyane-e Din wa Siyasat, yang mengatakan: “Agama menyediakan prinsip-prinsip politik dan menjelaskan tujuan-tujuan sebuah pemerintahan tanpa mengajarkan detailnya (hal-hal yang khusus).”[11]
Ada pula sebagian orang yang mempersoalkan keperluan implementasi hukum Islam di zaman kini. Mereka memandang bahwa masyarakat harus bisa menemukan pengganti atas pendekatan agama untuk menjalankan roda pemerintahan secara layak. Karena itu, setelah Revolusi Islam 1979, mereka melakukan oposisi terhadap ide wilayat faqih dan hukum-hukum Islam, seperti kisas, dan lain-lain.[12]
Dalam konteks negara, Imam Khomeini memiliki keyakinan kokoh bahwa Islam adalah agama yang lengkap dan menyediakan teori politik bagi masyarakat. Dalam rumusan politik, ia menulis: “Tidak seperti mazhab pemikiran ateis, Islam memperhitungkan seluruh aspek kehidupan manusia, yang meliputi urusan-urusan; kehidupan individu, masyarakat, fisik, spiritual, budaya, politik, ekonomi, dan militer. Islam tidak meninggalkan setitik pun bantuan untuk pengembangan kemaslahatan material dan spiritual individu dan masyarakat. Islam memiliki formula untuk meneliti hambatan perkembangan masyarakat dan mengajarkan bagaimana menyelesaikannya.”[13] Ia tidak setuju terhadap mereka yang berusaha menjustifikasi pemikiran politik Islam dengan “pertolongan” sumber-sumber nonIslam. Dalam konteks ini ia mengatakan: “Yakinlah bahwa Islam memberikan keadilan, kemerdekaan, kebebasan, persamaan ekonomi, tanpa menyandarkan diri pada pengajaran dari (mazhab) pemikiran yang lain.”[14]
Imam Khomeini mendasarkan pemikirannya pada rincian doktrin tauhid, merujuk pada al-Quran dan hadis dari Imam Maksum. Dalam pidato-pidatonya, ia menegaskan bahwa sistem politik dan ekonomi Islam harus dilaksanakan dengan sesungguhnya.[15] Ia menyandarkan pandangannya, misalnya, pada ayat: ..Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab.[16] Juga, dan tidak sesuatu yang basah atau kering kecuali (semua itu) tertulis dalam kitab nyata.[17]
Ada pula hadis tertentu yang mengindikasikan bahwa kebutuhan pemerintahan tidak bisa dipercayakan kepada manusia.[18] Dengan mengacu pada ayat dan hadis itu para mufasir menyimpulkan, adalah mungkin untuk mengajukan sebuah teori ekonomi atau teori politik.[19] Tetapi, ini juga bukan berarti bahwa kita harus mengabaikan hasil dari penelitian ilmu pengetahuan yang ada, guna meyakinkan tugas kita.
Argumentasi atas Ketakterpisahan Agama dan Politik
- Unsur Dominan Ajaran Agama
Untuk memahami ciri khas sebuah agama, kita harus melihat unsur-unsur dominan dalam agama tersebut. Dengan cara ini, Imam Khomeini mengembangkan sebuah pandangan komprehensif, yakni ia menerapkan ijtihad dan sekaligus mengembangkan pemikiran politik. Dengan demikian, untuk mempelajari pandangan Imam Khomeini tentang hubungan antara agama dan politik, maka seseorang harus mempelajari pandangan umumnya. Dalam bukunya, Tahrir al-Wasilah, ia menulis: “Islam adalah agama politik dengan seluruh dimensinya. Hal ini jelas bagi mereka yang memiliki—setidaknya—aspek-aspek pengetahuan politik, ekonomi dan sosial Islam. Dengan demikian, orang yang memelihara agama ini terpisah dari politik, maka (berarti) ia tidak punya pengetahuan agama dan politik.”[20]
Menurut Imam Khomeini, al-Quran memuat permasalahan politik dan sosial lebih kuat ketimbang permasalahan etika dan ritual (pribadi).[21] Bahkan ritual-ritual yang disebutkan di dalam al-Quran (secara khas) berorientasi politik. Dengan kata lain, Islam menyatukan ritualnya dengan politik dan begitu pula sebaliknya.[22] Contohnya, semboyan sangat popular dalam Islam: “semua mukminin bersaudara”, yang merupakan sebuah rukun sosio-politik. Sebab, persaudaraan yang dimaksud ini tidak terbatas pada hanya satu negara, tetapi meliputi semua muslim di seluruh dunia. Jadi, sesungguhnya, apabila kaum muslim membangun persaudaraan satu sama lain, mereka dapat dengan mudah mengalahkan musuh-musuh.[23]
Sebuah ritual utama dalam masyarakat Islam ternyata identik dengan urusan politik. Salat Jumat dan ibadah haji, yang merupakan dua ritual amat penting, dan secara politik begitu signifikan bagi (bangunan) sebuah masyarakat Islam. Imam Khomeini mengatakan: “Adalah kebutuhan bagi seorang imam salat Jumat untuk menyampaikan permasalahan agama dan dunia umat (muslimin) dalam khotbah Jumatnya, dan menginformasikan kepada mereka tentang kondisi muslimin di negera-negara lain dan memberikan peringatan, pengumuman dan menjelaskan keperluan mereka. Dia harus menyampaikan pada jamaah mengenai kebutuhan agama dan duniawi mereka, menerangkan permasalahan ekonomi dan politik, menginformasikan hubungan mereka dengan negara lain dan membeberkan campurtangan dan gangguan kekuatan kolonial di negeri mereka.”[24]
Aspek-aspek politik dan sosial ibadah haji sangat jelas. Ayat-ayat berikut menunjukkan poin ini: Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka..[25] … dan supaya mereka menyebut nama Allah….[26] Imam Khomeini banyak sekali menunjuk pada pentingnya ibadah haji. Dalam salah satu pidatonya ia mengatakan: “Haji tanpa berlepas diri dari kezaliman dan penindasan (bara’ah) bukanlah haji sebenarnya. Muslimin yang berada dalam sebuah kumpulan yang besar itu harus mendeklarasikan kesiapsiagaannya untuk berperang menghadapi kekuatan penindas dan membantu satu sama lain.”[27]
- Tugas Para Nabi
Biasanya, para nabi pembawa sebuah agama dijadikan simbol agama tersebut. Sekilas saja melihat kehidupan para nabi pada umumnya, dan Rasulullah saw dan para Imam khususnya, mengindikasikan bahwa mereka sama sekali tidak menjauh dari politik. Dalam memandang cara hidup Rasulullah saw, Imam Khomeini mengatakan: “Kebijakan Nabi saw dalam perkara tugas-tugas — individu dan sosial —merupakan aktivitas politik.”[28] Di masa Nabi saw, kepemimpinan politik dan agama tidak terpisah. Tetapi setelah beliau, kepemimpinan politik dan agama (spiritual) dipisahkan satu sama lain.[29]
Tanda paling jelas dari kehidupan politik Rasulullah saw adalah formasi sebuah pemerintahan di Madinah dan perluasannya ke jazirah Arab. Setelah mendirikan pemerintahan di Madinah, beliau mulai mengirimkan surat ke negeri-negeri lain. Di tahun ke-7 Hijriah, Nabi saw mengirimkan utusan khusus ke Iran, Etiopia (Habasyah), Mesir, dan Bahrain untuk melaksanakan misinya.[30]
Ciri khas lain yang menandai kehidupan politik Nabi saw adalah kekhawatirannya terhadap masa depan muslimin setelah meninggalnya. Karena itu, Nabi saw biasa mengenalkan wakil atau penggantinya kepada masyarakat dalam berbagai kesempatan dan menyampaikan deklarasi resmi tentang penggantinya itu di Ghadir Khum. Al-Quran menyatakan bahwa jika Nabi saw gagal menyebarluaskan pesan Ilahi tersebut, maka agamanya belum lengkap.[31] Berkenaan dengan ini Imam Khomeini menyatakan: “Penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah muslimin oleh Rasulullah saw adalah semacam pendelegasian kekuasaan dari Rasulullah saw kepada Imam Ali (as). Demikian pula para Imam Maksum, yang melibatkan diri dalam politik di sepanjang hidupnya. Beberapa dari mereka membaktikan waktu hanya dengan terus berdoa atau terus mengajar. Kenyataannya ialah bahwa melalui kesempatan sedemikian itu, mereka ingin memperbaiki masyarakat. Rasulullah saw dan semua nabi melaksanakan aktivitas politik. Sesungguhnyalah, bangunan agama-agama tauhid adalah bercampur dengan aktivitas politik dan sosial.[32]
Berkenaan dengan Nabi Isa as, yang tampak—di mata para pengikutnya—sebagai seorang warak dan menjauhi politik, Imam Khomeini mengatakan: “Nabi Isa (as) yang pengikutnya menganggap sebagai insan spiritual, sejak awal menghendaki perjuangan. Bahkan, ketika masih bayi, Nabi Isa mengumumkan diri, datang dengan membawa al-Kitab. Insan seperti itu tidak akan pernah berdiam di rumah saja. Jika hanya ingin mengajar saja mengapa ia sampai diserang.”
- Pelaksanaan Islam
Jika kita melihat ragam ajaran Islam, kita akan mengetahui bahwa Islam tidak hanya mengajarkan prinsip umum dalam berbagai aspek kehidupan manusia, tetapi Islam juga mengenalkan hukum dan tatanan khusus guna mengatur urusan-urusan kemasyarakatan. Sebagai contoh: zakat, khumus, dan hukum ber-amar makruf nahi munkar. Sebenarnya, alasan utama di balik semua perintah itu, khususnya perintah sosial, ialah menciptakan keadilan sosial. Sebagaimana dikatakan Imam Khomeini berikut: “Islam identik dengan pemerintahan Islam, perintah-perintah Islam merupakan seruan tentang pemerintahan Islam, sebab semua (perintah-perintah) itu dimaksudkan untuk bangunan sebuah pemerintahan Islam.”
Faktor-Faktor yang Mendasari Ide Pemisahan Agama dari Politik
Dengan mempertimbangkan cara hidup para pemimpin agama, maka perlu untuk mempelajari gagasan menyesatkan pemisahan politik dan agama. Hal ini diperlukan guna mengetahui faktor-faktor yang mendasari pemisahan agama dari politik dan motif di balik ide tersebut. Kita juga harus mencari tahu awal pembentukan ide tersebut dan metode yang diikuti para pendukungnya.
Ada faktor eksternal dan internal yang bertanggung jawab dalam pengembangan ide ini. Faktor internal merujuk pada pendekatan dangkal terhadap agama dan yang disebut mistisisme-semu. Faktor eksternal mengacu pada kekuasaan kolonial. Seperti diketahui, gagasan pemisahan agama dari politik dimulai dari upaya Barat untuk membatasi peran gereja dan para pemuka agama dalam masyarakat guna memuluskan upaya pembentukan negara sekuler. Kemudian mereka berusaha memaksakan kebijakan sama di negara-negara lain yang berada di bawah pengaruh mereka.
Dengan demikian, mereka berhasil merampas (otoritas) para pemimpin agama yang sungguh-sungguh menginginkan kemaslahatan masyarakat dari keterlibatan (mereka) dalam urusan politik. Berkat racun pemikiran Barat, kekuasaan kolonial menjalankan misi mereka dengan sukses. Imam Khomeini mengatakan: “Penjarah licik mencoba mengisolasi Islam melalui agen-agen mereka yang berada di tempat persembunyian intelektual sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Kristen dan terus menyibukkan para ulama dengan ritual-ritual.” [33]
Kenyataannya, faktor-faktor eksternal lebih efektif daripada faktor internal dalam memisahkan agama dari politik. Dengan cara ini, ide pemisahan agama dari politik tampil ke depan. Dari sudut pandang sejarah, pendekatan berlebihan terhadap agama bukanlah hal baru, tetapi gagasan pemisahan agama dari politik mendapatkan momentum sejak tiga abad lalu. Sedangkan faktor internal berasal dari salah tafsir ajaran Islam. Karena itu, faktor ini menimbulkan bahaya lebih kecil bagi Islam dibandingkan faktor eksternal. [34]
Logika Berpemerintahan di Era Gaibah Imam Mahdi (af)
Para pemikir politik berpendapat, ada hubungan langsung antara perkembangan masyarakat dan kepemimpinan orang bijak dalam suatu negara. Dalam menanggapi kiasan Khawarij terhadap ayat al-Quran: “Hukum hanya milik Allah,” Imam Ali mengatakan, “Ada batas untuk setiap pemerintahan, tapi pada akhirnya sebuah pemerintahan yang adil akan mempunyai kekuatan untuk membela hak-hak kaum tertindas.”[35]
Ibnu Khaldun mengatakan, “Kepemimpinan dan pemerintahan merupakan elemen penting peradaban. Jika orang tidak mendukung pemimpin, peradaban dan pembangunan tidak akan mungkin terlaksana.”[36]
Permasalahan tersebut sangat jelas dan dapat dibuktikan dengan mudah. Namun, ada kalangan fuqaha berpandangan bahwa tidak dibolehkan membentuk pemerintahan di saat kegaiban Imam Zaman (as). Sikap seperti ini telah mempengaruhi ide-ide para pendukung “pendekatan zakat dan khumus”. Sebagian fuqaha pergi jauh mengubur zakat dan khumus karena mengira mereka tidak diizinkan mengelola zakat dan khumus tanpa kehadiran Imam Zaman (as).[37]
Dalam menganalisis pemikiran politik fuqaha tertentu terhadap pembentukan pemerintahan Islam selama kegaiban Imam Mahdi (a), Hamid Algar menulis: “Tepat setelah kegaiban Imam Mahdi as, orang-orang Syi’ah berpikir bahwa durasi okultasi Imam Mahdi hanya sebentar. Karenanya, mereka tidak khawatir tentang bentuk kepemimpinan. Jadi setelah kemangkatan empat wakil (naib), para ulama ditugaskan untuk menceritakan hadis tanpa mencampuri urusan keuangan. Di kemudian hari, dengan panjangnya masa kegaiban, kebutuhan mendirikan suatu pemerintahan yang komprehensif dirasakan umat Islam. Maka, gagasan menerima “ulama” sebagai representasi Imam Mahdi pun mengemuka.”[38]
Mereka yang berpendapat bahwa orang-orang tidak maksum tidak boleh membentuk pemerintahan, menemukan pemikiran mereka pada sebuah hadis tentang kemunculan kembali Imam Mahdi. Kesan salah mereka terhadap hadis tersebut menjadi akar dari suatu pemikiran bahwa menggagas gerakan tertentu—sebelum munculnya kembali Imam Mahdi—sebagai gerakan melanggar hukum. Bahkan hadis semacam itu dikaitkan dengan gerakan yang bangkit melawan para Imam Maksum atau gerakan yang mengaku sebagai gerakan Imam Mahdi.[39]
Imam Khomeini menyatakan bahwa tidak boleh ada pemisahan agama dari politik. Ia berpendapat bahwa bukan hanya perlu untuk berusaha mendirikan sebuah pemerintahan Islam, justru merupakan kewajiban umat Islam untuk membentuknya dalam kondisi-kondisi tertentu.
Mengacu pada argumen yang menentang perlunya membentuk pemerintahan oleh orang-orang tak maksum, Imam Khomeini menyatakan: “Keyakinan atas perlunya mendirikan pemerintahan dan membentuk sistem pelaksananya adalah bagian dari wilayat. Demikian pula setiap upaya ke arah ini, yang merupakan bagian dari kepercayaan pada wilayat. Kita meyakini wilayat dan menganggap bahwa Nabi saw menunjuk seorang khalifah dalam ketaatan kepada Allah. Karena itu, kita yakin bahwa umat Islam perlu membentuk pemerintahan… Perjuangan untuk membentuk sebuah negara Islam merupakan salah satu dasar keyakinan dalam wilayat.”[40]
Pernyataan di atas termasuk argumen teologis atas wilayat para Imam Maksum; yakni, meyakini wilayat sama dengan penerimaan terhadap kepemimpinan Imam Maksum. Sedangkan pemahaman mendalam tentang pengangkatan seorang pemimpin umat oleh Nabi saw akan menjadikannya jelas, bahwa orang-orang yang tak memenuhi syarat seharusnya dilarang memimpin umat. Jadi, siapa saja yang percaya pada wilayat, harus menghindari mempercayakan negara kepada orang-orang yang tak memenuhi syarat selama masa kegaiban Imam Mahdi.
Selain itu, Imam Khomeini mendasarkan gagasan pembentukan negara Islam pada sifat hukum Islam: “Sifat pemerintahan Islam memungkinkan untuk membentuk sebuah pemerintahan dan mengelola masalah budaya, ekonomi dan politik suatu masyarakat. Pertama, kelengkapan hukum dan aturan Islami—mulai dari undang-undang yang mengatur urusan tetangga, anak-anak, keluarga, pribadi, perkawinan, perang, perdamaian, hubungan dengan negara lain, ekonomi, perdagangan, industri, dan pertanian—semuanya dimaksudkan untuk menjalankan segala urusan kemasyarakatan. Poin ini menunjukkan bahwa Islam serius mengurusi permasalahan politik dan ekonomi. Kedua, sekilas saja melihat sifat perintah agama, akan membuktikan tentang perlunya membentuk pemerintahan guna melaksanakan hukum tersebut. Tanpa membentuk pemerintahan maka mustahil melaksanakan hukum-hukum tersebut.”[41]
Imam Khomeini berpendapat, institusi negara begitu penting karena Islam juga identik dengan kepengaturan. Dengan mendirikan pemerintahan Islam orang-orang bisa memperoleh keadilan dan dapat melaksanakan perintah Ilahi. Bentuk dan peran khusus Islam tidak hanya di zaman Nabi saw tetapi berlaku juga untuk zaman lain, termasuk periode gaibah Imam Mahdi.[42]
Menurutnya, kolonialisme bertanggung jawab atas upaya pemisahan Islam dan politik, khususnya di era kini. Kekuasaan kolonial mengintimidasi pikiran kita bahwa tidak ada bentuk pemerintahan dalam Islam. Bahkan jika kita menganggap dapat membentuk pemerintahan, maka kekuasaan kolonial akan berusaha menanamkan dalam pikiran umat Islam bahwa tidak ada orang yang memenuhi syarat untuk menjalankan pemerintahan Islam itu.[43] Selain itu, ada pula kecenderungan mistik kaum radikal di kalangan muslimin yang mengajukan keberatan demi menjauhkan umat Islam dari upaya membentuk pemerintahan.[44]
Imam Khomeini memberikan laporan rinci tentang alasan di balik penghindaran muslimin dari pembentukan pemerintahan dalam bukunya, Hukumat-e Islami, tempat mendenahkan berbagai aspek suatu pemerintahan. Kita bisa menyimpulkan bagian ini dengan melihat sekilas pada sebuah hadis dari Imam Ridha (as): “Beberapa alasan di balik pengangkatan pemegang otoritas oleh Allah, dan membuat kepatuhan kepada mereka wajib adalah sebagai berikut: Pertama, orang akan merasa berkewajiban untuk mengikuti aturan tertentu yang akan menyelamatkan mereka dari penyelewengan. Tidaklah mungkin mengikuti aturan semacam itu kecuali kekuasaan dipercayakan pada penguasa yang dipercaya. Kedua, kemakmuran bangsa tergantung pada eksistensi penguasa yang berusaha memecahkan masalah jasmani dan rohani mereka. Allah, Yang Mahabijaksana, tidak pernah meninggalkan makhluk-Nya tanpa panduan. Alasan ketiga, tidak adanya pemimpin dan panduan yang tepat menyebabkan perintah dan kewajiban agama akan hancur.”[45]
Legitimasi (Masyru`iyyah) dalam Pemerintahan Islam
Sebagaimana telah gamblang disebutkan, ada hubungan erat antara agama dan politik. Selain itu, pembentukan pemerintahan Islam merupakan keharusan agama baik dalam kehadiran ataupun kegaiban Imam Mahdi as. Lalu, apakah sumber legitimasi pemerintahan Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama, harus diklarifikasi maksud legitimasi itu.
Legitimasi sebuah sistem dari sudut pandang politik, berarti adanya bentuk tertentu dari pemerintah yang membuatnya sah untuk menjadikan masyarakat berkewajiban mematuhinya. Sebagai contoh, ketika penguasa dipilih oleh anggota masyarakat pemilih, maka mereka merasa berkewajiban mematuhinya.
Tentu saja, legitimasi semacam ini dapat beradaptasi dengan syariat. Islam merekomendasikan sebuah pemerintahan agama yang sah. Konsep legitimasi adalah ide dasar dalam ilmu politik yang telah diperdebatkan serius oleh masyarakat dan penguasa. Kenyataannya, sumber dan kriteria bagi legitimasi pemerintahan tidak sama dalam pandangan beberapa pemikir. Ada beberapa teori legitimasi, seperti berikut ini:
Legitimasi Alamiah: Teori ini adalah salah satu teori legitimasi tertua. Para filsuf Yunani, terutama Aristoteles, mengajukan pandangan ini. Menurut teori ini, ada orang-orang tertentu yang cocok secara alamiah untuk memerintah. Legitimasi penguasa ini berasal dari bentuk alamiahnya. Dalam bukunya, Politik, Aristoteles menulis: Beberapa orang ditakdirkan untuk memerintah atau diperintah sebagai bawaan (sejak lahir).[46]
Legitimasi Kekerasan: Ada pemikir politik tertentu berpendapat bahwa kekuatan merupakan ciri khas legitimasi pemerintahan. Garercus, sejarawan dan politikus terkenal Yunani, dan Thomas Hobbes dari Inggris, adalah penganut teori ini.[47] Ada beberapa ulama berpendapat bahwa kemenangan yang diperoleh dengan pedang dianggap sebagai sebuah kriteria untuk legitimasi penguasa. Qadi Abi Yali, mengutip Imam Ahmad Hambal, mengatakan: “Siapa saja yang merebut kekuasaan dengan (kekuatan) pedang, sejauh ia disebut khalifah dan amirul mukminin, baik dia berperilaku baik atau buruk, tak seorangpun dibolehkan menentangnya.”[48] Biasanya, para diktator memulai pemerintahan mereka melalui jalan kekerasan (paksa).[49]
Legitimasi Ilahi: Teori ini banyak memiliki penganut sepanjang sejarah. Banyak penguasa mengatributkan legitimasi mereka pada Tuhan dan berusaha menanamkan dalam pikiran orang-orang bahwa ketaatan kepada penguasa sama dengan ketaatan pada Tuhan. Sebaliknya, menentang penguasa berarti menentang Tuhan. Terdapat dua klaim mengenai asal-usul ide ini. Pertama, selain sebagai penguasa, si pemegang kekuasaan menganggap dirinya Tuhan yang berhak mengatur manusia lain (“rabb”); seperti di Mesir Kuna. Kedua, aspek dominan legitimasi Ilahi suatu pemerintahan ialah menganggap diri mereka sebagai diangkat oleh Tuhan yang paling tahu kondisi hamba-Nya. Tuhan telah mengirim hukum dan aturan tertentu demi membuka jalan bagi kebahagiaan umat.[50]
Kadang-kadang legitimasi Ilahi membayangi legitimasi publik dan membawa di belakangnya kesan bahwa raja adalah bayangan Tuhan, yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Tuhan. Dan, oleh karena itu, perlu bagi masyarakat untuk mematuhi mereka.[51]
Di antara ulama, pandangan ini sering disalahgunakan. Dalam hal ini Khwaja Nizam al-Mulk mengatakan: “Allah akan memilih satu dari banyak orang di setiap zaman, melimpahinya dengan kepantasan pemerintahan, melindunginya terhadap setiap korupsi dan hasutan, dan menyebarkan kebesarannya di antara orang-orang.”[52]
Meskipun terdapat banyak kasus dalam sejarah yang menunjukkan penyalahgunaan teori tersebut, namun kita tidak ingin membantahnya. Selama masa Nabi saw dan juga Imam Maksum, pemerintahannya berdasarkan kehendak Allah Swt, tapi tidak pernah mengabaikan hak-hak rakyat. Sehingga, tidak pernah menyebabkan ketidakadilan dalam masyarakat.
Legitimasi Populer: Teori ini mengakui persetujuan masyarakat sebagai sumber utama legitimasi pemerintahan. Jean Jacques Rousseau adalah pendukung teori ini. Ia menyatakan: “Satu-satunya unsur yang merupakan dasar dari kekuatan yang sah dan pemerintah yang sebenarnya adalah konvensi yang disepakati oleh kedua belah pihak.”[53] Secara historis, teori ini berdiri melawan legitimasi Ilahi. Di Barat, pendukung teori ini berdiri melawan kediktatoran agama dan jenis kediktatoran lainnya. Teori-teori reformasi dan revolusi telah berevolusi untuk meniadakan legitimasi kekerasan.
Legitimasi Tradisional: Dalam gagasan ini, hak pemerintahan adalah turun-temurun dan secara eksklusif diberikan kepada ras atau keluarga. Teori ini tidak memiliki pendukung saat ini.
Pandangan Imam Khomeini
Imam Khomeini mempertimbangkan dua faktor untuk legitimasi sebuah pemerintahan Islam: legitimasi Ilahi dan kesetiaan publik.
Tidak ada keraguan bahwa sistem pemerintahan di bawah Nabi saw dan Imam Ali didasarkan pada legitimasi Ilahi. Allah adalah pemilik asli dari segala sesuatu dan telah menunjuk Nabi saw dan para Imam (as) untuk memerintah masyarakat. Dalam hal ini, Imam Khomeini mengacu pada ayat: Hai orang-orang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan mereka yang memiliki otoritas (QS.al-Nisa [4]:59).
Muslimin menerima bahwa Nabi saw mendapat legitimasi pemerintahannya dari Allah Swt. Namun, mereka berbeda pada kepemimpinan muslimin setelah wafatnya Nabi.
orang Syi’ah meyakini bahwa Nabi saw dan para Imam (as) ditunjuk sesuai dengan perintah Ilahi. Beberapa ulama Syi’ah, termasuk Imam Khomeini, bahkan berpendapat bahwa para fuqaha layak dan berhak untuk membentuk pemerintahan karena pengakuan para Imam Maksum yang ditunjuk Allah Swt.
Argumentasi Imam Khomeini dalam buku-bukunya—seperti al-Bay’, Kasyf-e Asrar, Tahrir al-Wasila—dan pidato-pidatonya, menunjukkan bahwa penunjukan sang pemegang otoritas (wali–e-Amr) adalah tugas Ilahi. Dalam Tahrir al-Wasila, ia menulis:
“hanya para Imam Maksum dan yang ditunjuk mereka sajalah yang berhak untuk mengambil kemudi urusan-urusan politik. Selama ketidakhadiran Maksumin (as), wakil-wakil mereka, yaitu, para faqih berkualitas, bertanggung jawab untuk menjalankan urusan politik.”[54]
Kebijakan Imam Khomeini selama sepuluh tahun pemerintahannya menegaskan asumsi demikian. Dalam beberapa pidatonya, ia bahkan menganggap pemerintah paling demokratis sebagai tidak adil secara fitrah jika tidak di bawah pemerintahan seorang faqih. Ia berpendapat: “Dengan tidak adanya perwalian seorang faqih (Wilayat faqih) dan ketertiban Ilahi, tagut akan menang. Jika presiden tidak diangkat oleh faqih, maka ia tidak sah. Presiden yang tidak sah sama saja dengan tagut. Tagut bisa hancur ketika seorang pemimpin yang adil diangkat dengan rahmat Allah.”[55]
Dalam surat-surat, seperti penunjukan anggota Dewan Revolusi Islam di Iran dan penunjukan perdana menteri pertama Iran,[56] sambil mengacu pada titik ini, Imam Khomeini berkata: “Sebagai seorang yang menerapkan wilayah suci agama, saya menunjuknya… Setiap penentangan terhadap pemerintahan ini sama artinya dengan penentangan terhadap syariat (hukum agama).”[57]
Tapi pada kesempatan lain, ia mengacu pada pandangan orang-orang dan memperhitungkan suara mereka. Dalam pertemuannya dengan wakil dari Paus Paulus VI, yang ingin memediasi pelepasan sandera Amerika di Iran, ia mengatakan: “Tuan Paus harus tahu bahwa saya tidak bisa mengatasi masalah ini (jika) secara pribadi. Saya tidak ingin memaksakan (keinginan saya) pada rakyat saya. Dan Islam tidak mengizinkan kita untuk membangun kediktatoran. Kami mengikuti suara bangsa kami, dan bertindak sesuai dengan pandangan mereka. Kami tidak berhak, dan Allah tidak memberikan hak seperti itu pada kami, dan Nabi saw tidak pernah mengizinkan kami untuk memaksakan ide-ide kami pada muslimin.”[58]
Dalam banyak kasus, Imam Khomeini menghormati sepenuhnya hak rakyat dan mempertahankan bahwa mereka adalah sumber legitimasi dari pemerintah. Pada saat yang sama ia tidak mengabaikan legitimasi Ilahi. Menurut Imam Khomeini, Allah Swt dan NabiNya tidak mengizinkan penguasa untuk menentang suara rakyat
Bentuk Pemerintahan Islam: Perwalian Mutlak Wali Faqih
Segi paling menonjol dari pemikiran politik Imam Khomeini adalah doktrin wilayat faqih. Konsep dan doktrin yang ada di dalam tubuh Islam ini kurang mendapat perhatian yang semestinya dan tidak disusun secara layak oleh para ulama Syi’ah sebelumnya. Konsep ini sangat menonjol dalam pemikirannya sehingga sebagian besar ide-ide politiknya seharusnya diinterpretasi dengan mengacu pada doktrin ini.
Secara historis, dalam fikih Syi’ah, masalah ini tidak pernah tersentuh sampai ketika almarhum Naraqi menulis kitab Awaid al-Ayyam. Sebelum Naraqi, isu wilayat faqih dan masalah perwalian atas masyarakat Islam tidak pernah dipertimbangkan untuk masuk ke dalam judul tertentu dalam Fiqih. Almarhum Naraqi memberikan sebuah bab terpisah untuk masalah wilayat faqih berikut aspek-aspeknya. Kemudian Mir Fattah Husayni Maraghei dalam bukunya, Anawin; Muhammad Hasan Najafi dalam bukunya, Jawahir al-Kalam, dan Syaikh Murtada dalam Makasib-nya mengangkat masalah ini. Kemudian, beberapa fuqaha melakukan penelitian terhadap Al–Makasib secara bertahap sambil mengembangkan ide-ide mereka sendiri juga.
Di era selanjutnya Imam Khomeini mulai membahas masalah ini dalam bukunya, al-Bay’, dan mendiskusikan di kelas-kelas bahtsul kharij-nya di Najaf. Meskipun Imam Khomeini, seperti fuqaha lain, sudah membahas masalah ini dalam al–Bay’, ia mengangkatnya lagi secara serius demi mendorong orang lain mengembangkan teori-teori mereka. Imam Khomeini mengembangkan gagasannya tentang wilayat faqih dalam empat periode sebagai berikut.
Periode pertama: ia mengajukan garis-garis besar gagasan wilayat faqih dalam bukunya Kasyf-e Asrar,[59] dalam bentuk jawaban atas penulis Asrar-e-Hizar Saleh. Salah satu pertanyaan yang Imam angkat dalam buku ini adalah: “Adalah lebih baik jika ada fuqaha dalam majelis konstituante kita yang menunjuk Syah.”[60] Dalam buku ini, Imam Khomeini tidak mengajukan teorinya tentang wilayat faqih, tetapi merujuk pada teori Ayatullah Naini tentang Nizarat Faqih (Pengawasan Fuqaha). Tapi tampaknya, bahkan selama periode itu pun ia setuju dengan gagasan wilayat faqih, bukan Nizarat Faqih.[61]
Periode kedua: Pembuktian (dengan fakta-fakta) bentuk wilayat faqih yang muncul dalam tiga bukunya, yaitu, al–Rasail, Tahrir al-Wasila, dan al–Bay’. Buku-buku ini ditulis pada 1954, 1964, dan 1970. Ia menulis buku-buku ini dalam atmosfer akademis ketika ia tidak terlibat langsung dalam menjalankan negara. Enampuluh satu halaman al-Bay’, merupakan karya terbaik Imam Khomeini tentang wilayat faqih. Selain itu, ia memberikan berbagai kuliah tentang pemerintahan Islam yang kemudian diterbitkan dengan judul Hukumat Islami. Itu adalah buku terbaik yang mengelaborasi pandangan Imam Khomeini tentang wilayat faqih.
Periode ketiga: Selama tahun 1978-1980, Imam Khomeini tidak secara langsung membicarakan tentang wilayat faqih. Bahkan, ia tidak menyebutkan istilah ini dalam pernyataan-pernyataannya. Meskipun ia menyandang kewajiban agama dalam pengangkatan pejabat tinggi di Iran, ia tidak berbicara tentang status wilayat faqih dalam konstitusi. Bagaimanapun, Majelis Ahli pertama dibentuk dan para anggota majelis itu mengklarifikasi peran wilayat faqih dalam pemerintahan Islam. Setelah penempatan istilah wilayat faqih dalam konstitusi, beberapa partai politik menggambarkannya sebagai suatu bentuk kediktatoran.
Lalu Imam Khomeini merasa perlu untuk memperjelas perbedaan antara konsep wilayat faqih dan kediktatoran: “Masalah wilayat faqih ini bukanlah penemuan Majelis Ahli. Tetapi telah ditahbiskan oleh Tuhan…. Anda tidak perlu takut wilayat faqih. Seorang faqih tidak bisa menjadi diktator. Jika seorang faqih berusaha menjadi diktator, maka dia tidak bisa lagi mempunyai hak perwalian (wilayat) atas masyarakat.”[62]
Periode keempat: Selama periode ini, Imam Khomeini berusaha untuk mendefinisikan ruang lingkup otoritas faqih. Dalam periode ini Imam tidak bisa menghindar dari upaya memperjelas wewenang faqih dan menanggalkan kesan-kesan palsu terhadap gagasan-wilayat faqih. Periode ini dimulai dengan jawaban Imam terhadap permintaan penyelidikan atas Menteri Tenaga Kerja pada 7 Desember 1988.
Setelah penyelidikan, diskusi mengenai yurisdiksi wilayat faqih dimulai di Dewan Garda Konstitusi. Untuk keperluan ini, Dewan menulis empat surat kepada Imam Khomeini. Salah satu surat itu terkait dengan pidato Presiden Ayatullah Khamenei pada khotbah Jumat. Dalam suratnya Imam Khomeini menjelaskan bahwa putusan negara lebih tinggi dari perintah primer dan sekunder (ahkam-e awali wa tsanawi). Satu bagian dalam surat itu berbunyi:
“Apa yang telah dikatakan atau yang sedang dikatakan (tentang wilayat faqih) berasal dari kurangnya pengetahuan tentang wilayah mutlak Tuhan.” Sedangkan kualifikasi dari pejabat di posisi wilayat faqih telah dijelaskan dalam surat Imam (27 April 1980) kepada Ketua Majelis untuk Amandemen Konstitusi Republik Islam Iran.[63]
Mengapa Mendirikan Wilayat Faqih?
Para pendukung wilayat faqih mengacu pada alasan-alasan transmitif dan intelektual ketika membela pembentukan sistem pemerintahan berdasarkan wilayat faqih, yakni: (i) Alasan berkaitan dengan urusan hasbiyyah. (ii) Hadis-hadis khusus tentang wilayat faqih. (iii) alasan filosofis dan teologis. (iv) Penalaran melalui tradisi.
Ulama Syi’ah memiliki ide yang berbeda pada pelaksanaan argumen pertama.
Umumnya, mereka menganggap urusan hasbiyah pada kasus-kasus tertentu, seperti perwalian atas urusan anak yatim, kehilangan dan perceraian.[64] Sementara beberapa ulama lain berpendapat bahwa ciri utama dari masalah hasbiyyah adalah upaya untuk membentuk pemerintahan. Pendekatan ini adalah cara termudah untuk membuktikan gagasan wilayat faqih.[65]
Imam Khomeini tidak membuktikan masalah wilayat faqih melalui argumen ini, tapi itu tidak berarti bahwa ia menentang pembentukan pemerintahan Islam oleh fuqaha.[66] Ia mencoba untuk merujuk kepada alasan lebih kuat yang dapat memberikan otoritas lebih pada seorang faqih.
Argumen keempat mengacu pada hadis-hadis khusus. Ini adalah metode dari almarhum Ayatullah Borujerdi. Dengan mengacu pada struktur umum dari agama dan kebutuhan untuk menerapkan aturan agama, dalam masa kegaiban Imam Mahdi (as), ia menyatakan bahwa meskipun para Imam Maksum tidak menunjuk siapa pun sebagai penjaga masyarakat, tapi ada hadis khusus dari para Imam (a) yang menandakan perlunya pembimbingan fuqaha.[67] Dia berhasil mengutip beberapa hadis tentang masalah ini.[68]
Sementara ulama lain mencoba untuk merujuk kepada hadis, Imam Khomeini memberi penekanan khusus pada argumen filosofis dan teologis. Ia meyakini bahwa masalah mendirikan sebuah pemerintahan Islam sudah sangat jelas dan selanjutnya ia merujuk juga pada hadis tertentu.
Catatan Singkat dari Argumen Imam Khomeini tentang Wilayat Faqih
Imam Khomeini memulai argumennya dalam masalah ini sebagai berikut: Pertama, Islam adalah agama komprehensif, yang memberikan hukum pada politik, kemasyarakatan, ekonomi, dan lain-lain. Diakui bahwa perintah Ilahi berlaku untuk semua masyarakat di sepanjang masa. Kedua, perintah-perintah agama tidak berguna kecuali mereka diterapkan untuk membentuk sebuah negara yang didasarkan pada perwalian Ilahi.
Ketiga, selain itu, guna melindungi sistem Islam, pengawasan perbatasan muslimin dari tiap gangguan musuh, dan mencegah kekacauan dalam masyarakat Islam, maka perlu untuk membentuk sebuah pemerintahan Islam. Oleh karena itu, alasan yang mendasari peran seorang Imam dalam masyarakat, juga menjadi alasan pembentukan pemerintahan ketika tidak hadirnya para Imam Maksum. Dan keempat, kepemimpinan pemerintahan Islam telah secara khusus dipercayakan pada orang tertentu di masa kegaiban Imam Mahdi as. Tapi karena pemerintah merupakan sifat bawaan Islam, penguasa harus memiliki setidaknya dua kualifikasi berikut: (1) faqih (menguasai hukum, atau mujtahid); dan (2) ia harus seorang adil.[69]
Argumen tersebut mendukung gagasan pembentukan pemerintah dalam ketidakhadiran Imam Maksum. Almarhum Ayatullah Borujerdi berbagi sudut pandang yang sama dengan Imam Khomeini pada masalah mendasar ini.
Perlu dicatat bahwa penalaran seperti itu bukan berarti bahwa setiap faqih adil bisa menjadi wali dari masyarakat Islam. Namun, Imam tidak menguraikan cara-cara pemilihan pemimpin itu dari antara para fuqaha.[70] Tetapi yurisdiksi perwalian di seluruh fuqaha dibatasi pada penegakan isu mikro selama penguasanya adalah penguasa yang tidak adil (tagut).
Dalil Transmitif yang Mendukung ide Wilayat Faqih
(a) Teks-Teks khusus
Ada banyak hadis sebagai rujukan masalah wilayat faqih. Tetapi ayat al-Quran yang menjadi sandaran masalah ini adalah: Wahai orang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan mereka yang berwenang di antara kamu.[71] Imam Khomeini menafsirkan ayat di atas dengan mengacu pada hadis-hadis otentik diriwayatkan Umar bin Hanzalah.[72] Tetapi ia tidak pernah bergantung pada hadis itu sebagai alasan satu-satunya.
Karena ada ambiguitas pada konsep ulil amr (pemegang otoritas). Para mufasir, termasuk Allamah Thabataba’i, menarik kesimpulan bahwa para pemegang otoritas mesti mengacu pada Imam Maksum as.[73] Beberapa Ulama Sunni menganggap setiap pemimpin sebagai ulil amr.[74] Sebagai fakta, adalah perlu untuk merujuk pada hadis khusus dan tidak membatasi masalah pada ayat al-Quran. Namun demikian, ada sebagian fuqaha kontemporer yang hanya mengacu pada ayat di atas untuk mendukung gagasan wilayat faqih.[75]
Imam Khomeini mengacu pada hadis-hadis berikut sebagai bukti untuk mendukung gagasan wilayat faqih: 1) Mursalah Shaduq; 2) Sebuah hadis dari Ali bin Abi Hamzah dari Imam Kazhim (as); 3) Mawthaqah Sakuni dari Imam Shadiq (as); 4) Tawqih Ishaq bin Yaqub; 5) Maqbulah Umar bin Hanzalah; 6) Sahihah Qaddah dari Imam Shadiq (as).[76] Di antara hadis-hadis tersebut, keaslian dari dua hadis pertama telah dipertanyakan. Sisanya adalah yang direkomendasikan dan dianggap otentik.
Imam Khomeini mengacu hadis-hadis berikut sebagai otentik: hadis Jami al-Akhbar dari Nabi saw, hadis Abdulwahab Amadi dari Imam Ali bin Abi Thalib dan hadis Tuhaf al-Uqul dari Imam Husain.
Latar belakang pemikiran teologis Imam Khomeini memengaruhi kesannya terhadap hadis-hadis tersebut dan membedakannya dari faqih yang lain. Misalnya, mengenai Hadis “Ya Allah kasihanilah khalifah kami.” Ia mengatakan, tidak ada keraguan bahwa kata “khalifah” Nabi saw itu berkaitan dengan wilayat dan pemerintahan.[77] Pada hadis berikut, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.” Ia mengatakan bahwa beberapa nabi, termasuk Nabi Muhammad saw, memiliki posisi wilayat. Menjadi pewaris para nabi berarti mewarisi apa pun yang mereka miliki dari seluruh milik yang dapat dialihkannya. Tidak ada keraguan bahwa pemerintahan dapat dialihkan.[78]
Singkatnya, Imam Khomeini mengajukan dua pendapat, kalami dan argumen transmitif, untuk perwalian fuqaha di masa ketakhadiran Imam Maksum (as). Ia bahkan mengacu pada kondisi dan yurisdiksi pemegang otoritas. Kami akan menyampaikan sedikit tentang dua hal ini dan mengacu pada aspek-aspek lain dari pandangan Imam tentang masalah ini.
Kualifikasi Wali Faqih
Ada beberapa kondisi untuk “mengkualifikasi” wali faqih. Beberapa ulama Sunni dan Syi’i menghitung sepuluh kualifikasi.[79] Imam Khomeini menekankan pada dua kualifikasi: faqahah (penguasaan atas fiqih) dan keadilan. Namun, di masa kegaiban Imam Mahdi, faqih yang memenuhi syarat dan dapat mengeluarkan hukum ialah yang direkomendasikannya untuk perwalian umat Islam.[80]
Dua kondisi tersebut tidak hanya didasarkan pada taqlid, tetapi juga didasarkan pada alasan rasional Imam Khomeini, yang dalam hal ini mengatakan, “Pemerintahan Islam adalah pemerintahan hukum yang hendak menerapkan hukum Tuhan. Tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan melaksanakan hukum Tuhan di tengah masyarakat. Jadi, pemimpin yang berkuasa di sebuah negara seperti ini harus memenuhi dua kondisi, yang menjadi dasar negara tersebut; (yakni) pengetahuan terhadap hukum, dan keadilan. Dan untuk masalah efisiensi serta kemampuan manajemen terkandung dalam pengetahuan penguasa tersebut. Ini dapat dianggap sebagai kondisi ketiga …. dengan demikian, kepemimpinan hanya milik seorang faqih yang adil.”[81]
Apa yang dimaksud dengan faqahah (mujtahid) dalam pandangan Imam Khomeini? Apakah itu berarti pengetahuan tentang isu-isu fiqih umum? Apakah ada kondisi lain yang diperlukan bagi pemegang otoritas? Imam Khomeini dalam bukunya, Hukumat-e Islami, menulis, “Seorang penguasa haruslah ulama paling terpelajar dalam ajaran agama.”[82]
Disisi lain, dengan tidak adanyapara Imam Maksum (as), pengetahuan tentanghukum dankemampuan beristimbat hukumdianggapsebagai duakualifikasipenting daripengetahuan seorang kadidan pengetahuan mendalamtentang agamadiperlukan untukmenjadiseorangmufti. Oleh karena itu, menurutImamKhomeini,seorang pemegangotoritasharusahli hukumdan yang palingberkualitas dibidangagama Islam.
Namun, di hari-hari akhir hidupnya, Imam Khomeini dalam sebuah surat kepada Ketua Majelis untuk Amandemen Konstitusi, menulis: “Sejak awal saya berpendapat bahwa Marjaiyyah bukanlah kondisi yang diperlukan (untuk kepemimpinan). Seorang mujtahid yang adil yang direkomendasikan oleh Majelis Ahli dapat mengemban kepemimpinan masyarakat Islam. Saya menyebutkan poin ini sementara Majelis Ahli menyiapkan konstitusi. Karena itu, saya setuju dengan proposal mereka—meskipun kolega saya bersikeras pada Marja’iyyat sebagai syarat yang diperlukan [untuk kepemimpinan]. mengingat saya yakin kondisi ini tidak dapat dipenuhi di masa depan...”[83]
Tampaknya, dari awal Revolusi Islam, Imam Khomeini tidak percaya bahwa pemegang otoritas di dalam masyarakat Islam harus menjadi ulama yang paling berkualitas (a’lam). Namun, rupanya ada kontradiksi antara tulisan-tulisan Imam Khomeini sebelumnya dan pernyataan terakhirnya. Tampaknya ia telah mengubah posisinya. Tetapi jika kita mempelajari pandangannya, kita akan mengakui bahwa tidak ada kontradiksi.
Mengenai Ijtihad dalam masalah sosial, Imam Khomeini mengedepankan ide-ide menarik. Mari kita lihat salah satu pidatonya dalam hal ini: “Ijtihad dalam arti yang lazim di pusat-pusat agama tidak cukup bagi pemegang otoritas. Yakni jika ia yang paling terpelajar dalam studi agama itu, (tetapi) tidak mampu mengenali kepentingan masyarakatnya atau membedakan antara orang-orang yang berguna dan tidak berguna bagi masyarakat. Yakni, ia tidak memiliki wawasan sosial yang tepat. (maka) Ia bukan mujtahid sesungguhnya dan tidak bisa melewati keputusan pada urusan sosial-politik. Oleh karena itu, ia tidak memenuhi syarat untuk memegang otoritas.”[84]
Menjaga pandangan poin ini dan apa yang sudah kita katakan sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa kefuqahaan mencakup efisiensi dan manajemen. Ini jelas bahwa soal a’lamiyyah (menjadi ulama yang paling memenuhi syarat) dalam urusan politik dan sosial berbeda dengan a’lamiyyah dalam isu-isu agama murni yang merupakan kriteria untuk marja’ yang ditaklidi. Apa yang tidak diperlukan, dalam pandangan Imam, adalah kekuatan marja’iyyah atau a’lammiyyah. Tetapi a’lamiyyah dalam arti memiliki pengetahuan fiqih, kesadaran politik dan sosial serta manajemen, jelas sangat diperlukan untuk kualifikasi seorang pemimpin. Poin ini telah dimasukkan dalam konstitusi Republik Islam Iran.[85]
Mengenai kondisi keadilan dan kesalehan sebagai kualifikasi pemimpin, Imam Khomeini mengatakan, “Seseorang yang berniat menjadi wali kaum muslimin dan penerus dari Amirul Mukminin, dilarang melekatkan diri pada urusan duniawi. Jika seseorang masih suka pada duniawi maka ia tidak dapat menjadi wali dan orang yang bisa dipercaya umat.”[86] Imam Khomeini menganggap penghindaran dari urusan duniawi sebagai syarat utama yang diperlukan seorang pemimpin.[87]
Beberapa dari syarat ini diterima oleh semua fuqaha kontemporer. Sebab, mereka percaya pada perlunya memegang urusan hasbiyah oleh faqih yang memenuhi syarat dalam gaibah Imam.[88] Dalam hal ini, Imam Khomeini, seperti ulama lain, merekomendasikan otoritas tersebut untuk wali faqih.
Jelaslah, perwalian atas tasyri’ ajaran agama berada di tangan para nabi (as). Jika para Imam (as) berupaya untuk menjelaskan ajaran agama yang rumit, mereka berusaha untuk menunjukkan cahaya terang pada apa yang telah Nabi tinggalkan untuk mereka. Menguraikan periode ini, Imam Khomeini berkata: “Dalam sebuah negara Islam, Allah adalah penguasa. Para nabi dan penerus mereka berusaha menjadi pelaksana aturan Allah. Mereka tidak pernah mengajukan aturan apapun melawan aturan Allah. Namun, mereka menggunakan kekuasaan mereka di mana pun di tempat yang tidak menganut prinsip jelas.”[89]
Bagaimanapun, menurut Imam Khomeini, seorang faqih—terlepas dari menggunakan kewenangannya dalam urusan-urusan hasbiyyah—memiliki kewenangan dalam melaksanakan hukum dan kebijaksanaan, hukum pidana, dan amar makruf nahi munkar. Ia juga perwalian atas negara dan politik dalam yurisdiksi hukum agama, hukum sipil, dan menerapkan aturan Islam.
Mari kita mengacu pada dua pertanyaan dasar berikut: pertama: Apakah yurisdiksi sang faqih meliputi hukum agama primer dan sekunder, atau itu terbatas hanya pada masalah sosial dan individu tertentu? Dan kedua: Apakah perwalian seorang faqih adil terbatas pada hukum yang berlaku, atau dia bisa mengesampingkan hukum?
Otoritas Wali-Faqih dan Ajaran Agama
Tak diragukan lagi bagi setiap Muslim harus mengikuti hukum agama pertama (awwali) dan kedua (tsana’i). Peraturan ini merupakan bentuk eksternal dari komitmen terhadap agama yang menentukan keharusan atau bukan keharusan agama. Di sisi lain, mendirikan pemerintahan pada suatu masa tertentu, memerlukan metode dan keahlian berbeda.
Jadi, seorang penguasa agama, selain berurusan dengan aturan agama, juga harus mengurus aturan negara. Dalam kasus tertentu, aturan negara dimaksudkan untuk melaksanakan aturan primer atau sekunder, membedakan subjek mereka atau mengurus masalah keagamaan tertentu. Pada yang demikian seorang faqih dapat menggunakan otoritasnya. Namun dalam kasus tertentu lain, hukum primer atau sekunder ialah menangani masalah halal-haram, seperti wajib beribadah haji, melawan hukum riba, dan lainnya. Persoalannya, apakah seorang wali faqih bisa melewati sebuah keputusan berhadapan dengan aturan tersebut demi kepentingan Muslim?
Imam Khomeini menyatakan, otoritas pemerintahan wali faqih identik dengan pemerintahan Imam Maksum. Hanya dalam kasus-kasus tertentu saja para Imam Maksum memiliki kekuasaan khusus yang tidak ada hubungannya dengan perwalian mereka atas masyarakat, seperti kasus jihad yang mungkin terkait hanya dengan Imam Maksum.[90] Dalam bukunya, ia tidak mengacu pada yurisdiksi pemerintahan Imam Maksum dan hanya mengutip beberapa contoh, seperti, Nabi saw menggunakan pukulan seratus kali sebagai suatu ukuran hukuman. Begitu pula Imam Maksum dan wali faqih, yang dapat menerapkan hukuman itu. Mereka mengumpulkan amal dengan cara serupa dan menggunakannya untuk kepentingan rakyat, sementara rakyat mematuhinya.[91]
Tentu ada referensi untuk perwalian mutlak dan umum[92] ini dalam bukunya, al-Bay’. Tetapi tidak ada penjelasan eksplisit dari hubungan antara kewenangan seorang wali faqih dan aturan-aturan primer dan sekunder. Dalam suratnya kepada menteri tenaga kerja, Imam Khomeini mengklarifikasi yurisdiksi seorang faqih soal ajaran agama dan otoritas pemerintah dalam menentukan kondisi yang diperlukan bagi para kontraktor.
Mengikuti pernyataan tersebut, terjadi perdebatan antarpara pejabat tinggi. Lalu Imam Khomeini menulis surat, “Dikatakan, saya berpendapat bahwa otoritas negara atau pemerintahan tidak keluar dari kerangka aturan Ilahi. Pernyataan semacam itu bertentangan dengan pendapat saya. Jika otoritas pemerintahan ini merupakan turunan langsung dari perintah Ilahi, maka peraturan Ilahi dan perwalian mutlak Nabi saw menjadi tidak ada artinya.. Pemerintahan adalah cabang dari perwalian mutlak Nabi saw. Ini adalah satu dari hukum awwali dalam Islam dan menjadi ketentuan yang melandasi semua perintah turunan (yang lain), seperti salat, puasa dan ibadah haji.. Pemerintahan dapat menghentikan suatu masalah, baik yang ritual ataupun yang bukan ritual, jika ia bertentangan dengan kepentingan Islam.”[93]
Pernyataan ini menunjukkan bahwa otoritas seorang wali faqih tidak terbatas pada sejauh bahwa ia dapat menangguhkan sementara aturan primer dan sekunder jika ia menyadari bahwa itu adalah demi kepentingan kaum muslimin. Sementara uraian atas otoritas wali faqih dalam al–Bay’ menyatakan bahwa otoritas wali faqih tidak terbatas.
Menurut Imam Khomeini, peraturan pemerintah bukanlah aturan sekunder tetapi peraturan pertama.[94] Karena itu, perwalian atas aturan pemerintah tidak bergantung pada kebutuhan, kasus-kasus darurat, dll, tetapi pada kepentingan umat Islam.[95]
Namun, Imam Khomeini tidak mengajukan formula khusus untuk memastikan seperti apa kepentingan umat Islam yang dimaksud. Tetapi dalam karir politiknya ia menganggap Majelis Ahli punya kewenangan mengidentifikasi masalah yang dimaksud. Ia biasa berkonsultasi dengan para ahli sementara dia adalah orang terakhir yang mengesahkan keputusan akhir.
Otoritas Wali Faqih dan Hukum
Hukum kemasyarakatan ada dua: hukum konstitusional dan konvensional. Hukum konstitusional lebih tinggi kedudukannya daripada hukum konvensional. Jika kita meneliti hubungan antara otoritas wali faqih dan hukum konstitusional, hubungan antara wali faqih dan hukum konvensional maka akan menjadi jelas adanya.
Dalam Konstitusi Republik Islam Iran, otoritas wali faqih terbatas (Pasal 110). Sebelum Konstitusi diamandemen, istilah perwalian mutlak tidak disebutkan di pasal manapun dalam Konstitusi. Namun menurut Imam, konstitusi tidak lebih tinggi daripada undang-undang agama. Oleh karena wali faqih memiliki otoritas atas hukum buatan, maka ia mempunyai otoritas sama atas konstitusi. Tentu saja, dalam sebuah masyarakat Islam, konstitusi didasarkan pada hukum Islam. Para fuqaha, terutama Imam Khomeini, membuktikan bahwa Konstitusi Republik Islam Iran sesuai dengan ajaran Islam. []
– Penulis adalah sarjana PhD dalam Sains Quran dan Hadis, Universitas Tarbiat Modares, Tehran, Iran; Dosen program pascasarjana dan doktoral di Universitas Tarbiat Modares dan di Hauzah Qum. Ia juga sebagai Kepala Lembaga Publikasi dan Pengaturan Karya Imam Khomeini, Departemen Pendidikan.
[1] Dr. Abdulwahhab Kiyali, Mawsuat al-Siyasah,vol.3, hal.36, Beirut: Al-Mu’assasah al-Arabiyyah al-Darasat wal Nashr, 1990.
[2] Sahifa-Nur, Publikasi Kementerian Bimbingan Islam.
[3] Ibid., vol.1, hal 238.
[4] Ibid., vol.13, hal.217
[5] Imam Khomeini, Kitab al-Bay`, hal.460, Qum: Ismailiyan Publication.
[6] Lihat, QS. Maryam [19]:30.
[7] Sahifa Nur, vol.20, hal. 158.
[8] Ibid., vol.2, hal. 27.
[9] Ibid., vol.1, hal. 65.
[10] Muhammed Mujtahid Shabistari, “Din wa Siyasat“, Kayhan Farhangi, No.2, hal.21.
[11] Mahdi Bazargan, Marz-e Miyan-e Din wa Siyasat, Shirkat-e Sahami Intishar, Tehran, hal. 47.
[12] Lihat, pidato Muqaddam Maraqai, tentang Wilayat faqih, di hadapan Dewan Ahli dan Fron Gerakan Nasional menanggapi masalah kisas, 1360 dan 1359 HS.
[13] Sahifa-Nur, vol.21, hal.176.
[14] Ibid., Edisi baru, vol.1, hal.459.
[15] Ibid., vol.20, hal.20.
[16] QS. al-An’am [6]:38.
[17] QS. al-An’am [6]:59.
[18] Imam Khomeini merujuk beberapa hadis dalam bukunya, Kitab al-Bay`, vol.2, hal.462-463.
[19] Abdullah Jawadi Amuli, Shariat dar Ainah-e Marifat, cet.1, hal.78-82, Raja Publications, 1372.
[20] Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, vol.1, hal.234.
[21] Sahifa Nur, vol.21, hal.178.
[22] Ibid., vol.3, hal.120.
[23] Ibid., vol.13, hal.23-24.
[24] Tahrir al-wasilah, op.cit., vol.1, hal.234.
[25] QS. al-Hajj [22]:28.
[26] Ibid.
[27] Sahifa-Nur, vol. 20, hal.111.
[28] Ibid., vol.4, hal.33.
[29] Imam Khomeini, Hukumat-e Islami, hal.23.
[30] Ibu Hisyam, al-Sirat al-Nubuwwah, hal.254, Manshurat Maktabah al-Mustafa.
[31] Allamah Thabathaba’i memberikan tafsiran yang sangat menarik tentang ini. Lihat, M.H. Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, cet.4, Dar al-Kitab al-Islamiyyah, 1362.
[32] Sahifa-Nur, vol.1, hal.238.
[33] Ibid., vol. 18, hal.89.
[34] Majid Haddad Adil, Din wa Siyasat, hal.40, Publication of Masjid, Tahun 1, no. 5.
[35] Nahj al-Balagah, khotbah no.40.
[36] Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, Beirut, Dar al-Ahya al-Turats al-Arabi, p. 43.
[37] Menanggapi hal ini, Syeikh Thusi mengajukan pandangan yang brilian. M.H. Thusi, al-Mabsuth fi fiqh al-Imamah, cet.3, Tehran: Maktaba Murtadawi, 1388.
[38] Hamid Algar, Din wa Siyasat, hal.25.
[39] Muhammad Hur Amili, Wasa’il al-Syi`ah ala Tahshil Masa’il al-Syar`iyyah, Ed. Syekh Abdurahim Rabbani, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, vol.11, Bab 13.
[40] Imam Khomeini, Hukumat-e Islami, hal.22.
[41] Ibid., hal.32-33.
[42] Kitab al-Bay`, vol.2, hal.465-466.
[43] Hukumat-e Islami, op.cit., hal.20.
[44] `Ilal al-Syar’iyyah, ringkasan dari buku Hukumat Islami, hal.45-46.
[45] Muhammad bin Ali bin Babawayh (Syekh Shaduq), Ilal al-Syari’ah, Qum: Maktiba Dawari, hal.253.
[46] Aristoteles. Siyasat. hal.10. Terj. Dr. Hamid Enayat. Tehran: 1364.
[47] Jean-Jacques Rousseau. Qarardad-e Ijtim`ai, hal.42. Terj. Zirak Zadih.
[48] Qadi Abi Yali, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, cet.2, hal.20. Maktab al-Alam al-Islami, 1406.
[49] Rousseau, op.cit., hal. 39.
[50] Ali Akbar. Sairi Dar Andishahhai Siyasi Muasir, cet.1, hal.130-140. Tehran: Muassasah Khadamat-e Farhangi, Alast Publication, 1370.
[51] Sayyid Jalaluddin Madani, Huquq-e Asasi Dar Jumhuri Islami Iran, vol.5, hal.34-37. Tehran: Surush Publication, 1366.
[52] Khwajah Nizam al-Mulk, Sayr al-Muluk, hal.13.
[53] Rousseau, op.cit., hal.41.
[54] Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, hal.443.
[55] Sahifa Nur, vol.9, hal.253.
[56] Ibid., vol.4, hal.207; vol.15, hal.76.
[57] Ibid., vol.5, hal.31.
[58] Ibid., vol.10, hal.181.
[59] Imam Khomeini, Kasyf al-Asrar, hal.186. Qum: Payam Islam Publication.
[60] Ibid., hal.186-188.
[61] Ibid., hal.179-192 dan 221-244.
[62] Sahifa Nur, vol.10, hal.27-29.
[63] Ibid., vol.20, hal.170.
[64] Syekh Ansari, Kitab al-Makasib, hal.162-163, Tabriz: Matbah Ittilaat; Ali Tabrizi Qaravi al-Tanqih fi Syarh al-Urwat al-Wutsqa, vol.1, hal.418, Qum: Lectures of Ayatullah Khui.
[65] Ayatullah Muntazeri. Darasat fi wilayat al-faqih, vol.1, hal.418, Qum: Markaz al-Alam al-Islami, 1408.
[66] Sahifa-Nur, vol.1, hal.260.
[67] Penulis artikel ini menyebutnya sebagai metode aposterori. Pemikiran ini, sebenarnya, bukan termasuk dari kuliahnya. Metode aposteriori adalah sebuah metode di mana sebab merupakan keberadaan yang disimpulkan dari efek. Jadi, setiap orang mendapati wilayat faqih sebagai efek dari hadis dan teks sebagai sebab, tetapi Ayatullah Burujerdi menganggap wilayat faqih sebagai sebuah efek yang sesuai hadis-hadis tertentu sebagai sebab.
[68] HA Muntazeri, al-Badr al-Zahra fi Salat al-Jum`ah wal-Musfor, hal.51-55, kuliah Ayatullah Borujerdi, Qum: Markaz Intisharat-e Daftar Tablighat-e Islami, 1362.
[69] Imam Khomeini, Kitab al-Bay`, hal.460-465.
[70] Ibid., hal.466.
[71] QS. al-Nisa [4]:59.
[72] Kitab al-Bay`, hal.476-478.
[73] Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, op.cit., vol.4, hal.413-415.
[74] Muhammad bin Ahmad al-Ansari. Majma li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Hayat al-Tarats al-Arabi, 1966.
[75] Darasat fi wilayat al-faqih, op.cit., vol.1, hal.437-438.
[76] Kitab al-Bay`, op.cit., hal.467-486.
[77] Ibid., hal.468.
[78] Ibid., hal.484-485.
[79] Darasat fi wilayat al-faqih, op.cit., vol.1, hal.259-389.
[80] Tahrir al-wasilah, op.cit., vol.2, hal.482.
[81] Kitab al-Bay`, op.cit., hal.464-466.
[82] Hukumat-e Islami, op.cit., hal.59.
[83] Sahifa-Nur, vol.21, hal.129.
[84] Ibid., vol.21, hal.47.
[85] Konstitusi Republik Islam Iran, pasal 107 ayat 5.
[86] Hukumat-e Islami, op.cit., hal.199.
[87] Tahrir al-Wasilah, op.cit., vol.1, hal.4.
[88] Sesungguhnya, Ifta’ (otoritas untuk mengeluarkan pendapat hukum pada perkara tambahan (subside) dan masalah deduktif) dan Marja’iyyat-e `Ilmi (otoritas tertinggi dalam pengetahuan agama) dalam pandangan tertentu adalah status keagamaan, tetapi bukan kenyataan wilayah (perwalian) dan mempunyai alasan-alasan lain bagi perkara hasbiyyah. Bagaimanapun Ifta’ dan Marja’iyyah `Ilmi diperlukan sebagai prasyarat seorang faqih.
[89] Sahifa Nur, op.cit., vol.11, hal.123.
[90] Kitab al-Bay`, op.cit., vol.2, hal.496.
[91] Ibid., vol.2, hal.467.
[92] Ibid., vol. 2.
[93] Sahifa-Nur, op.cit., vol.20, hal.170-171.
[94] Ibid., vol.10, hal.138.
[95] Makarim Syirazi, Anwar al-Fiqaha, Kitab al-Bay`, bagian satu, hal.550.