ICC Jakarta – Ayatullah Al-Udzma Syeikh Mohammat Taqi Bahjat Fumani lahir di penghujung tahun 1334 HQ di sebuah keluarga agamis di kota Fuman, Provinsi Gilan. Di usia 16 bulan ia harus kehilangan ibu tercintanya dan menjadi anak yatim.
Sekaitan dengan nama Ayatullah Bahjat, ada kenangan manis yang dinukilkan oleh seorang famili beliau yang patut untuk direnungkan. Ceritanya demikian:
“Ayah Ayatullah Bahjat di umur 16 atau 17 tahun terkena penyakit kolera dan kondisinya sangat buruk, sehingga tidak ada harapan ia bakal sembuh. Ia mengatakan, pada saat itu saya mendengar suara yang mengatakan, “Biarkan dia! Karena dia adalah ayah dari Mohammad Taqi.”
Dalam kondisi yang demikian ia kemudian tertidur. Ibunya yang berada di sisinya menyangkanya telah meninggal, namun setelah beberapa saat ayah Ayatullah Bahjat bangun dari tidurnya dan keadaannya lebih baik dan setelah itu sembuh total. Beberapa tahun kemudian setelah kejadian itu ayah Ayatullah Bahjat memutuskan untuk menikah dan ucapan yang terdengar saat ia sakit dahulu sudah terlupakan sama sekali.
Setelah ia menikah dan mendapat anak, anak pertamanya diberinama Mahdi dan anak keduanya perempuan. Kemudian lahir anak ketiga dan diberi nama Mohammad Hossein. Ketika Allah memberikan anak keempat, ayah Ayatullah Bahjat lalu teringat suara saat ia sakit dahulu dan anak keempatnya diberi nama Mohammad Taqi. Namun anak keempat ini semasa kecil terjatuh dalam kolam air dan meninggal dunia. Akhirnya ia diberi anak yang kelima dan diberi nama Mohammad Taqi. Dengan demikian nama Ayatullah Bahjat adalah Mohammad Taqi.”
Karbalai Mahmoud Bahjat, ayah Ayatullah Bahjat adalah orang yang dipercaya di kota Fuman. Selain bekerja untuk menghidupi keluarganya, ia juga terlibat langsung menyelesaikan urusan masyarakat. Ia seorang sastrawan dan sering membacakan kidung puji-pujian Ahul Bait dan syair duka, khususnya kepada Imam Husein as. Syair duka yang masih dilantunkan oleh para penyair di sana.
Ayatullah Bahjat sejak kecil dididik oleh ayahnya yang begitu mencintai Ahlul Bait, khususnya Imam Husein as dan dengan mengikuti acara-acara duka Ayatullah Bahjat banyak mendapat siraman rohani. Sejak kecil Ayatullah Bahjat sudah tidak bermain seperti anak-anak kecil lainnya dan sejak itu pula telah tampak kejeniusan dan kecemerlangannya serta kecintaan luar biasa dalam menuntut ilmu.
Pendidikan
Ayatullah Bahjat merampungkan pendidikan dasarnya di kota Fuman dan setelah itu mulai belajar ilmu-ilmu agama di sana. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar agama di kotanya, beliau tidak sabar untuk melanjutkan pendidikannya dan pada tahun 1348 HQ menuju Irak dan setelah itu tinggal di Karbala. Ketika melanjutkan pendidikannya di Irak, Ayatullah Bahjat baru berusia 14 tahun.
Sesuai dengan ucapan seorang murid terdekat beliau, Ayatullah Bahjat dalam sebuah acara mengatakan, “Saya memasuki tahun taklif setahun setelah tinggal di Karbala.”
Benar, didikan Allah swt senantiasa membarengi hamba-hamba-Nya yang layak sejak masa kanak-kanak hingga remaja, sehingga saat dewasa menjadi pelita petunjuk jalan kepada Allah. Dengan demikian, Ayatullah Bahjat tinggal selama 4 tahun di Karbala dan mendapat pancaran cahaya Sayyid Al-Syuhada Imam Husein as serta selama itu pula beliau melakukan tazkiyah nafs (mensucikan diri). Selama 4 tahun beliau telah mempelajari bagian terpenting dari buku-buku fiqih dan ushul fiqih di bawah bimbingan guru-guru besar.
Pada tahun 1352 HQ, Ayatullah Bahjat melanjutkan pendidikannya ke kota Najaf al-Asyraf dan bagian-bagian terakhir dari pelajaran tingkat suthuh(tinggi) dipelajarinya bersaama sejumlah Ayatullah seperti Al-Marhum Ayatullah Syeikh Murtadha Thalaqani. Sekalipun demikian, Ayatullah tidak hanya menghabiskan umurnya dengan belajar agama, tapi kecintaannya akan kesempurnaan sebagai manusia membuatnya tidak pernah tenang dan senantiasa menariknya untuk mencari pribadi-pribadi ilahi dan wali-wali Allah untuk meningkatkan spiritualnya.
Seorang murid Ayatullah Bahjat mengatakan, “Bertahun-tahun saya mengikuti pelajaran beliau dan tidak pernah saya mendengar beliau menceritakan mengenai pribadinya, kecuali sangat sedikit. Pernah beliau menyampaikan tentang dirinya saat berbicara dan memuji maqam spiritual gurunya Ayatullah Na’ini. Beliau berkatan, “Ketika saya masih remaja sering ikut dalam shalat jamaah bersama Ayatullah Na’ini dan saya dapat merasakan sebagian dari kondi-kondisi spiritual beliau.”
Guru-Guru Fiqih dan Ushul Fiqih
Ayatullah Bahjat setelah menyelesaikan tingkat suthuhdan belajar pada guru-guru besar seperti Ayatullah Sayyid Abul Hasan Isfahani, Dhiya’ Al-Iraqi, Mirza Na’ini, beliau kemudian memasuki hawzah dan pelajaran penuh kandaungan Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Gharawi Isfahani yang lebih dikenal dengan nama Ayatullah Gharawi. Bersama Ayatullah Gharawi, Ayatullah Bahjat menyempurnakan pelbagai teori fiqih dan ushul fiqihnya. Potensi dan kemampuannya cemerlang dan bantuan ilahi yang dimilikinya Ayatullah Bahjat juga belajar dari Ayatullah Isfahani yang dikenal dengan almarhum Kompani yang punya pemikiran mendalam, detil dan memiliki kecerdasan luar biasa.
Ayatullah Mohammad Taqi Misbah Yazdi mengenai bagaimana Ayatullah Bahjat belajar dan memanfaatkan ilmu-ilmu sejumlah gurunya itu mengatakan, “Di bidang fiqih Ayatullah Bahjat banyak belajar dari Ayatullah Muhammad Kazhim Syirazi, murid Mirza Muhammad Taqi Syirazi, sementara untuk ilmu ushul fiqih beliau belajar pada Ayatullah Mirza Na’ini dan setelah itu banyak belajar pada Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Gharawi Isfahani dan sempat juga belajar pada almarhum Isfahani (Kompani) dan juga belajar masalah lainnya dari beliau.”
Sair, Suluk dan Irfan
Ayatullah Bahjat selain menuntut ilmu sebelum mencapai usia baligh juga telah melakukan pensucian diri dan menyempurnakan aspek spiritualnya. Saat di Karbala, beliau serius mencari seorang guru dan pendidik akhlak yang pada akhirnya ia menyadari keberadaan Ayatullah Qadhi Thaba’thaba’i di kota Najaf Al-Asyraf. Setelah tiba di kota Najaf, beliau belajar akhlak juga dari guru besarnya Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Isfahani (Gharawi).
Sekaitan dengan masalah ini, Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan, “Mudah dipahami betapa Ayatullah Bahjat banyak dipengaruhi Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Isfahani dalam perilaku. Karena sering beliau mengutip satu masalah dari beliau dengan keanehan tersendiri dan setelah itu kami bisa menyaksikan contoh perilaku tersebut dalam diri beliau. Jelas betapa guru beliau ini sangat berpengaruh dalam pembentukan spiritualnya.”
Begitu juga Ayatullah Bahjat mengikuti kuliah akhlak Ayatullah Sayyid Abdulghaffar di Najaf dan benar-benar memanfaatkan dan mengamalkannya, hingga akhirnya menjadi murid Ayatullah Sayyid Ali Qadhi. Beliau menuntut ilmu-ilmu makrifat dari Ayatullah Qadhi dan ketika menginjak usia 18 tahun beliau resmi menjadi murid arif kamil ayatullah Sayyid Ali Qadhi dan mendapat perhatian khusus guru agungnya ini. Masih di awal-awal masa mudanya beliau telah menyelesaikan pelbagai tahanap irfan yang sangat diharapkan dapat diraih oleh orang lain.
Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan, “Beliau langsung belajar pada Ayatullah Ali Qadhi di bidang akhlak dan spiritual dan bertahun-tahun beliau menjadi muridnya. Ayatullah Qadhi termasuk pribadi khusus mendidik pribadi-pribadi dalam bidang spiritual dan irfan. Allamah Thaba’thaba’i, Ayatullah Syeikh Muhammad Taqi Amoli, Ayatullah Syeikh Ali Muhammad Boroujerdi dan banyak ulama, bahkan para marji yang belajar masalah akhlak dan irfan dari Ayatullah Qadhii. Nah, Ayatullah Bahjat terkadang mengutip masalah-masalah akhlak dan irfan dari ulama lain seperti Ayatullah Murtadha Taleqani dan lain-lain.”
Ayatullah Bahjat sendiri pernah mengatakan, “Di waktu itu ada seseorang yang ingin melihat siapa saja yang di waktu sahur bulan Ramadhan di makam suci Imam Ali melakukan shalat witir dan membaca doa Abu Hamzah al-Tsumali di waktu qunut. Seingat saya, semoga tidak salah, mereka yang istiqimah melakukan amalan ini setiap malamnya di makam suci Imam ali as lebih dari 70 orang.
Bagaimana pun juga, banyak tokoh ulama yang istiqamah melaksanakan satu amalan ibadah dan spiritual. Sangat disayangkan di masa kita ini jarang disaksikan pribadi-pribadi seperti ini. Tentu saja kita tidak memiliki ilmu gaib, karena mungkin saja mereka yang dahulunya banyak melakukan ibadah-ibadah semacam ini di makam-makam suci, kini melakukannya di rumah-rumah mereka. Namun dapat dipastikan bahwa istiqomah melaksanakan amalan-amalan seperti ini semakin menurun dan ini sangat patut disesali.”
Hujjatul Islam Wal Muslimin Agha Tehrani menceritakan kejadian di atas seperti demikian:
“Waktu itu ada seorang yang mendengar bahwa di masa lalu ada 70 orang di makam suci Imam Ali as yang yang membaca doa Abu Hamzah Al-Tsumali saat qunut. Orang tersebut lalu memutuskan untuk mengajak beberapa orang untuk melakukan amalan tersebut. Ketika ia menghitung mereka yang melakukan amalan itu didapatinya jumlahnya lebih sedikit sekitar 50 orang. Demikian yang saya ingat bahwa di makam suci Imam Ali as mereka membaca doa Abu Hamzah Al-Tsumali saat berdoa dalam shalat witir.”
Filsafat
Ayatullah Bahjat belajar Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, karya Ibnu Sina dan Al-Asfar Al-Arba’ah, karya Mulla Shadra kepada Ayatullah Sayid Hassan Badkubeh-i.
Marjaiyat
Sekalipun Ayatullah Bahjat adalah seorang faqih terkenal dan lebih dari 30 tahun memberikan kuliah-kuliah kharij fiqih dan ushul fiqih, namun beliau selalu menolak untuk menerima sebagai marji.
Sekaitan dengan masalah keengganan beliau menerima sebagai marji dan juga mengenai tidak berubahnya kondisi Ayatullah Bahjat setelah menerima sebagai marji, Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan:
“Setelah resmi menjadi marji, rumah Ayatullah Bahjat tidak mengalami perubahan apapun. Tidak mungkin bagi beliau untuk menerima tamu di rumahnya. Oleh karenanya, saat memperingati acara duka maupun suka, beliau melaksanakannya di masjid Fathimiah. Pada prinsipnya, saya melihat sikap beliau menerima sebagai marji sebagai bentuk keramatnya.Yakni, kondisi kehidupan beliau, itu pun di usia 80 tahun tidak tepat bagi beliau menerima tanggung jawab yang seperti ini. Mereka yang mengenal beliau tidak pernah membayangkan beliau akan memanggul tanggung jawab sebagai marji. Tak pelak apa yang dilakukan beliau tidak lain hanya muncul dari rasa tanggung jawabnya. Bahkan kita harus mengatakan bahwa beliau di masa kini, itu pun dengan filosofi dan kesalehannya menjadi bukti bagi semua bahwa bisa seorang menjadi marji dan juga hidup dalam kesederhanaan. Setelah menjadi marji beliau tetap sederhana tanpa ada perubahan dalam cara berpakaian, makanan, rumah dan kondisi kehidupan lainnya.”
Setelah wafatnya Ayatullah Sayyid Ahmad Khansari, Ayatullah Bahjat mentashih jilid pertama dan kedua buku Dzakhiratul Ibad (kumpulan buku fatwa, seperti taudhihul masail saat ini), karyanya sendiri dan hanya membolehkan orang-orang khusus yang memanfaatkannya dan sebelum wafatnya Ayatullah Al-Udzma Araki, beliau tidak pernah memberikan izin mempublikasikan buku fatwanya itu. Namun semua berubah ketika Jami’atul Mudarrisn (Asosiasi Pendidik Hawzah) merilis pernyataan dan memperkenalkan tujuh marji, termasuk Ayatullah Bahjat dan sejumlah ulama seperti Ayatullah Meshkini, Ayatullah Javadi Amoli dan lain-lainnya mengumumkan marjaiyat beliau serta pelbagai permintaan, akhirnya Ayatullah Bahjat membolehkan buku fatwanya dicetak dalam oplah besar. Namun pun demikian, beliau tetap menolak namanya dicetak di cover buku tersebut.
Masih terkait dengan masalah ini, Ayatullah Misbah Yazdi menyebutkan, “Ayatullah Bahjat sebelum wafatnya Ayatullah Al-Udzma Araki tahu bahwa Jami’atul Mudarrisin memperkenalkan beliau sebagai seorang marji, langsung mengirimkan pesan dan menyatakan ketidakrelaannya melihat namanya disebutkan di sana.”
Setelah wafatnya Ayatullah Araki dan pesannya kepada Jami’atul Mudarrisn, beliau mengatakan, “Fatwa-fatwa saya tidak boleh diberikan kepada siapa pun.” Ketika Jami’atul Mudarrisin meminta informasi mengenai hal ini beliau menjawab, “Bersabarlah dan publikasikan semua buku fatwa yang kalian miliki. Bila ada orang yang masih tertinggal dan tidak bertaklid kepada orang lain dan hanya menginginkan bertaklid kepada kami, pada saat itulah kalian cetak buku fatwa saya.” Beberapa bulan setelah kejadian ini buku fatwa dan risalah amaliyah beliau dicetak di Lebanon.
Hijrah
Setelah menyelesaikan pendidikannya, tahun 1364 HQ Ayatullah Bahjat kembali ke Iran dan tinggal selama beberapa bulan di kotanya Fuman. Saat tengah mempersiapkan diri untuk kembali ke hawzah Najaf, beliau terlebih dahulu berziarah ke makam suci Sayyidah Fathimah Ma’sumah as dan setelah mendapat informasi mengenai kondisi hawzah Qom dan selama beberapa bulan di sana, beliau diberitahukan mengenai wafatnya guru-guru besar Najaf. Mendengar kabar itu beliau memutuskan untuk tetap tinggal dan menetap di Qom.
Di kota Qom, Ayatullah Bahjat belajar kepada Ayatullah Al-Udzma Hojjat Kouh Kamareh-i dan menjadi satu dari murid terbaiknya. Saat Ayatullah Bahjat tiba di Qom, beberapa bulan sebelumnya Ayatullah Al-Udzma Boroujerdi datang di Qom, begitu juga sejumlah ulama besar termasuk Imam Khomeini, Ayatullah Golpaigani dan lain-lain. Mereka semua ikut menghadiri kuliah-kuliah yang disampaikan Ayatullah Boroujerdi.
Sekaitan dengan masalah ini, Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan:
“Sejak Ayatullah Boroujerdi mulai memberikan kuliahnya di Qom, Ayatullah Bahjat telah menjadi murid cemerlangnya dan termasuk murid yang dikenal suka mengajukan pertanyaan. Biasanya guru yang mengajarkan bahts kharij, biasanya memiliki dua atau tiga orang dari sekian murid-muridnya yang lebih baik dalam menjaga mencatat semua mata kuliah dan terkadang muncul pertanyaan di kepala mereka yang kemudian ditanyakan dan meminta agar gurunya menjelaskan lebih jauh masalah tersebut, sehingga masalah tersebut benar-benar terselesaikan. Murid-murid yang seperti ini sangat detil, pertanyaan mereka lebih ilmiah dan memerlukan pembahasan dan penjelasan lebih banyak. Ayatullah Bahjat di masa itu termasuk murid yang punya posisi seperti ini dalam kuliah yang disampaikan Ayatullah Boroujerdi.”
Mengajar
Ayatullah Bahjat sejak masih belajar pada Ayatullah Isfahani, Gharawi dan Syirazi di Najaf, selain belajar dan mensucikan diri, beliau juga mulai mengajar tingkat suthuh di Najaf. Setelah hijrah ke Qom beliau juga tetap melanjutkan kebiasaannya ini. Sekaitan dengan mengajar jenjang atas (bahts kharij) fikih dan ushul, dapat dikatakan secara keseluruhan beliau telah mengajar selama lebih dari 40 tahun dan karena tidak mencari popularitas, beliau mengajar di rumahnya dan banyak ulama yang bertahun-tahun belajar kepada beliau.
Metode Mengajar
Untuk mengetahui metode pengajaran Ayatullah Bahjat perlu untuk mendengarkan penjelasan Ayatullah Misbah Yazdi. Ia mengatakan:
“Ayatullah Bahjat dalam menjelaskan satu masalah, pertama beliau selalu berusaha untuk mengetengahkannya dari buku Syeikh Anshari dan ketika sampai pada pembahasan yang patut mendapat perhatian beliau mengutip pandangan ulama lain, khususnya dari buku Jawahir Al-Kalam(karya Allamah Syeikh Muhammad Hasan Najafi), almarhum Haj Agha Ridha Hamadani dan yang lain-lain. Setelah itu beliau menyampaikan pendapat pribadinya dan dijelaskan secara terperinci. Metode yang dipakai beliau dari satu sisi membuat murid yang hadir menjadi tahu pandangan ulama lainnya, sekaligus menghemat waktu. Guru-guru besar lain punya cara tersendiri yang tampaknya cocok bagi mereka yang masih baru belajar di mana guru memberikan pandangan terpisah, namun membuat waktu yang dibutuhkan lebih banyak dan biasanya terjadi pengulangan.
Selain mengajar ada poin penting yang kami manfaatkan dari beliau dan sudah barang tentu sebagian dari poin-poin yang disampaikan beliau berasal dari guru-guru beliau yang didapatkannya secara lisan. Poin-poin ini sangat bernilai, dalam dan memiliki kecermatan luar biasa.”
Ayatullah Masoudi yang bertahun-tahun belajar kepada Ayatullah Bahjat mengenai ciri khas dalam mengajar beliau mengatakan:
“Metode pengajaran beliau sangat khas. Biasanya para marji lain dalam kuliah kharij mereka saat menyampaikan satu masalah menyebutkan satu persatu pendapat ulama sebelumnya setelah itu mengkritik satu dan menerima lainnya dan di akhir pembahasan satu dari pandangan itu yang diterima, sekaligus menjelaskan proses argumentasinya. Berbeda dengan yang lainnya, Ayatullah Bahjat tidak sekedar mengutip pendapat ulama, tapi biasanya di awal pembahasan beliau menjelaskan masalah dan proses argumentasinya. Bila sebagian murid mempelajari pandangan ulama dan mengetahui bahwa pandangan siapa yang disampaikan beliau. Ketika bertanya, dia mengetahui terlebih dahulu pendapat siapa ini dan bila menerima juga dengan pengetahuan pendapat siapa yang diterimanaya. Oleh karenanya, siapa yang ingin ikut dalam kuliah Ayatullah Bahjat harus mengetahui terlebih dahulu dasar dan pandangan ulama lainnya.”
Ayatullah Mohammad Hussein Ahmadi Faqih Yazdi menjelaskan metode pengajaran Ayatullah Bahjat seperti ini:
“Biasanya beliau menyampaikan sejumlah masalah asli dan cabangnya setelah memperhatikan kehalusan dan detil hadis atau ayat yang punya hubungan dengan masalah setelah melakukan perbandingan antara tema yang tengah dibahas dengan sejumlah bahasan lain yang punya hubungan. Beliau kemudian menyoroti masalah tersebut dengan ketelitian khusus dalam menjaga keseimbangan dua masalah tersebut dan setelah itu mengambil kesimpulan yang harus diakui kesimpulan itu biasanya baru dan sangat ilmiah. Benar-benar beliau saat menjelaskan satu masalah berangkat dari keagungan beliau yang diwarisinya dari para imam as dan ijtihad yang benar harus dianalisa secara detil seperti ini.”(IRIB Indonesia/SL)