ICC Jakarta – Nabi Musa dan Harun as untuk beberapa lama sibuk melakukan tabligh tauhid, iman, perlawanan dan pembebasan di tengah-tengah Bani Israel, akan tetapi hanya sedikit orang yang beriman. Karena ketakutan terhadap Fir’aun dan pemerintahan kejinya mencegah kecenderungan umat manusia kepada Nabi Musa as.
Untuk memperkuat keimanan dan semangat, Nabi Musa as yang tidak pula merasa percaya kepada kelompok berjumlah sedikit ini mengatakan: “Hai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kalian benar-benar berserah diri”.[1]
Mereka menjawab: “Kepada Allah-lah kami bertawakal”. Kemudian mereka menghadapkan wajah kepada Tuhan Yang Maha Besar sambil berdoa demikian:
رَبَّنا لا تَجْعَلْنا فِتْنَةً لِلْقَومِ الظَّالمينَ وَنَجِّنا بِرَحْمَتِكَ مِنَ القَوْمِ الكافِرينَ
“Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang lalim dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang yang kafir”.[2]
Dengan perintah Ilahi Nabi Musa as melanjutkan seruan tauhidi, akan tetapi jarang sekali orang yang beriman kepadanya sementara Fir’aun yang lalim dan instansi pemerintahan kejinya semakin menambah tekanan kepada Musa dan Harun as. Walaupun demikian kedahsyatan tindakan Fir’aun dan orang-orangnya dan kesesatan umat tidak menjadi penghalang Nabi Musa untuk melanjutkan usahanya. Dari sinilah beliau as mengumumkan keimanan penuh dan kepastiannya:
و أُفَوِّضُ أَمْرى إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصيرٌ بِالْعِبادِ
“Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”.[3]
Kekayaan, harta benda dan kekuasaan Fir’aun dan kaki tangannya menakjubkan mata. Masyarakat yang tidak memiliki kematangan rasional membandingkan antara Musa dan kaum Mukminin yang bersamanya dari satu sisi dengan Fir’aun dan instansi pemerintahannya dari sisi lain dan sangat jelas bahwa ketika parameter dalam perbandingan adalah lahiriah materi, pakaian, istana, kerajaan, uang dan emas maka neraca Fir’aun lebih berat sementara Nabi Musa dan Harun tidak sampai kepadanya. Karena Fir’aun adalah raja hamba dunia dan pengumpul kekuasaan dan kekayaan, sementara Nabi Musa dan Harun as pembawa misi iman, akidah, keadilan dan kebebasan. Nabi Musa as ketika melihat kekayaan, kedudukan dan kebesaran material Fir’aun dan orang-orang sekitarnya menjadi penghalang kecenderungan umat manusia kepada tauhid dan ketakwaan, maka dalam munajat dengan Allah swt beliau as menyatakan demikian:
رَبَّنا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوالاً فِى الحَياةِ الدُّنْيا رَبَّنا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنا اطْمِسْ عَلى أَمْوالِهِمْ وَاشْدُدُ عَلى قُلُوبِهِمْ فَلايُؤْمِنُوا حَتّى يَرَوُا العَذابَ الأَلِيمَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir`aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”.[4]
Catatan
Setelah munajat ini Allah swt berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua”.
Dalam penafsiran ayat ini, dari Imam Shadiq as diriwayatkan bahwa beliau as bersabda: “Antara doa ini dan pengabulannya dan kehancuran Fir’aun berselang 40 tahun”.[5]
Dari hadis ini dapat kita pahami bahwa terkadang mungkin saja menurut beberapa kemaslahatan yang diketahui oleh Allah swt, pengabulan doa kita tertunda sehingga kita tidak boleh berputus asa, akan tetapi harus senantiasa mengharapkan keutamaan dan rahmat Ilahi sampai masa pengabulan doa tiba.
Imam Shadiq as bersabda: “Aku takjub dari seseorang yang dijahati dan ditipu; kenapa ia tidak mengatakan:
و أُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالعِبَادِ
Sementara itu dalam kelanjutannya Allah swt berfirman: “(Ketika Musa as mengatakan kalimat ini dan menyerahkan urusannya kepada Allah swt) Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka”.[6]
Ketika Nabi Musa as ingin pergi ke miqat di bukit Thur Sina selama 40 hari, maka beliau as menempatkan saudaranya, Harun sebagai penggantinya.
Nabi Musa as pergi ke miqat. Di sana beliau as memohon untuk melihat Allah swt. Allah swt berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”.
Dan tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata kepada Tuhan:
سُبْحانكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أوَّلُ المُؤْمِنينَ
“Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”.[7]
Miqat Nabi Musa as telah berakhir dan setelah 40 hari beliau as kembali ke tengah-tengah umat. Ketika beliau mengetahui perbuatan kaumnya dalam penyembahan anak sapi beliau diselimuti oleh kesedihan. Beliau murka, menjatuhkan papan Taurat ke atas tanah dan memegang rambut kepala saudaranya, Harun sambil menariknya ke arahnya.
Harun berkata: “Hai saudaraku! Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, dan apapun yang aku tunjuki kepada mereka tidak berfaedah”. Dalam persyaratan inilah Nabi Musa as mengangkat tangan dan berdoa:
رَبِّ اغْفِرْ لى وَلِأَخى وَأَدْخِلْنا فى رَحْمَتِكَ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرّاحِمينَ
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang”.[8]
Ketika Nabi Musa as ingin pergi ke miqat pada kesempatan lain, beliau as memilih 70 orang di antara umatnya dan membawa serta mereka. Ketika Nabi Musa as sampai di miqat, maka ketika mereka diguncang gempa bumi sampai-sampai mereka meyakini akan binasa. Pada kondisi demikian ini Nabi Musa as berdiri sambil berdoa dan mengatakan:
رَبّ لَوْ شِئْتَ أهْلَكتَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَ إِيّاىَ أَتُهْلِكُنا بِما فَعَلَ السُّفَهاءُ مِنَّا إِنْ هِىَ إلّا فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِها مَنْ تَشاءُ وَ تَهْدِى مَنْ تَشاءُ أَنْتَ وَلِيُّنا فَاغْفِرْ لَنا وَ ارْحَمْنا وَ أَنْتَ خَيْرُ الغافِرِينَ * وَ اكْتُبْ لَنا فِى هذِهِ الدُّنْيا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ إِنّا هُدْنا إِلَيْكَ
“Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya, dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau”.[9]
Ketika Nabi Musa as dan Bani Israel telah lewat dari tengah laut sementara Fir’aun dan bala tentaranya tenggelam di dalamnya, Nabi Musa as menghadap ke arah Bani Israel dan berkata: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina)
Bani Israel menjawab: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya. Hai Musa, pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.
Nabi Musa as ketika melihat seluruh usaha dan tablighnya untuk memberikan petunjuk dan melepaskan mereka dari cengkeraman Fir’aun tidak ada gunanya mengangkat tangan berdoa sambil berkata:
رَبِّ إنّى لا أَمْلِكُ إِلّا نَفْسى وَ أَخى فَافْرُقْ بَيْنَنا وَبَيْنَ الْقَومِ الْفاسِقينَ
“Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”.[10]
Pada saat itulah Allah swt berfirman: “Jika demikian, maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, selama itu mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu”. [IG/ www.quran.al-shia.org]
[1] QS. Yunus [10]: 84.
[2] QS. Yunus [10]: 85 – 86.
[3] QS. Ghafir [40]: 44.
[4] QS. Yunus [10]: 88.
[5] Tafsir al-Burhan, jilid 2, hal 194.
[6] QS. Ghafir [40]: 45.
[7] QS. Al-A’raf [7]: 143.
[8] QS. Al-A’raf [7]: 151.
[9] QS. Al-A’raf [7]: 155 – 156.
[10] QS. Al-Maidah [5]: 25.