ICC Jakarta – Catherine melihat ada raut kebahagiaan di setiap wajah peserta pengajian ayahnya. Percakapan yang mereka lakukan pun terdengar sangat hebat.
Sekitar dua dekade lalu, seorang pria melangkahkan kaki di tengah keramaian Jalan Bronx, Kota New York, Amerika Serikat. Di persimpangan jalan, dia menghentikan langkah, melihat pria tua tak kuasa membawa tumpukan barang dari sebuah truk.
Pria tua itu kemudian meminta pria kulit putih itu untuk membantunya jika berkenan. Tanpa banyak berpikir, pemuda itu langsung bergegas membantu orang tua tersebut memindahkan barang-barang ke sebuah tempat.
Setelah selesai, bapak tua itu meminta maaf karena tak dapat membalas pertolongan si pemuda. Namun, dia memberikan sebuah kotak entah apa isinya. Pemuda itu kemudian membawa hadiah tersebut ke rumahnya.
Sesampai di kediaman, pemuda itu membukanya. Ternyata isinya adalah Alquran. Di rumah itu, dia tinggal bersama istri dan seorang anak, Catherine Ortega.
Anak perempuan itu tumbuh menjadi gadis kecil. Dia kemudian memperhatikan sang ayah berdoa dan beribadah berbeda dari ibunya yang masih menganut Katolik.Setelah membaca Alquran, ayahnya mengucapkan syahadat dan resmi memeluk Islam. Namun, ibunya belum memeluk Islam.
Satu ketika ayahnya mengadakan pengajian di rumah. Belasan Muslim berdatangan. Meski tak seagama, ibunya membiarkan ayahnya mengadakan kegiatan tersebut. Dia kemudian masuk kamar dan menemani Catherine bermain boneka.Saya sering melihat ayah mendirikan shalat dan berdoa, kata Catherine.
Pengajian itu membuat Catherine kecil penasaran, apa yang dilakukan sang ayah?Terkadang dia mengintip dari pintu kamar melihat kegiatan yang terjadi di ruang tamu. Setiap orang membawa buku besar yang terlihat indah dan membacanya dengan suara yang merdu. Mereka ternyata sedang membaca Alquran.
Catherine melihat ada raut kebahagiaan di setiap wajah peserta pengajian ayahnya.Percakapan yang mereka lakukan pun terdengar sangat hebat. Saat itu, Catherine berpikir bahwa ayahnya sedang hidup di dunia dongeng dengan kisahnya yang dibagi bersama teman-teman pengajian. Dia bercerita sambil membaca buku yang indah dengan tulisan aksara yang tidak dia pahami.
Meski takjub dengan agama dan kegiatan yang dilakukan ayahnya, Catherine ketika itu masih mengikuti keyakinan ibunya. Karena berbeda keyakinan, kedua orang tuanya sering beradu argumen, misalnya tentang Nabi Isa. Islam memandang putra Maryam itu sebagai salah seorang utusan Tuhan.
Selain itu, ada juga Ibrahim, Musa, dan banyak lagi. Sementara agama lain hanya mengultuskan Isa, bahkan menganggapnya sebagai anak Tuhan. Ayahnya mengatakan hal itu tak mungkin terjadi karena Tuhan berdiri dengan sendirinya tak tidak beranak-pinak.
Catherine kecil menyaksikan perdebatan itu. Dia menilai, argumen sang ayah lebih masuk akal. Benih dan semangat memeluk Islam mulai tumbuh. Tapi dia tidak terburu-buru berikrar syahadat. Catherine masih ingin lebih dalam lagi menyelami keindahan Islam.
Ketika beranjak remaja, Catherine dan keluarganya pindah ke Miami. Di sana dia melihat banyak wanita berpakaian minim, karena cuaca yang sangat panas terik.Sementara pria di sana menganggap tubuh wanita tidak lebih dari objek seksual.
Dua tahun pertama, Catherine melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dia banyak berteman dengan pria. Dia selalu berpikir polos, bahwa pria yang berteman dengannya adalah baik dan sudah seperti saudara. Hingga suatu hari, dia dan teman-temannya pergi makan siang, lalu dua pria di belakangnya yang sedang mengantre berbisik-bisik mengenai dirinya.
Catherine bisa mendengar semua hal yang mereka bicarakan. Mereka mengatakan bahwa wajahnya bernilai enam sedangkan tubuhnya bernilai 10.Ini berarti bahwa dia tidak cantik tetapi tetap layak untuk diajak jalan karena tubuhnya yang menarik.
Perkataan yang didengarnya tujuh tahun lalu mengubah kehidupannya.Catherine berusaha untuk bangkit dengan pergaulan yang berbeda. Terbesit di hatinya sejumlah pertanyaan, apakah memang wanita tidak berhara di mata laki-laki? Adakah jalan dari Tuhan untuk menghadapi mereka dan mengubah dunia menjadi lebih baik?
Menutup aurat
Dia mulai memperhatikan Muslimah yang menutup aurat. Tak seperti mereka yang memamerkan lekuk tubuh, Muslimah tampil lebih percaya diri, anggun dalam bersikap, dan sangat mengedepankan kesopanan. Catherine mulai menyadari bahwa mereka terlihat bercahaya dengan pakaian Muslim yang menutupinya. “Saya ingin seperti mereka,” ujar dia.
Menutup aurat, menurutnya, tak semata-mata tampil unik, tapi juga pilihan hidup. Setiap orang berhak menentukan pilihan hidup, sesuai dengan pemikirannya. Inilah kebebasan. Siapa pun tak berhak mengganggu dan menghalangi kebebasannya. Semangat itu didapatnya setelah membaca penelitian tentang hijab.
Menutup aurat, berhijab, merupakan fenomena menakjubkan. Ketika mengetahui hal tersebut, dia meyakini Allah telah mengarahkannya kepada Islam secara perlahan. Catherine sempat bertanya di dalam hati, setelah ini ketakjuban apalagi yang akan ditunjukkan Sang Pencipta kepadanya?
Satu tahun dilaluinya untuk mempelajari Islam. Dia juga masuk ke dalam komunitas Muslim, bergaul dengan mereka. Pertemuannya pertama kali dengan keluarga Muslim terjadi ketika bekerja di hotel sebagai staf penerima tamu. “Suatu hari wanita di seberang lorong melihat dan berjalan ke arah saya. Dia menangkupkan tangannya ke mukaku dan berkata, `kamu memiliki senyuman paling terang’. Saya merasa terhubung dengan Anda, kata dia.
Pertemuannya dengan Muslimah tersebut sangat berharga karena untuk pertama kalinya seorang wanita berjilbab berbincang dengannya. Mereka telah membangkitkan semangat dan keyakinan Catherine untuk memeluk Islam. Ini membuatnya sangat bahagia.Keinginannya menjadi Muslimah semakin mantap, sehingga dia memutuskan untuk bersyahadat.
Tidak butuh waktu lama bagi keluarga yang berasal dari Saint Thomas ini dekat dengannya dan selalu memujinya karena kebaikan, kehangatan dan senyuman. Mereka berbicara dengan Catherine setiap hari dan semangat positif selalu terpancar dari mereka.
“Saat itu, Ramadhan dan anak-anak termuda keluarga, baru saja datang berkunjung. Setelah giliran kerja saya, tidak banyak yang harus dilakukan, dan hati saya memberi tahu bahwa saya harus berterima kasih kepada mereka atas kebaikan mereka,” ujar dia.
Catherine memutuskan untuk berselancar di internet untuk mencari toko-toko Islam terdekat, membeli permen halal saat matahari terbenam untuk berbuka puasa.”Saya selalu bertanya, apakah masih akan dituntun Allah jika tidak ada keluarga seperti mereka yang berlimpah cinta untuk diberikan kepada dunia,” ungkap dia.
Setelah itu, Catherine pindah ke Eropa.Dia juga bertemu dengan banyak Muslim yang memiliki beragam budaya. Ketika orang bertanya kepadanya tentang perjalanan memeluk Islam, terutama saat ini ketika Islam terlihat begitu buruk, Catherine hanya mengatakan bahwa Islam itu penuh kebaikan. (Republika)