ICC Jakarta – Persenyawaan antara nilai-nilai etika dan moral dari agama diyakini bisa menjadi solusi dari permasalahan global. Pangkal permasalahannya berasal dari sistem dunia yang sangat berwajah antroposentris, terlalu mendorong kebebasan.
”Di situlah terjadi kelangkaan nilai-nilai etika dan moral. Secara ekstrem, situasi ini mesti diubah dengan pergantian sistem. Namun, ini pendekatan radikal yang mengandung konsekuensi dan harga mahal. Pendekatan moderatnya adalah dengan memasukkan nilai-nilai etika dan moral dalam sistem dunia,” ujar Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban Din Syamsuddin saat menyampaikan pidato kunci dalam pembukaan Konferensi Internasional ”Re-learning to Be Human for Global Times: A Dialogue between Islam and Culture” di Paramadina Graduate School, Jakarta, Rabu (3/1).
Menurut Din, agama-agama harus bangkit menekankan paradigma etik dan moral untuk peradaban dunia yang damai, sejahtera, dan bermoral.
Selama ini, agama cenderung berwajah plural dan majemuk. Ada sebagian agama yang terlalu menekankan sisi spiritualitas dengan berdoa terus-menerus sebagai mekanisme pertahanan diri menghadapi sekularisasi dunia. Namun, di sisi lain ada pula agama yang terlalu ideologis, cenderung bersikap melawan dan menantang.
Tawaran moderat
Karena itulah, menurut Din, diperlukan tawaran-tawaran yang moderat, berkeadilan, penuh toleransi, dan mengutamakan solusi sama-sama menang, yaitu jalan tengah yang tidak jatuh pada ekstremisme kanan atau kiri.
”Agama-agama sejatinya punya modalitas jalan tengah, khususnya Islam yang dari dulu akidahnya disebut akidah jalan tengah dan umat Islam disebut Al Quran sebagai umat tengahan. Jadi sudah ada modalitas seperti ini, tinggal ditampilkan,” ujarnya.
Selain agama, Indonesia juga sangat beruntung memiliki Pancasila sebagai landasan ideologis yang mewadahi semua warga negara Indonesia dari berbagai macam latar belakang. Konstitusi bangsa Indonesia pada prinsipnya juga merupakan ”jalan tengah”, baik dalam konteks politik maupun ekonomi.
Di sisi lain, Din menyayangkan bagaimana bangsa Indonesia masih gagal merevitalisasi watak jalan tengah dan ideologi Pancasila itu. ”Kita terjebak klaim-klaim, seperti saya Pancasila dan yang lain tidak atau saya Berbhinneka Tunggal Ika dan yang lain tidak. Ketika kita menyatakan diri pancasilais, berarti ada konotasi yang lain tidak pancasilais. Itu ekstrem, egois, dan tidak toleran. Meski demikian, Indonesia punya modal dan kita optimistis bisa melakukan revitalisasi,” katanya.
Era milenial
Ketua Steering Committee Husain Heriyanto mengatakan, zaman milenial sekarang adalah masa keemasan peradaban manusia dilihat dari perspektif kemajuan sains dan teknologi. Sayangnya, saat semua kecakapan teknis itu kita miliki, kita justru tidak menguasai diri sendiri.
”Kita semakin tidak mengenal jati diri manusia, semakin terlempar jauh dari kesadaran terdalam eksistensi kemanusiaan kita. Kondisi itulah yang disebut Ki Ageng Suryomentaram sebagai ’orang-orangan’ atau manusia palsu. Untuk menjadi manusia sejati, Ki Ageng mendesak kita untuk mengenal jiwa kemanusiaan kita dan menyadari diri yang asli, jernih, dan obyektif,” ujarnya.
Wakil Presiden Council for Research in Values and Philosophy dari Universitas Gregoriana Roma Prof Joao J Vila-Cha menyebut musuh utama kita sekarang adalah ketidaktahuan, bukan agama atau kepercayaan lain. Karena itu, siapa pun perlu belajar bagaimana cara-cara berdialog.
”Tidak satu pun dari kita semua bisa menyelesaikan sendiri permasalahan dan kita mesti menyelesaikannya secara bersama- sama,” kata Joao. (Kompas)