ICC Jakarta – Dr. Abad Baruzaman, Lc, M.Ag, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAIN Tulungagung Jawa Timur, dalam kunjungannya ke Iran dari 1-5 Februari 2018 bersama dengan sejumlah dosen dari UIN Jakarta, UIN Banten dan UIN Yogyakarta dalam rangka mengikuti short course di Muassasah al-Hikmah Universitas Internasional al-Mustafa Qom mengatakan, “Saya di Iran kurang dari seminggu, cuma lima harian. Tapi sejumlah kesan membekas lekat. Umumnya kesan positif.”
Menurutnya, selama ini ada informasi mengenai Iran yang salah, bahkan informasi yang beredar memberikan pencitraan jelek tentang Iran. “Nyatanya, setelah melihat langsung, semua gambaran itu fitnah belaka.”
Berikut ini wawancara lengkap ABNA dengan cendekiawan yang menyelesaikan pendidikan S1 nya di Universitas Al-Azhar Mesir pada tahun 1996 tersebut.
Apakah ini yang pertama kalinya anda ke Iran?
Iya
Apa ada perbedaan antara gambaran awal mengenai Iran sebelum dan sesudah melihat langsung Iran?
Iya, ada.
Bisa anda jelaskan?
Gambaran awal tentang Iran dan Syiah sangat jelek. Nyatanya, setelah melihat langsung, semua gambaran itu fitnah belaka. Tidak ada mut’ah, tidak ada taqiyah, tidak ada pemaksaan Syiah atas Sunni, tidak ada penindasan rezim Syiah atas minoritas Sunni, sebagaimana yang secara massif disebarkan oleh banyak media internet di Indonesia. Justru komunitas Sunni dibantu dan diberdayakan oleh rezim Syiah.
Selain itu, orang Syiah-Iran juga sangat menghargai ke-sunni-an kami, orang Indonesia yang Sunni-Syafii.
Bagaimana tanggapan anda atau yang paling berkesan yang anda temui di Iran baik dalam tradisi keilmuan, tradisi keagamaan maupun mengenai gambaran masyarakat Iran secara umum?
Sangat mengesankan. Tradisi keilmuan sangat terawat dengan baik. Tradisi keagamaan masih terpelihara dengan baik. Toleran dan terbuka.
Setelah melihat langsung kehidupan di Iran, apakah menurut bapak Iran layak menyematkan diri sebagai republik Islam?
Layak. Pantas.
Apa pengalaman yang anda rasakan ketika salat di masjid-masjid Iran atau melihat langsung amalan keagamaan rakyat Iran yang dalam beberapa hal sedikit berbeda dengan tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat muslim Indonesia?
Perbedaan-perbedaan yang ada tidak lebih dari perbedaaan fiqhiyah-furu’iyah, layaknya khilafiyah fiqhiyah di kalangan Sunni sendiri. Sama sekali tidak prinsipil.
Alhamdulillah selama di sini beberapa kali sempat berjamaah salat sama orang-orang setempat. Kami salat dengan cara kami: Sunni-Syafii. Tak ada pandangan sinis, aneh, cibiran dari mereka. Subuh tadi saya persis berdampingan dengan orang Iran. Saya sedekap, dia menjulurkan tangan. Selesai salam, kami ber-mushofahah. Biasa saja.
Kesan dan gambaran anda mengenai tradisi Qur’ani yang dilihat di Iran, aktivitas Qur’ani seperti apa yang dikembangkan di iran, apa benar warga Iran yang syiah punya Alquran yang berbeda dengan Alquran yang selama ini dikenal?
Mereka pembaca dan penjaga Alquran yang baik. Alquran ummat Islam, Sunni maupun Syiah, sama. Al Quran yang mereka (orang Syiah Iran) baca, sama dengan Alquran kaum Sunni.
Menurut anda, apa memang perlu sampai saat ini antar aliran-aliran dalam Islam diperdebatkan dan diperselisihkan? Menurut bapak apa urgensinya, menggagas dan mewujudkan persatuan Islam saat ini?
Di tataran kajian akademik, perbedaan-perbedaan aliran itu tidak masalah diperdebatkan, sebatas untuk kepentingan ilmiah. Namun di tataran amaliyah-praktis, segala perbedaan harus dibingkai dalam semangat ukhuwah; bahwa persatuan dan persaudaraan sangat urgen dan penting melebihi segalanya.
Apa kesan anda dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Iran dan kesan secara umum mengenai lembaga pendidikan di Iran termasuk setelah berintaksi dan berdialog langsung dengan beberapa ulama dan ilmuan di Iran?
Secara jumlah, mahasiswa asal Indonesia masih sangat minim dibanding dengan mahasiswa Indonesia yang belajar di negara-negara Arab, Amerika dan Eropa. Ke depan pemerintah harus juga mengirim mahasiswa Indonesia ke Iran tanpa harus ada kekhawatiran terjadi konversi dari Sunni ke Syiah. Orientasinya bukan konversi melainkan membuka kran dialog, persaudaraan, pemahaman dan persatuan.
Lembaga pendidikan di Iran layak dilirik untuk dijadikan tujuan studi mahasiswa asal Indonesia. Iran memiliki tradisi kelimuan yang cukup unggul.
Apa pesan anda untuk mahasiswa Indonesia di Iran dan pesan untuk masyarakat muslim Indonesia secara umum khususnya berkenaan dengan perlunya umat Islam menjaga kerukunan baik internal umat islam maupun dengan umat agama lain?
Pesan untuk mahasiswa Indonesia di Iran, tetaplah menjadi Muslim Indonesia yang terdidik, tercerahkan, terbuka dan toleran. Ambil hal hal positif dari Islam-Iran untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai Keindonesiaan demi merawat Indonesia yang indah, santun, ramah dalam kebhinekaan.
Umat Islam sudah saatnya mengubah orientasi keberagamaan mereka dari yang semula lebih mengacu pada ritual-formal, mengarah ke sosial-substansial. Hal-hal kecil yang membedakan satu mazhab dengan mazhab lain seharusnya mulai diabaikan demi merajut persatuan lalu bersama sama menghadapi musuh bersama: kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, neo-imperialisme, zionisme, dan bentuk-bentuk hegemoni peradaban lainnya atas umat Islam.
Terimakasih atas waktunya.
Sama-sama
***
Disebutkan, disela-sela mengikuti agenda Short Course, dosen yang telah menulis puluhan buku dan ratusan artikel ilmiah ini, juga mengunjungi makam Sayidah Maksumah sa dan kediaman mendiang Imam Khomeini di Qom, melakukan studi banding disejumlah lembaga penelitian serta mengunjungi sejumlah tempat penting di Tehran. Selain itu melakukan tatap muka dan dialog langsung dengan sejumlah ulama besar Iran di kota Qom. (Abna)