ICC Jakarta – Setelah Al Nusra resmi masuk daftar organisasi teroris internasional, situs HTI memberikan ‘endorsment’ pada kelompok Ahrar al Sham, yang sebenarnya juga masih ‘bersepupu’ dengan Al Qaida. Ahrar al Sham punya bendera sendiri, tapi terkadang juga mengibarkan bendera khas HT.
Aksi-aksi Ahrar al Sham sangat jauh dari pengetahuan kita tentang bagaimana dulu Rasulullah berperang. Salah satu bukti yang jelas, karena ada videonya dan mereka sendiri yang mengunggahnya, pada Mei 2016 Ahrar al Sham melakukan aksi brutal pembantaian massal di desa al-Zara. Dengan bangga mereka berpose di atas mayat perempuan dan anak-anak. Rusia sudah lama menuntut Dewan Keamanan PBB agar kelompok ini dimasukkan juga ke daftar teroris internasional namun selalu diveto AS dengan alasan ‘akan menyulitkan upaya negosiasi’.
Saya sering menulis: jangan dipusingkan dengan nama ratusan kelompok ‘jihad’ di Suriah. Yang perlu dilihat adalah basis ideologi dan cara-cara tempur mereka, semuanya sama. Basis ideologi mereka semua sama yaitu takfirisme (gampang mengkafirkan pihak lain yang tak sepaham serta menghalalkan darahnya). Itulah sebabnya mereka pun akhirnya saling membunuh satu sama lain, seperti yang terjadi di Idlib atau di Hama akhir-akhir ini. Bahkan sesama ‘mujahidin’ pun bisa berubah status jadi kafir.
Pertanyaannya: Mengapa HTI Gagal Paham?
Saya dulu mengikuti tabloid Umat yang diterbitkan HTI, tabloid ini banyak menyuarakan penentangan pada praktik-praktik kapitalisme global yang memang nyatanya menyengsarakan sebagian besar umat dunia dan memperkaya segelintir orang. Tabloid ini bahkan pernah menerbitkan tulisan positif tentang situasi di Iran (ditulis oleh Fahmi Amhar). Sama sekali tidak ada tuduhan kafir atau sesat di dalamnya, terhadap umat Syiah.
Tetapi mengapa hari ini HT bergabung dalam propaganda takfirisme global, yang bersamaan dengan pembantaian dan penghancuran Suriah?
Menurut saya, hal ini karena mereka gagal paham soal Suriah dan geopolitik Timteng secara umum. Mereka gagal dalam mengindentifikasi mana musuh, mana lawan di Suriah. Akibatnya, HT menari dalam genderang lawan (seiring dengan irama Israel dan AS) sehingga memecah belah front perlawanan terhadap Israel. Perhatian publik dunia saat ini tertuju pada Suriah, tidak lagi pada Palestina.
Padahal HT dulu didirikan di Palestina dengan alasan ingin melawan penjajahan Israel. Tapi di Suriah, mendadak HT gagal paham, melupakan fakta geopolitik bahwa Suriah adalah negara Arab terakhir yang menolak berdamai dengan Israel. Suriah menjadi pelindung Hamas, membuka jalur suplai logistik dan senjata ke Gaza, serta menampung jutaan pengungsi Palestina dengan pelayanan yang terbaik di Timteng. Suriah ikut dalam 3 kali perang Arab-Israel (1967, 1973,1982).
Kesalahan identifikasi ini, menunjukkan bahwa cara berpikir mereka masih doktrinal (bukan pemikiran kritis). Hizbut Tahrir adalah ormas transnasional, boss besarnya ada di luar negeri, entah dimana (ada info, boss besarnya berada di Tepi Barat). Ketika boss di luar sana menginstruksikan untuk membenci dan menyerang, itu pula yang mereka lakukan. Ketika mereka tak mampu menemukan bukti foto atau video tentang ‘pembantaian Assad terhadap Sunni’, mereka tak segan menggunakan foto atau video hoax. [1] Doktrin ditaruh di atas segalanya, melupakan data dan analisis kritis. Miris sekali mengingat bahwa anggota HTI banyak yang sarjana, bahkan doktor.
Begitu juga soal bendera. Mereka mengklaim bahwa bendera yang mereka kibarkan (dan menjadi simbol HT) adalah ‘bendera Rasulullah’. Padahal, jenis huruf yang dipakai di bendera itu belum dikenal pada masa Rasulullah. Hal ini saya buktikan sendiri saat berkunjung ke museum Quran di Mashad Iran yang menyimpan manuskrip-manuskrip Quran kuno (Quran zaman dulu hurufnya masih kaku dan polos, tanpa titik dan syakal). Pakar ilmu Islam, Prof Nadirsyah juga menulis demikian, yang kemudian disanggah oleh penulis pro-HTI, yang menyatakan bahwa yang jadi fokus dalam propaganda bendera ini adalah warna bendera, bukan jenis hurufnya.
Tentu itu apologi yang tidak nyambung. Bendera itu satu paket dengan segala ideologi di baliknya. Misalnya, mengapa pemberontak Suriah yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin mengibarkan bendera warna hijau-putih-hitam? Karena, itu bendera saat Suriah dijajah Perancis; tak heran bila tokoh IM, Moaz al Khatib, diundang ke Istana Presiden Perancis untuk membahas agenda penggulingan Assad. Orang yang mengibarkan bendera hitam saja (tanpa tulisan) dengan orang yang mengibarkan bendera hitam bertulisan syahadat ala bendera HTI, hampir dipastikan punya ideologi berbeda.
Tak dapat dipungkiri, bendera khas HTI digunakan oleh milisi-milisi bersenjata di Suriah. Jauh sebelumnya, tahun 1988, Al Qaida berdiri dan mengibarkan bendera serupa. Di bagian 1 sudah saya jelaskan ‘pertalian persaudaraan’ antara Al Qaida dan milisi-milisi bersenjata di Suriah (yang juga didukung HT). Jadi ini bukan aktivitas mencocok-cocokkan tanpa data.
Jadi, apapun apologi, sanggahan, dan klaim HTI soal ideologi mereka, bisa kita uji dengan kasus Suriah ini. Aktivis HTI sering mengklaim diri sebagai gerakan damai dan anti terorisme, tapi konflik Suriah membuktikan sebaliknya. Mereka mengaku mengusung Islam Rahmatan lil Alamin, tapi dengan berbekal berita hoax mereka sebarkan narasi kebencian yang sangat masif di Indonesia.[2] Mereka menyebut pemerintah Indonesia sebagai rezim thaghut yang harus diganti dengan khilafah. Lalu, bagaimana cara menggantinya? Suriah menjadi bukti bahwa upaya penggantian sebuah rezim demokratis menjadi khilafah versi HT ternyata harus melalui proses penghancuran. Indonesia, mau menyusul? []
*Pembahasan mengenai bendera adalah tambahan baru, tidak saya sampaikan di bedah buku “HTI, Gagal Paham Khilafah”
**Untuk memahami lebih lanjut tentang bagaimana kiprah ormas-ormas Islam transnasional (yang telah membuka cabang di Indonesia) dalam konflik Suriah, selengkapnya di buku “Salju di Aleppo”
Source: Blog penulis (dinasulaeman,wordpress.com)