ICC Jakarta – Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam merupakan diskursus yang tak kunjung selesai. Banyak teori dan perdebatan yang mencoba menjelaskan relasi Islam dan HAM. Sebagian di antara para pemikir mengatakan bahwa nilai-nilai Islam sejalan dengan HAM, sebagian yang lain mengatakan bahwa nilai-nilai Islam bertentangan dengan HAM. Tulisan berikut berusaha mengulas berbagai perspektif dan pandangan kedua kelompok tersebut serta argumentasi yang dibangun di antara masing-masing. Tulisan ini juga mengulas secara ringkas dan deskriptif beberapa model penerapan HAM di sebagian negara yang mayoritas muslim.
Pendahuluan
Kesadaran tentang hak-hak asasi manusia di kalangan masyarakat luas masih merupakan persoalan yang cukup serius. Di Indonesia sendiri mudah kita jumpai berbagai permasalahan yang terkait dengan isu Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi hampir setiap saat dengan para pelakunya yang beragam. Mulai dari masyarakat yang tinggal di pedesaan sampai yang berada di Ibu Kota. Mulai dari yang berpendidikan sekolah dasar sampai mereka yang lulus sekolah sarjana. Sampai-sampai Komnas HAM menerima aduan yang terus menggunung terkait pelanggaran HAM yang terjadi. Dari kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa persoalan HAM masih menjadi persoalan terbesar kita di abad ini.[1]
Sebagai bangsa yang mayoritas warganya beragama Islam tentunya apa yang terjadi, yaitu ketidakmengertian masyarakat luas terkait dengan HAM, bertolak belakang dengan ajaran Islam itu sendiri yang jelas-jelas menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi hal tersebut dapat dimengerti karena memang HAM seringkali juga keliru dimengerti bahkan disalahtafsirkan sebagai “produk impor” yang sengaja disusupkan “agen” Barat ke dalam komunitas Islam untuk menghancurkan akidah Islam, sehingga penolakan umat Islam terhadap HAM lebih disebabkan persoalan teologis. Jika ditelisik lebih jauh, hal ini tentu tidak semuanya benar, masih ada variabel lain yang dapat dihadirkan, yaitu persoalan politik Islam yang memang sejak akhir abad ke-15 mengalami kemerosotan yang hampir total, yang meliputi berbagai ranah kehidupan umat Islam; mulai dari ranah ekonomi, politik, sosial, kebudayaan dan lainnya. Maka ketika masyarakat Barat tampil menjadi pelopor HAM lewat dibentuknya the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 1948, masyarakat Islam, khususnya bangsa Arab, merasa deklarasi tersebut bukanlah bagian dari ajaran Islam, karena itu Islam tidak dianggap sejalan dengan misi dari HAM tersebut.
Benarkah Islam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan? Apakah benar nilai tersebut tidak sejalan dengan ide UDHR sebagaimana disepakati PBB tersebut? Bagaimana respons masyarakat Islam terhadap gagasan HAM? Dan adakah contoh-contoh bagaimana HAM dipraktikkan di negara-negara mayoritas Islam?
Menjawab keempat pertanyaan tersebut tentu mengandaikan penjelasan yang bersifat teoretis, sekaligus praktis. Pendekatan historis juga menjadi hal yang tidak terhindarkan. Uraian selanjutnya berusaha menjawab keempat pertanyaan tersebut, sehingga persoalan Islam dan HAM menjadi sebuah diskursus yang jelas dan terang-benderang (clear and distinct).
Islam dan Nilai-Nilai Kemanusiaan
Sejak awal kelahirannya di Mekah pada abad ke-7, Islam berada di tengah-tengah kondisi masyarakat yang sedang mencari “kebebasan moral” dari penjara jahiliah. Nabi Muhammad saw, sebagai sosok yang menyadari betul krisis moral yang terjadi pada saat itu, melakukan kontemplasi spiritual di Gua Hira untuk mencari jawaban serta solusi dari persoalan yang menimpa masyarakat Arab.[2] Jawaban yang diterima Nabi saw ialah perintah untuk terus melakukan “iqra’” terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Perintah iqra’ di sini merupakan titik balik peradaban masyarakat Arab yang sebelumnya berada dalam kondisi Jahiliah, berangkat menjadi masyarakat yang memiliki peradaban luhur disertai kualitas keimanan yang tinggi.
Jadi, dapat dikatakan bahwa ajaran pertama Islam, sebagaimana tercermin dalam surat al-‘Alaq, yaitu ajaran ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Alam yang tadinya dipahami secara mitos bertransformasi menjadi alam yang rasional dan dapat didekati secara bebas oleh manusia. Manusia yang tadinya dianggap hanya sebagai objek dari penciptaan, mendapatkan tugas baru yaitu sebagai khalifah atau co-partner Tuhan dalam penciptaan. Di sinilah awal mulai manusia mendapatkan posisi yang begitu terhormat sebagai “rekan” Tuhan dalam penciptaan. Posisi yang terhormat ini merupakan bagian dari penghormatan Tuhan kepada manusia itu sendiri karena manusia sudah dianugerahi akal untuk berfikir.
Berangkat dari kesadaran seperti itu, akhirnya Islam menjadikan “pembebasan para budak” sebagai proyek sosial yang tidak dapat dipisahkan dari dimensi ibadah seseorang. Salat dikatakan tidak sempurna jika anak-anak yatim belum dijadikan sebagai objek yang harus dikasih-sayangi. Begitupun dengan perintah naik haji, puasa dan perintah lainnya yang berorientasi sosial.
Ketika Nabi Muhammad saw menyampaikan pidato perpisahan (khutbah al-wada’) di Arafah, beliau menegaskan tugas sucinya sebagai utusan Allah yang mengajak manusia kepada jalan-Nya, yang ditandai dengan penghormatan luhur kepada hak-hak suci sesama manusia, baik pada laki-laki maupun perempuan. Dalam pidato itu antara lain Nabi Muhammad menegaskan: “Sesungguhnya darahmu, harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya hari (haji)-mu ini, dalam bulanmu (Dzulhijjah) ini dan di negerimu (tanah suci) ini.” Dan sesekali di celah-celah pidatonya itu dari atas mimbar Nabi bertanya kepada lautan manusia yang hadir: “Bukankah aku telah sampaikan (pesan-pesan) ini?” Dan semuanya menjawab: “Benar! Engkau telah sampaikan.” Lalu Nabi berpesan agar yang hadir menyampaikan isi pidato beliau itu kepada yang tidak hadir.[3]
Pidato di Arafah inilah merupakan inti dari ibadah haji dan jelas-jelas merupakan pidato Nabi tentang nilai-nilai kemanusiaan, yang sebagiannya saat ini dikenal sebagai hak-hak asasi manusia.[4] Pidato ini dikenal juga sebagai “pidato perpisahan”, karena selang tiga bulan setelah pidato itu Nabi wafat. Perlu dicatat bahwa Nabi di masa-masa akhir risalahnya ini banyak memberikan pesan-pesan terkait dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Salah satu pidato lain yang penting tentang hak asasi budak dan buruh berbunyi:
“Wahai manusia, ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan agamamu dan amanatmu! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan orang yang kamu kuasai dengan tangan kananmu (budak, buruh, dan lain-lain). Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah pakaian seperti yang kamu kenakan! Janganlah kamu bebani mereka dengan beban yang mereka tidak mampu memikulnya, sebab mereka adalah daging, darah dan makhluk seperti kamu! Ketahuilah, bahwa orang yang bertindak zalim kepada mereka, maka akulah musuh orang itu di Hari Kiamat, dan Allah adalah Hakim mereka.”[5]
Paham keagamaan seperti inilah yang terus dihayati di masa-masa Islam awal, sehingga Islam menjadi agama kosmopolitan yang mendorong umat manusia untuk menghormati sesamanya, tanpa memandang bulu dan tebang pilih. Pandangan yang sangat tinggi dan hormat kepada manusia lambat laun menjalar juga sampai ke Eropa melalui beberapa saluran. Seseorang yang paling aktif pada masa renaisans menyampaikan persoalan nilai-nilai kemanusiaan ini ialah Giovanni Pico della Mirandola,[6] termasuk di dalamnya para filsuf besar seperti Descartes, John Locke, David Hume dan Immanuel Kant.[7]
Sejak masa inilah, perbincangan tentang nilai-nilai dasar manusia terus bergulir di Barat, yang puncaknya berupa lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di PBB pada Desember 1948.[8] Deklarasi ini merupakan produk sejarah manusia yang menjadi bahan rujukan tata pergaulan internasional.
Sebuah Dilema
Deklarasi Universal tentang HAM (the Universal Declaration of Human Rights/UDHR) merupakan konsep modern tentang hak asasi manusia yang memiliki karakteristik bahwa setiap individu menikmati hak-hak dasar tertentu berdasarkan kenyataan dirinya sebagai manusia, tanpa diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau lainnya. Dalam rumusan HAM modern ini, masyarakat dipandang sekuler, dan agama tidak dapat dipandang sebagai tatanan yang mengikat masyarakat atau negara. Hukum pun dipandang sekuler, karena itu ia independen dari intervensi apapun, termasuk intervensi agama tertentu. Sebuah hukum lahir sebagai produk dari rasionalitas manusia. Ia mendapatkan posisi legal karena manusia menerimanya.[9]
Konsep HAM modern ini jelas-jelas merupakan kreasi Barat dan memang lahir di jantung peradaban Barat. Ia lahir di rahim modernitas Barat, di saat rasionalisme dan empirisme mencapai puncaknya. Dalam konsepsi Barat modern, manusia tidak lagi dipandang sebagai objek sejarah melainkan sebagai subjek sejarah, roh yang menggerakkan sejarah itu sendiri. Maka pengakuan terhadap hak-hak dasar manusia merupakan keniscayaan yang logis dan rasional guna menopang sejarah hidup manusia itu sendiri. Keinginan untuk melahirkan nilai-nilai universal inipun didorong oleh berbagai gelombang peristiwa yang terjadi di Barat mulai dari Revolusi Perancis (1789–1799), Revolusi Amerika dan berakhirnya Perang Dunia II (1939–1945) dengan kekalahan fasisme Jerman, Italia dan Jepang. Yakni, dalam suasana batin seperti inilah UDHR lahir.[10]
UDHR sendiri berisikan 30 pasal yang dimulai dari Mukadimah. Pasal 1 dan 2 berisikan pernyataan bahwa manusia mempunyai hak yang didapat sejak lahir dan tanpa diskriminasi atas dasar apapun, baik itu warna kulit, keturunan, suku dan lain sebagainya. Pasal ini menekankan poin yang sangat krusial bahwa HAM bukan didapat dari agama, keluarga, otoritas politik dan lain sebagainya. Ia lahir sejak manusia itu sendiri lahir. Maka pelanggaran atas poin-poin ini merupakan pelanggaran atas kemanusiaan itu sendiri. Pasal 3–21 berbicara banyak tentang hak-hak individu, sedangkan pasal 22–27 banyak berbicara mengenai hak ekonomi, sosial, termasuk di dalamnya hak mendapatkan pekerjaan yang layak, hak mendirikan serikat buruh serta hak berorganisasi, dan anak-anak memiliki hak akan keamanan sosial dan pendidikan; juga hak-hak lain yang bersifat kultural, seperti hak dan kebebasan untuk berhati nurani, hak untuk memilih agama sendiri, termasuk hak untuk pindah agama dan menjalankan agama. Adapun tiga pasal terakhir, yaitu pasal 28–30, menegaskan tentang kebutuhan akan sebuah kerangka kerja agar hak-hak tersebut dapat direalisasikan. Tentu di sini seorang individu tidak hanya memiliki hak, tetapi juga kewajiban, yaitu kewajiban untuk tunduk kepada aturan legal yang menjamin berlangsungnya penjaminan atas hak-hak dan kebebasan orang lain.[11]
Tentu saja UDHR ini tidak mengikat secara hukum, akan tetapi ia sudah menjadi standar HAM paling penting yang menjadi rujukan dalam tata kelola pergaulan internasional. Secara historis, makna HAM itu sendiri sudah terdapat dalam berbagai tradisi keagamaan, termasuk Islam; tetapi sebagai HAM dalam makna konkretnya dan disepakati oleh mayoritas bangsa-bangsa di dunia, terjadi pada 10 Desember 1948 dengan covenant yang lahir setelah itu untuk melengkapinya, seperti yang dikeluarkan pada 1966 berupa International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Perjanjian Internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Kultural) dan International Covenant on Civil and Political Rights (Perjanjian Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik).[12]
Di dalam Islam sendiri, khususnya di dalam wilayah fikih, dapat dijumpai istilah haq al-abd (hak hamba) dan haq Allah (hak Allah). Dalam wilayah fikih ini jika ada seorang yang melanggar hak orang lain maka tindakan legal tertentu yang dikenakan terhadap pelakunya diserahkan kepada pihak korban atau pihak yang dirugikan. Lawan dari hak yang pertama ini ialah hak Allah, yakni bahwa pengadilan dan hukuman atas kejahatan diserahkan kepada pemerintah. Di sini, satu-satunya prinsip fikih yang boleh jadi sejajar dengan HAM adalah hak kepemilikan benda.[13]
Meski Islam secara historis dan normatif mendukung hak-hak asasi manusia, akan tetapi dalam praktiknya, apalagi menyangkut penerimaan atas ide UDHR muncul respons yang beranekaragam. Ketegangan yang muncul terhadap gagasan tersebut muncul di antaranya terkait dengan kesejajaran muslim dan nonmuslim di depan hukum. Di samping itu, ketegangan juga muncul terkait dengan poin kebebasan beragama, di mana seseorang boleh dan bebas memilih suatu agama dengan hati nuraninya. Baqir al-Afif, menulis Huqûq al-Insân fi al-Fikr al-Islamiyîn (sudah diterjemahkan menjadi Mencari HAM dalam Islam), yang memerinci secara detail berbagai respons yang lahir atas ide HAM tersebut, yaitu:
1) ‘Ikhtifâi (Menutupi), yaitu sekelompok pemikir Islam yang menutupi diri untuk menerima ide HAM dari Barat tersebut. Mereka bertolak dari pandangan bahwa sumber-sumber fikih klasik tradisional merupakan sumber utama dari HAM. Maka diterima dan tidaknya HAM modern tergantung dari sesuai atau tidaknya dengan ajaran fikih klasik tersebut. Dalam hal ini fikih klasik konvensional menjadi sumber utama untuk menilai butir-butir deklarasi universal HAM. Tokoh-tokohnya yaitu Abu A’la Maududi, Hasan Turabi dan Muhammad Imarah.[14]
2) I’tidzâri (Apologetik), yaitu kelompok Islam yang melihat HAM modern bertolak dari pemahaman syariah secara konservatif. Pemahaman mereka bertumpu pada fikih konvensional (al-fiqh al-taqlidy). Perbedaan kelompok ini dengan yang sebelumnya bahwa mereka tidak menghindari setiap kemungkinan pertanyaan yang muncul dari pihak-pihak yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka memahami betul pentingnya rasionalisasi batasan-batasan sebagaimana diatur oleh Syariah Islam. Tokoh tersohor dari kelompok ini ialah Muhammad Ahmad Said, penuls makalah tentang HAM berjudul “al-Tashawwur al-Islâmi li Huqûq al-Insâni” (Deskripsi Islam tentang Hak-Hak Manusia).[15]
3) Difâ’î (Defensif), yaitu kelompok yang memiliki pandangan bahwa ‘menyerang adalah pertahanan yang terbaik.’ Sejak awal kelompok ini sudah mempersiapkan beberapa pertanyaan kritis terkait UDHR serta konsep Barat yang menjadi acuan munculnya pasal-pasal dalam UDHR. Kelompok ini ingin memperlihatkan bahwa konsep Islam jauh lebih baik dari konsep Barat itu. Cornelius adalah salah satu tokoh yang berada dalam posisi ini, termasuk Abu A’la Maududi, khususnya ketika berbicara mengenai konsep harga diri (‘iffah) untuk para perempuan.[16]
4) Sharih (Terang-Terangan), yaitu kelompok yang mengungkapkan kenyataan seputar hak-hak yang berbeda bagi manusia menurut aturan syariah Islam. Mereka mengakui bahwa syariah Islam memberikan perlakuan berbeda terhadap manusia atas dasar agama, jenis kelamin, serta kebabasan. Tokoh yang mewakili kelompok ini adalah Sultan Husein Thabandah, yang secara tegas menyatakan bahwa berbagai persoalan dalam butir-butir UDHR bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya, ketika mengomentari pasal pertama, “Setiap orang dilahirkan dalam keadaan merdeka dan mendapatkan kehormatan serta hak yang sama.” Ia berpendapat, prinsip persamaan dalam syariat menjadi tidak berlaku ketika berhadapan dengan perbedaan agama. Ia melanjutkan penjelasannya bahwa seorang kafir dzimmy berhak dihormati karena mereka beriman kepada Allah, akan tetapi, hak dan penghargaan kepadanya berbeda dengan dengan hak yang diperoleh seorang muslim.[17]
5) Murawigh (Pengelakan), yaitu kelompok yang menunjukkan masalah psikologis cukup rumit. Mereka menyadari betul bahwa antara syariah Islam dan ide UDHR tidak mungkin bisa dicarikan titik temu di antara keduanya. Namun di sisi lain mereka merasa perlu merombak dan mengubah hal tersebut. Apa daya, mereka sendiri tidak memiliki kemampuan untuk itu. Mayer menyebut mereka sebagai kelompok yang ambivalen, antara keinginan menyebarkan prinsip-prinsip yang berasal dari tradisi mereka dengan prinsip-prinsip umum yang berasal dari paradigma modern.[18] Tidak mungkin juga mereka mengakui bahwa tradisi mereka sudah terbelakang. Contoh terbaik yang dapat mewakili kelompok ini yaitu dokumen Deklarasi Islam Internasional tentang HAM dan Deklarasi HAM dalam Islam, Kairo.[19]
6) ‘Iltiwa (Pemelintiran), yaitu kelompok yang senang melakukan pemelintiran ide dan gagasan. Mereka mengikuti alur logika yang membuat kesimpulan menjadi keliru dan menyimpang dari kesimpulan awal. Dalam perbedatan mereka selalu melakukan pemelintiran dan mengalihkan persoalan kepada hal-hal yang berlawanan. Kendati mereka berpijak pada teks-teks yang sama, sebagaimana para ahli Fikih Islam, mereka bisa sampai pada kesimpulan yang sama sekali berbeda. Di antara mereka adalah Prof. Fahmi Huwaidi, yang memberikan kesimpulan tentang kesaksian dan bagian waris perempuan. Fahmi Huwaidi melakukan pemelintiran dengan menanamkan keraguan sejak awal terhadap persoalan yang selama ini populer. Ia juga pernah berpendapat bahwa pembedaan antara laki-laki dan perempuan tak lain merupakan upaya untuk mewujudkan keadilan Tuhan.[20]
7) Intiqâ’i (Seleksi), kelompok ini memperkuat wacana HAM sesuai dengan ketetapan yang dijadikan standar internasional. Mereka percaya Islam agama yang mengarahkan nurani dan akal budi manusia. Maka produk HAM modern tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai Islam, karena Islam sendiri mengajak manusia untuk memaksimalkan penggunaan akal budinya. Contoh yang mewakili kelompok ini adalah Ahmad Hasan Khan dan Shagir Hassan Mausumi.[21]
8) Khathâbi (Retorik), yaitu kelompok yang banyak memfokuskan diri pada publikasi pernyataan yang bernada ajakan. Kelompok ini menyebarkan informasi, misalnya seputar HAM, tanpa khawatir akan menimbulkan kritik dan lain sebagainya. Jika kalangan intiqâ’i berupaya mencari argumentasi dari sumber-sumber ajaran Islam guna memperkuat asumsi mereka dan menyampaikan dalam bentuk ideal; kalangan khatabi ini kurang sepakat mempergunakan sumber-sumber ajaran Islam, meski bukan berarti menentang pendapat-pendapat yang berseberangan dengan realitas sejarah. Yang dapat dikatakan termasuk tokohnya yaitu Muhammad Ahmad Khan.[22]
9) Syamil (Komprehensif), yaitu kelompok yang memandang persoalan Islam dan HAM dalam kacamata yang jauh lebih komprehensif. Mereka menyadari bahwa syariat Islam sesungguhnya menggariskan perbedaan hak manusia. Tokoh yang mewakili kelompok ini ialah Abdullahi Ahmed Naim.[23]
Islam dan HAM: Sebuah Pengalaman
Setelah dipaparkan skema relasi Islam dan HAM, uraian berikutnya membahas pengalaman berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim dalam menerapkan HAM di negaranya masing-masing. Namun, perlu diberikan catatan lebih dahulu bahwa informasi mengenai HAM menyebar di dunia Islam di antaranya melalui kontribusi sejumlah pejabat, termasuk para penulis, yang pada abad ke-19 menyebarkan gagasan Eropa mengenai konstitusionalisme dan kebebasan publik. Di Mesir, lahir tokoh Syekh Rifa’ah Rafi’at-Tahtawi (1801-1873), alumni Universitas al-Azhar yang mempelajari dengan khusus lembaga-lembaga hukum dan politik Perancis antara 1826 dan 1831. Ia banyak memberikan laporan terkait dengan hak-hak politik, aturan hukum, kebebasan, persamaan dan gagasan pencerahan lainnya.[24]
Di Persia ada Mirza Malkom Khan (1833–1908), pernah menjadi Duta Besar Iran di Inggris Raya, yang banyak menulis tentang konsep pemerintahan di Eropa, berikut aturan hukum dan kebebasan. Ia juga berpandangan bahwa konsep tersebut dapat direkonsiliasikan dengan Islam. Begitu pula di Turki, tokoh yang paling banyak berperan dalam menyebarkan informasi seputar HAM yaitu Namik Kemal Pasya (1840–1888). Ia banyak menekankan kesejalanan konsep tersebut dengan doktrin Islam.[25]
Tentu tidak semua negara yang warganya muslim setuju dengan gagasan HAM sebagaimana disampaikan pihak Barat. Berbagai ketegangan pun terjadi yang riaknya dapat ditelusuri sejak abad ke-19, khususnya terkait dengan posisi Islam dan non-Islam. Di Tunisia misalnya, di bawah tekanan kolonial Perancis, para penguasa lokal di sana pernah mengeluarkan sebuah pakta penting pada 1857, yang isinya menjadi kesetaraan semua orang di depan hukum, keharusan membayar pajak, dan mendapat keamanan, lepas dari agama atau apapun suku bangsa mereka. Namun sayangnya, undang-undang tersebut dibatalkan oleh pihak protektorat Perancis. Hal yang lain terjadi juga di Afghanistan (1921–1924) di mana dalam undang-undang negaranya, terjadi kombinasi antara Islam dan Barat. Sebagai contoh, bahwa semua warganegaranya dipandang berdiri sejajar di hadapan pemerintah, syariat dan hukum negara. Namun, khusus untuk orang Hindu dan Yahudi, mereka wajib membayar jizyah kepada pemerintahan Islam. Mereka adalah ahl al-dzimmah yang memiliki kewajiban pajak tersebut. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga harus memiliki identitas tersendiri, khususnya terkait dengan jenis pakaian yang mereka pakai.[26]
Turki adalah negara mayoritas muslim yang sejak abad ke-19 sudah melakukan reformasi dalam merealisasikan ide-ide HAM di dunia Islam. Dalam periode Tanzimat, penguasa Turki Usmani mengundangkan dokumen penting yang disebut Islâhât Fermani (Maklumat Reformasi) pada 1839 dan 1856. Kedua dokumen tersebut menjelaskan perundang-undangan jaminan bagi keamanan hidup, kehormatan, hak milik, pengadilan yang adil dan kesetaraan di muka hukum. Pada 1876 kaum reformis Turki berhasil mendesakkan diterimanya Undang-undang Dasar Turki Usmani yang menetapkan jaminan bagi kebebasan warganegara, kesetaraan bagi semua manusia dan kebebasan untuk menjalankan agama selain Islam. Juga diberikan jaminan keamanan bagi setiap orang, kediaman, dan hak milik dari gangguan apapun. Pada 1961, Republik Turki kedua mengesahkan undang-undang dasar yang dalam pembukaannya menekankan jaminan akan hak-hak asasi dan kebebasan manusia serta kesetaraan laki-laki dan perempuan, juga perihal kebebasan beragama di antara masyarakatnya.[27]
Pada abad ke-20, hampir seluruh negara muslim telah memiliki undang-undang dasar yang memuat seluruh atau sebagian besar prinsip HAM sebagaimana dicetuskan oleh PBB lewat UDHR. Di Aljazair misalnya, pada 1989 sudah memiliki undang-undang dasar yang secara terang-terangan menekankan kesetaraan semua manusia di depan hukum tanpa diskriminasi atau berdasarkan gender sekalipun.[28]
Di antara negara yang hingga kini masih mempertahankan fikih Islam tradisional yaitu Arab Saudi. Arab Saudi sendiri menyatakan penolakan atas rumusan HAM sebagaimana termaktub dalam UDHR. Butir yang paling sulit diterima dalam rumusan tersebut yaitu terkait dengan prinsip kebebasan beragama, terutama menyangkut hak berpindah agama dari Islam ke agama lain, berikut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Al-Barudi, wakil Arab Saudi dalam sidang penyiapan draft UDHR, mengomentari draft tersebut sebagai didasarkan terutama atas fondasi dan pola budaya Barat yang jelas-jelas berbeda dan bertentangan dengan pola budaya Islam. Posisi ini makin dipertegas pada 15 Juni 1970, ketika pemerintahan Arab Saudi menerbitkan memorandum mengenai HAM dalam Islam, dan aplikasinya. HAM dalam Islam tidak berisi perintah moral melainkan preskripsi dan perintah yang pasti, yang aplikasinya dijamin legislasi negara tersebut. Tiga poin khusus dikemukakan, yaitu terkait larangan perkawinan antara perempuan muslim dan laki-laki nonmuslim, dan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan politeis, larangan bagi seorang muslim untuk berpindah agama (bertentangan dengan pasal 18 UDHR) dan terakhir, larangan didirikannya serikat buruh (ini bertentangan dengan pasa 8 Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kultural).[29]
Selain Arab Saudi, Republik Islam Iran merupakan negara muslim yang juga menolak rumusan UDHR.[30] Sejak revolusi Islam Iran pada awal 1979, pemerintahan Islam Iran memproklamasikan diterapkannya syariat Islam sebagai dasar negara, dan sekaligus menyatakan penolakan mereka atas UDHR secara de jure, meski negara itu tidak meratifikasi Perjanjian Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik.[31]
Bagaimana dengan Indonesia? Secara umum Indonesia sejak awal berdirinya
sudah menyatakan komitmen yang sangat tinggi atas HAM. Selain karena faktor
ajaran Islam yang diyakini, pengalaman berada di bawah penjajahan juga menjadi
hal yang mendorong mereka berjuang menegakkan HAM. Pada dekade 1950-an,
dukungan penuh kaum muslim terhadap HAM, misalnya, terekam dalam berbagai
pandangan utusan partai Islam dalam sidang Majelis Konstituante antara
1956–1959.[32] Pada
umumnya mereka berpandangan bahwa nilai-nilai HAM sejalan dengan nilai-nilai
Islam. Masyumi adalah representasi partai Islam yang sangat getol mendukung HAM,
sampai-sampai mereka dituduh sebagai para pendukung ideologi demokrasi liberal.
Sejak dekade 1970 sampai 1980-an, diskursus tentang HAM hampir dikatakan tidak
berkembang dengan baik. Orde Baru yang menjadi motor pemerintahan cenderung
mengabaikan HAM sebagai bagian yang penting dalam roda pemerintahan. Baru pada
penghujung tahun 1980-an wacana HAM kembali menguat dengan lahirnya beberapa
tokoh penting seperti Abdurahman Wahid, alias Gus Dur di NU, termasuk
Nurcholish Madjid yang mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina, sebagai upaya untuk
memperkuat wacana HAM dalam ranah civil
society di Indonesia. Demikian!●
Oleh: Aan Rukmana, M.Ud
Bibliografi
Al-‘Afif, Baqir. Mencari HAM dalam Islam. Terj. Soffa Ihsan. Jakarta: Banana, 2007.
An-Na’im, Abdullahi A. “Human Rights in the Arab World: A Regional Perspective.” Human Rights Quarterly. Vo. 23, No. 3. US: The John Hopkins University, 2001.
Al-Shawaf, Telha and Salwan Rawaf. “Human Rights in Iraq”. British Medical Journal. Vol. 310, No. 6972. BMJ, 1995.
Boisard, Marcel A. Humanisme dalam Islam. Terj. H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Dawes, James. “Human Rights in Literary Studies”. Human Rights Quarterly. Vol. 31, No. 2. US: The John Hopkins University, 2009.
Esposito, John L. “Women’s Right in Islam”. Islamic Studies. Vol. 14, No, 2. Islamabad: Islamic Research Institute, International Islamic University, 1975.
Fauzi, Ihsan Ali. “Hak Asasi Manusia”. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini. Ed. Prof. Dr. Taufik Abdullah dkk. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Guyer, Paul (ed.). The Cambridge Companion to Kant and Modern Philosophy, Cambridge University Press, 2007.
Khadduri, Majid. “Human Rights in Islam”. The Annals of the American Academy of Political and Social Science. Vol. 243. Sage Publication Inc. in Association with the American Academy of Political and Social Science, 1946.
Mayer, Ann Elizabeth. Islam and Human Rights Tradition and Politics. United States of America: Westview Press, 2007.
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 2003.
Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina, 1999.
Malik, Maqbul Ilahi. “The Concept of Human Rights in Islamic Jurisprudence”. Human Rights Quarterly. Vol 3, No. 3. US: The Johns Hopkins University Press, 1981.
Osanloo, Arzoo. “The Measure of Mercy: Islamic Justice, Sovereign Power, and Human Rights in Iran”. Cultural Anthropology. Vol. 21, No. 4. The American Anthropological Association, 2006.
Renteln, Alison Dundes. “The Concept of Human Rights”. Anthropos. Bd 83. Anthropos Institut, 1988.
Traer, Robert. “Human Rights in Islam”. Islamic Studies. Vol. 28, No, 2.
Islamabad: Islamic Research Institute, International Islamic University, 1989.
[1] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, hal. 203.
[2] Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, Terj. H.M. Rasjidi, hal. 48. Baca juga, Arzoo Osanloo, “The Measure of Mercy: Islamic Justice, Sovereign Power, and Human Rights in Iran”. Cultural Anthropology. Vol.21, No.4. The American Anthropological Association, 2006.
[3] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, hal. 209.
[4] Dalam Pidato Perpisahan yang disampaikan Nabi saw tersebut, sebagaimana Cak Nur rumuskan, terdapat beberapa poin penting terkait dengan pembangunan teologis atau pendasaran teologis HAM dalam Islam. Pertama, prinsip persamaan bagi umat manusia, karena Tuhan manusia adalah satu (sama) dan ayah atau moyang seluruh umat manusia adalah satu (sama) yaitu Adam. Kedua, darah atau nyawa, begitu pula harta dan kehormatannya adalah suci, karena itu mutlak dilindungi dan tidak boleh dilanggar. Ketiga, Nabi mengingatkan bahwa kejahatan tidak akan menimpa kecuali atas pelakunya sendiri. Keempat, Nabi mengingatkan agar sesudah beliau, manusia tidak kembali menjadi sesat dan kafir, kemudian saling bermusuhan. Kelima, Nabi menasihatkan untuk menjaga diri berkenaan dengan wanita (istri), sebab wanita adalah makhluk yang sama sekali tergantung kepada pria (suami). Dokumen Pidato Perpisahan ini, menurut Cak Nur, mempunyai nilai kemanusiaan yang sangat tinggi, bahkan bila dibandingkan dengan “Sepuluh Perintah Tuhan” dan “Khotbah di Bukit” sekalipun. Baca, Budhy Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, hal. xxxvi–xxxviii.
[5] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, hal. 209-210.
[6] Giovanni Pico della Mirandola, sebagaimana dikutip Cak Nur, pernah berkata: “Aku telah baca dalam catatan (buku) bahwa Abdullah, seorang Saracen (Arab Muslim), ketika ditanya tentang apa-apa di atas pentas dunia ini, sebagaimana adanya, sekiranya dapat dipandang paling mengagumkan, ia menjawab, “Tidak ada sesuatu yang dapat dipandang lebih mengagumkan daripada manusia.” Sejalan dengan pendapat ini ialah ucapan Hermes Trismegistus: “Mukjizat yang hebat wahai Asclepius, ialah manusia.” Baca Baca Budhy Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, hal. xxxix.
[7] Paul Guyer (ed.). The Cambridge Companion to Kant and Modern Philosophy, hal.381.
[8] Dalam konteks Barat sendiri, deklarasi ini bukanlah deklarasi yang tiba-tiba hadir begitu saja. Sudah terjadi dialektika pemikiran yang panjang serta dokumen-dokumen terdahulu yang juga tidak dapat diabaikan. Tercatat dalam sejarah Barat beberapa peristiwa yang menjadi tonggak dari pertumbuhan kesadaran tersebut, yaitu: [1] “Perjanjian Agung” (Magna Carta) di Inggris, 15 Juni 1215, sebagai bagian dari pemberontakan para baron Inggris terhadap Raja John. Isi dokumen terkait di antaranya bahwa hendaknya seorang raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi rakyatnya. [2] Bill of Rights pada 1628, yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapa pun tanpa dasar hukum. 3) Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Juli 1776, yang memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan. [4] Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warganegara dari Perancis, 4 Agustus 1789, dengan titik berat kepada lima hak asasi: pemilikan harta, kebebasan, persamaan, keamanan, dan perlawanan terhadap penindasan. [4] Deklarasi tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Desember 1948, yang memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja dan kebebasan beragama (termasuk pindah agama). Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, hal.211–212.
[9] Ihsan Ali Fauzi, “Hak Asasi Manusia”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini, hal.161.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Baqir al-Afif, Mencari HAM dalam Islam, Terj.Soffa Ihsan, hal.26.
[15] Ibid., hal.38.
[16] Ibid., hal.31.
[17] Ibid., hal.47.
[18]Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, hal.27.
[19] Baqir al-Afif, Mencari HAM dalam Islam, Terj.Soffa Ihsan, hal.5.
[20] Ibid., hal.57.
[21] Ibid., hal.64.
[22] Ibid., hal.67.
[23] Ibid., hal.70.
[24] Ihsan Ali Fauzi, “Hak Asasi Manusia”. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini, hal. 162.
[25] Ibid., hal.163.
[26] Ibid., hal.163. Juga, baca Majid Khadduri, “Human Rights in Islam”, dalam The Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol.243.
[27] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini. hal. 163–164.
[28] Ibid., hal.164. Juga, baca John L. Esposito, “Women’s Right in Islam”. Islamic Studies. Vol.14, No.2.
[29] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini, hal.165.
[30] Arzoo Osanloo, “The Measure of Mercy: Islamic Justice, Sovereign Power, and Human Rights in Iran”. Cultural Anthropology. Vol. 21, No. 4..
[31] Ayatullah Ruhullah Musawi Khumaini (1900–1989) pernah berkata dan mengomentari HAM: “Apa yang mereka katakan sebagai HAM adalah omong kosong, tak lebih dari koleksi aturan korup yang dibuat oleh kaum Zionis untuk menghancurkan seluruh agama yang benar.” Lihat, Ihsan Ali Fauzi, “Hak Asasi Manusia”. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini, hal.166. Lihat juga, Abdullahi A. al-Naim “Human Rights in the Arab World: A Regional Perspective”, Human Rights Quarterly. Vo. 23, No. 3.
[32] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini, hal.171.