ICC Jakarta – Menurut catatan, kata “Islamophobe” dalam bahasa Prancis ditemukan pertama kali pada 1912. Sementara, istilah “Islamophobia” dalam bahasa Inggris baru mulai dikenal satu dekade sesudahnya.
Definisi awal dari konsep Islamofobia diperkenalkan oleh Étienne Dinet dan Sliman Ben Ibrahim pada 1918. Lewat buku La Vie de Mohammed, Prophete d’Allah (Kehidupan Muhammad, Sang Nabi Allah), kedua penulis itu menggambarkan Islamofobia sebagai garis politik resmi Prancis ketika menghadapi tentara-tentara Muslim dalam Perang Dunia Pertama.
Selama 20 tahun berikutnya, Dinet dan Ibrahim berulang kali memublikasikan istilah Islamofobia dalam berbagai karya tulis mereka, termasuk ketika membahas sikap politik resmi Prancis dalam melakukan misi penjajahannya di Aljazair.
“Meskipun ada beberapa tulisan Dinet dan Ibrahim yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, konsep Islamofobia belum lagi dimasukkan ke dalam wacana ilmiah pada masa itu,” ujar Urbrock dan Claas lagi.
Pada 1975, sejarawan asal Tunisia, Hichem Djait, menggunakan istilah Islamofobia untuk mengkritik pemikiran intelektual Barat, Edward Said, mengenai Dunia Timur.
Menurut Djait, gagasan orientalisme yang diusung Said lebih menggambarkan tentang ketakutan masyarakat Barat terhadap kebangkitan dunia Islam pada era pascakolonial. Sejak itulah, konsep Islamofobia mulai digunakan secara lebih luas dalam berbagai kajian ilmiah
Perbedaan Konsep dan Perspektif
Meskipun Islamofobia kini telah menjadi sebuah istilah umum, ada sedikit perbedaan di kalangan peneliti mengenai pengertian konsep tersebut. Laporan Runnymede Trust (sebuah lembaga penelitian yang berbasis di Inggris) pada 1997 berisi beragam perspektif tentang Islamofobia. Antara lain menggambarkan fenomena tersebut sebagai kebencian atau sikap permusuhan yang tidak berdasar terhadap Islam.
“Dalam tataran praktisnya, sentimen semacam itu dapat berujung pada perilaku diskriminatif terhadap individu dan masyarakat Muslim. Misalnya, dengan mengesampingkan peran umat Islam dalam urusan politik dan ekonomi arus utama di suatu negara,” tulis Runnymede Trust dalam laporannya.
Islamofobia bukanlah istilah yang mengacu pada psikologi klinis, seperti misalnya arachnophobia (ketakutan berlebihan kepada laba-laba), acousticophobia (takut akan suara), atau acrophobia (takut akan ketinggian). Akan tetapi, Islamofobia lebih berkonotasi pada emosi dan sikap negatif yang diarahkan kepada Islam dan komunitas Muslim.
“Dalam konteks yang lebih luas lagi, Islamofobia juga dianalogikan dengan istilah-istilah lain, seperti rasialisme, seksisme, atau antisemitisme (permusuhan terhadap masyarakat keturunan Arab, Ibrani, atau Aram),” tulis Erik Bleich dalam artikelnya, “What Is Islamophobia and How Much Is There? Theorizing and Measuring an Emerging Comparative Concept” yang dipublikasikan jurnal American Behavioral Scientist (2011).