IIC Jakarta – Kaligrafi di Indonesia masuk sejak awal masuknya Islam ke negeri ini. Ketika Islam datang, maka dakwah itu dimulai, yaitu dengan mengenal Al-Qur’an. Kemudian tulisan yang bagus mulai dikenalkan antara lain dalam panji-panji perjuangan. Misalnya ada ungkapan laa Ilaha illallah muhammadur Rasulullah dalam panji-panji yang dikibarkan pada saat peperangan melawan penjajah itu sudah ada. Tapi sebelum itu, tentu ada di pesantren Syekh Quro misalnya di Karawang, kemudian Ampel Denta, kemudian ada lagi pesantren di Gresik itu sudah diajarkan mata pelajaran kaligrafi atau menulis indah yang diberikan oleh kiainya tetapi tentu dalam bentuk yang lebih sederhana dari sekarang.
Ketika Islam masuk, masyarakat muslim yang belajar dikasih pelajaran membaca Al-Qur’an dan pelajaran membaca Al-Qur’an dalam forum thalabul ilmi itu diiringi dengan menulisnya, bahkan kitab-kitab yang dipelajari oleh para santri terdahulu itu selalu diberi syarah, uraian dari kalimat-kalimat yang ada di dalamnya dengan kaligrafi yang indah menurut ukuran pada waktu itu. Kaligrafi sudah dikenal di negeri ini sejak Islam dikenal.Tentu saja belum seperti jenis-jenis yang dikenal saat ini. Adapun kaligrafi yang kita ketahui dari abad 16 itu hanyalah dalam naskah-naskah Al-Qur’an.
Kemudian ada surat-surat perjanjian atau yang disebut qaulul haq bagi baik perjanjian dagang maupun politis. Yang ditulis di situ biasanya menggunakan jenis tertentu.Yang paling banyak digunakan itu naskhi, tsulus, dan peranakannya. Itu berarti jenis kaligrafi yang indah itu sudah dikenalkan dalam scope (cakupan) yang terbatas, tetapi belum menular kepada seluruh komunitas Muslim. Apakah ada periodisasi dalam proses pengenalan kaligrafi kepada Muslim Indonesia itu? Ada empat periode. Periode perintis di awal-awal Islam masuk sampai pesantren tua.Di masa ini, kita tidak mengenal tokoh kaligrafi, tetapi ada.
Terbukti dengan adanya naskah-naskah tua itu tadi, berarti ada khattat (kaligrafer) itu, tetapi tidak populer seperti zaman sekarang karena perguruan kaligrafi belum ada pada waktu itu. Periode kedua itu periode angkatan orang-orang pesantren. Nah, sejak itu kemudian lahirlah pesantren-pesantren yang diantaranya mengajarkan kaligrafi secara resmi gitu, tetapi yang diajarkan waktu itu baru terbatas. Umumnya pada sekitar naskhi karena naskah itu merupakan kaligrafi pokok untuk di tanah air kita.Ya ditambah lagi riq’ah karena riq’ah diperlukan untuk menulis cepat. Berarti hanya dua yang paling banyak digunakan dan itu pula yang dikenal luas di mana-mana. Kemudian pada periode kedua ini,di pesantren itu mulai muncullah usaha-usaha untuk menjadikan kaligrafi sebagai tujuan estetis gitu. Artinya tidak semata bersifat fungsional.
Dengan adanya tulisan-tulisan kaligrafi pada masjid, misalnya, dengan bentuknya yang sederhana tentu. Sampai abad awal 19 itu, masjid belum dikenal dengan kaligrafinya, tetapi memang ada masjid-masjid tua seperti Jogja sudah ada tulisan kaligrafi diukir, ada juga di bedug-bedug, bahkan ada aliran kaligrafi yang disebut kaligrafi macan Ali. Nah, macan Ali itu kaligrafi dalam bentuk macan baik wajahnya maupun tubuhnya, isinya ungkapan tentang kesaktian Ali bin Abi Thalib Ali dan keluarganya Fatimah, Hasan, Husein.Itu masuk ke lingkup kaligrafi macan Ali.
Karena itulah, yang banyak ditulis terutama di wilayah Cirebon karena orang-orang Cirebon itu, waktu itu dan mungkin sekitarnya serta orang berguru ke Cirebon itu,mengagungkan Ali sebagai manusia yang punya kehebatan dan kesaktian sehingga kaligrafinya juga kaligrafi macan Ali waktu itu. Dari kalangan Pesantren ini pula, nanti akan lahir mushaf-mushaf yang terus ditulis, terutama sejak abad 17-18 itu mulailah banyak mushaf ditulis di berbagai tempat yang lokasinya itu bisa diurut dari wilayah Ternate, Tidore terus-terus sampai ke wilayah barat itu Aceh, Cirebon termasuk disebut ada juga Makassar. Mulailah mushaf itu ditulis di alat-alat yang mulai bermunculan di kertas daluang. Itu periode di ruang itu periode sesudah kertas lontar, daun lontar, warnanya agak kekuning-kuningan itu tapi kualitasnya itu itu jangan-jangan lebih bagus dari zaman kiwari. Alat-alat lain seperti tinta pada waktu itu banyak diproduksi dari berbagai bahan di lingkungan, misalnya kalau dia warna kehijauan tentulah diambil dari daun yang warnanya hijau, yang coklat, yang kuning kan ada bunga-bunga itu. Ya ada Za’faron, itu istilah bahasa Arab untuk tinta, ada juga beras yang dibakar hitam terus digunakan untuk tinta. Arang lampu. Lampu kepeng (teplok) itu kan kalau dibesarkan itu kan memunculkan serbuk hitam di atas itu ditampung, kemudian dijadikanlah tinta serbuk-serbuknya itu.
Mulailah produksi tinta yang dibuat nafsi-nafsi waktu itu ya. Itu sampai 1970-an itu berkembang yang namanya aktivitas menulis Al-Qur’an, terutama karena Al-Qur’an jadi sasaran ekspresi para seniman apapun. Bikin kaligrafi untuk Al-Qur’an menghias untuk Al-Qur’an juga. Kemudian muncul angkatan pendobrak dan pelukis.Nah,ini titimangsanya bisa dilihat dari tahun 1970-an akhir. Ketika tahun 1979 itu ada pameran seni Islam pertama di Semarang, pada waktu lomba MTQ Nasional yang ke-9 di Semarang itu ada pameran seni Islami di situ.Muncullah kalangan pelukis karya-karya kaligrafi, tetapi karya-karyanya itu bertampang bebas gitu ya. Nah, itu pada waktu sekarang itu kaligrafi ekspresionis figural, kaligrafi kontemporer.
Pelukis dan pendobrak ini datang satu rombongan dengan istilah melukis kaligrafi Indonesia sehingga lahirlah apa yang dinamakan seni lukis Islam Indonesia, seni lukis kaligrafi Islami. Pada waktu itu, belum ada istilah itu seni lukis kaligrafi Islam di Indonesia. Kemudian muncul lagi angkatan terakhir itu angkatan kader MTQ. MTQ ini merupakan suatu gerbong dan rombongan besar yang datang dan pola-polanya tersendiri. Sekarang, ada empat golongan, naskah, hiasan mushaf, dekorasi, dan kontemporer.Ya nanti akan saya akan terus usul kaligrafi digital. Angkatan terakhir ini, angkatan yang lebih dahsyat, karena komunitas khattat-nya itu kan ribuan sehingga seluruh gagasan dengan perkembangan kaligrafi itu bisa diadaptasi seluruh khattat. Mereka sanggup menampilkan karya-karya seperti ini sehingga pola-pola itu lahir yang dahsyat.
Sumber: https://www.nu.or.id