ICC Jakarta – Revolusi Islam Iran adalah revolusi yang mengubah Iran dari Monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, menjadi Republik Islam yang dipimpin oleh Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini, pemimpin revolusi dan pendiri Republik Islam. Sering disebut pula “revolusi besar ketiga dalam sejarah”, setelah Perancis dan Revolusi Bolshevik.
Latar Belakang Revolusi Islam Iran
Ulama menjadi aktor utama di balik revolusi Islam Iran. Untuk lebih mengetahui sebab-sebab revolusi yang dipelopori kaum mullah ini kita perlu flashback sedikit ke belakang, tepatnya ketika rezim Pahlevi mulai berkuasa. Pada tahun 1925 berdirilah rezim Pahlevi, menggantikan pemerintahan dinasti Qajar yang kacau balau. Di bawah pemerintahan rezim Pahlevi terbentuklah sebuah pemerintahan sentral. Negara tersebut dibangun sejalan dengan ideologi nasionalis.
Pada awal pendiriannya, rezim Pahlevi mendapatkan dukungan dari sebagian ulama untuk melakukan restorasi di Iran yang telah banyak dipengaruhi asing, akan tetapi pada realitasnya, pemerintahan rezim Reza Khan justru memberlakukan program modernisasi ekonomi dan Westernisasi kultural secara intensif.
Yang dalam hal ini, langkah pertama yang ditempuh Shah Reza ialah membangun kekuatan militer modern, sektor 33% dari anggaran negara digunakan untuk pendanaan militer dan juga sejumlah anggaran lainnya yang didapatkan dari sektor minyak Shah Reza kemudian mengadakan pelatihan pejabat-pejabat tentara di Perancis dan memberlakukan wajib militer. Dengan dukungan pasukan militernya dan pemerintahannya yang kuat, rezim ini mengatasi oposisi elit agama, pedagang, dan elite kesukuan.
Meskipun Shah Reza meraih kekuasaan dengan dukungan sebagian ulama yang menginginkan perbaikan kerajaan Iran dan mengaharap lahirnya pemerintahan yang kuat untuk menekan pengaruh asing, namun ketika pemerintahan rezim Pahlevi telah kokoh, mereka justru menghapuskan pengaruh ulama. Melalaui pembentukan sistem pendidikan sekuler, pengawasan pemerintah terhadap sekolah-sekolah agama, pengurangan dana subsidi dan melalui beberapa kebijakan lainnya rezim Pahlevi berusaha menggiring ulama berada di bawah kontrol negara, ini merupakan pukulan pertama yang didapatkan para ulama dari rezim Pahlevi.
Pukulan kedua terhadap pihak ulama, ialah kebijakan reorganisasi administrasi yudisial, pada tahun 1928, Shah Reza memberlakukan beberapa kitab hukum yang menggeser kedudukan hukum syari’ah. Pada tahun 1932 parlemen mengundangkan sebuah undang-undang baru yang memindahkan registrasi dokumen-dokumen resmik kepada pengadilan sekuler dan merupakan pukulan telak yang mencabut fungsi-fungsi terpenting pengadilan agama.
Di bidang hubungan internasional, Iran masa Rezim Pahlevi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh asing. Pada dekade 1920-1930-an, tercatat beberapa negara mencoba memberikan pengaruh di Iran, di bidang tata perkantoran yang baru dijalankan oleh pejabat-pejabat Belgia. Amerika Serikat membantu mengorganisir pengumpulan pajak, bank nasional Iran didirikan pada tahun 1927 di bawah menajemen keuangan Jerman. Pada dekade yang sama Inggris dan Rusia saling berlomba memberikan pengaruh ekonomi di Iran. Tercatat Rusia merupakan mitra utama perdagangan, sementara Inggris menguasai produksi minyak dengan perusahaan mereka The Anglo-Persian Oil Company yang telah berdiri sejak tahun 1909.
Berakhirnya Perang Dunia II tepat bersamaan dengan fase Iran yang tengah mensentralisir kekuasaan negara dan fase perkembangan ekonomi Iran. Inggris dan Rusia berusaha mengamankan rute suplei dan mengamankan penguasaan mereka terhadap minyak Iran, mencoba melengserkan Rezim Shah Reza. Mereka memaksa Shah Iran meletakkan jabatannya dan mengangkat putra bungsunya yang bernama Muhammad Reza Pahlevi sebagai penguasa boneka Iran. Antara tahun 1941 dan 1953 terjadi pergolakan terbuka antara sejumlah protektor asing dan sejumlah parpol internal Iran. Amerika Serikat perlahan menggeser pengaruh Rusia dan Inggris dan akhrinya tampil sebagai pelindung utama bagi Rezim Iran.
Sebab Terjadinya Revolusi Islam Iran
Shah Mohammad Reza Pahlavi menjalankan pemerintahan yang brutal, korup dan boros. Kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang terlalu ambisius menyebabkan inflasi tinggi, kelangkaan dan perekonomian yang tidak efisien. Kebijakan Shah yang kuat untuk melakukan Westernisasi dan kedekatan dengan kekuatan barat “Amerika Serikat” berbenturan dengan identitas Muslim Syi’ah Iran, hal ini termasuk pengangkatannya oleh kekuatan sekutu dan bantuan dari CIA pada 1953 untuk mengembalikannya ke kekuasaan, menggunakan banyak penasihat dan teknisi militer dari Militer Amerika Serikat dan pemberian kekebalan diplomatik kepada mereka.
Ia, seperti ayahnya Shah Reza Pahlevi merupakan orang yang sekuler, berbeda dengan cara pandang rakyat Iran pada umumnya yang sangat menghormati agama Islam madzhab Syiah dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semua hal tersebut membangkitkan nasionalisme Iran, baik dari pihak religius dan sekuler, menganggap Shah sebagai boneka barat.
Walapun beberapa orang berpendapat bahwa revolusi masih berlangsung, rentang waktu terjadinya revolusi terjadi pada Januari 1978 dengan demonstrasi besar pertama dan ditutup dengan disetujuinya konstitusi teokrasi baru (saat Imam Khomeini menjadi Pemimpin Tertinggi negara) pada Desember1979.
Sebelumnya, Mohammad Reza Pahlavi meninggalkan Iran dan menjalani pengasingan pada Januari 1979 setelah pemogokan dan demonstrasi melumpuhkan negara, dan pada 1 Februari 1979 Ayatullah Khomeini kembali ke Teheran yang disambut oleh jutaan Bangsa Iran. Kejatuhan terakhir Dinasti Pahlavi terjadi setelah 1 Februari dimana Angkatan Bersenjata Iran menyatakan diri netral setelah gerilyawan dan pasukan pemberontak mengalahkan tentara yang loyal kepada Shah dalam pertempuran jalanan. Iran secara resmi menjadi Republik Islam pada 1 April 1979 ketika sebagian besar Bangsa Iran menyetujuinya melalui referendum nasional.
Revolusi ini memiliki keunikan tersendiri karena mengejutkan seluruh dunia. Tidak seperti berbagai revolusi di dunia, Revolusi Islam Iran tidak disebabkan oleh kekalahan dalam perang, krisis moneter, pemberontakan petani, atau ketidakpuasan militer; namun menghasilkan perubahan yang sangat besar dengan kecepatan tinggi; mengalahkan sebuah rejim, walaupun rezim tersebut dilindungi oleh angkatan bersenjata yang dibiayai besar-besaran dan pasukan keamanan. Revolusi Islam Iran mampu mengganti monarki kuno dengan ajaran teokrasi yang didasarkan atas Guardianship of the Islamic Jurists (atau velayat-e faqih).
Hasilnya adalah sebuah Republik Islam “yang dibimbing oleh ulama berumur 80 tahun yang diasingkan ke luar negeri dari Qom,” sebagaimana seorang cendekiawan menyatakan, “jelas sebuah kejadian yang harus dijelaskan ….”
Revolusi ini terjadi dalam dua fase. Fase pertama bermula pada pertengahan 1977 hingga 1979 yang dipimpin oleh pihak liberal, golongan haluan kiri dan kumpulan agamawan. Kesemua mereka memberontak menentang Shah Iran. Fase kedua yang turut dikenali sebagai Revolusi Islam menyaksikan naiknya Ayatollah Khomeini menjadi pemimpin revolusi.
Sebab-sebab terjadinya revolusi Islam Iran
Penjelasan dari pertanyaan, “Mengapa revolusi terjadi?” dapat dilihat dibawah ini:
Kesalahan-kesalahan Shah
Shah Muhammad Reza Pahlevi menjalankan pemerintahan yang brutal, korup, dan boros. Kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang terlalu ambisius menyebabkan inflasi tinggi, kelangkaan, dan perekonomian yang tidak efisien. Kebijakan Shah yang kuat untuk melakukan westernisasi dan kedekatan dengan kekuatan barat (Amerika Serikat) berbenturan dengan identitas Muslim Syi’ah Iran.
Hal ini termasuk pengangkatannya oleh Kekuatan Sekutu dan bantuan dari CIA pada 1953 untuk mengembalikannya ke kekuasaan, menggunakan banyak penasihat dan teknisi militer dari Militer Amerika Serikat dan pemberian kekebalan diplomatik kepada mereka. Ia, seperti ayahnya, Shah Reza Pahlevi merupakan orang yang sekuler, berbeda dengan cara pandang rakyat Iran pada umumnya yang sangat menghormati agama (Islam madzhab Syiah) dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semua hal tersebut membangkitkan nasionalisme rakyat Iran, baik dari pihak relijius dan sekuler dan menganggap Shah sebagai boneka barat.
Revolusi Islam, Sebuah Kebangkitan Rakyat Yang Dinamis
Revolusi Islam Iran merupakan salah satu fenomena terbesar dalam sejarah kontemporer. Iran – yang selama bertahun-tahun berada di bawah dominasi Barat – menghirup udara segar menyusul kemenangan Revolusi Islam dengan kepemimpinan Imam Khomeini ra dan mengakhiri dikte Barat atas negara itu. Di antara keistimewaan dan nilai luhur Revolusi Islam Iran adalah memupuk semangat untuk menuntut kebebasan dan kemerdekaan, melawan arogansi, dan membentuk pemerintahan berdasarkan nilai-nilai Islami.
Imam Khomeini ra membangun sebuah sistem demokrasi yang didasarkan pada agama. Sistem ini berdiri kokoh menentang kaum arogan dunia. Sejarah mencatat bahwa revolusi-revolusi besar dunia akan melupakan cita-citanya seiring perjalanan waktu dan terjebak dalam sejumlah masalah serta menyimpang dari jalur aslinya. Akan tetapi, Revolusi Islam Iran tetap bergerak maju dan berkomitmen terhadap cita-citanya dan Islam serta masih terus menikmati dukungan luas rakyat. Oleh sebab itu, kebangkitan rakyat Iran selalu menghadapi rongrongan dari kekuatan-kekuatan arogan. Lalu, apa saja faktor yang telah menjaga dan melestarikan Revolusi Islam Iran?
Bersandar pada nilai-nilai agama dan membangun sebuah pemerintahan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, termasuk di antara karakteristik utama Revolusi Islam Iran dan juga di antara faktor-faktor yang membuatnya dinamis. Imam Khomeini ra mengatakan, “Islam dan pemerintahan Islam adalah perwujudan Tuhan dan akan menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat secara maksimal jika ajaran-ajarannya diterapkan. Islam punya kekuatan untuk menumpas kezaliman, perampokan, dan kerusakan serta mengantar umat manusia pada kesempurnaan sejati. Berbeda dengan ajaran-ajaran politeisme, Islam berperan dan mengawasi seluruh urusan individual, sosial, spiritual, budaya, politik, militer, dan ekonomi.”
Dari segi situasi sejarah, Revolusi Islam Iran terjadi pada saat Barat telah meminggirkan agama. Dengan kata lain, Revolusi Islam pecah pada era keterasingan agama dan revolusi ini mengusung slogan tentang urgensitas menerapkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan individual dan sosial. Kebangkitan besar ini mengingatkan peristiwa pengutusan Rasulullah Saw pada permulaan Islam dan risalah para nabi sebagai teladan dengan misinya. Sebagaimana Islam sebagai sebuah ajaran dan program komprehensif untuk kehidupan, revolusi ini juga terinspirasi oleh tujuan-tujuan mulia Islam.
Revolusi Islam Iran telah menyampaikan pesan kepada dunia bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang tidak hanya mampu mempersiapkan sebuah perjuangan besar, tapi juga memiliki kapasitas untuk menyelesaikan dan mengelola berbagai krisis masyarakat di era modern.Agama Islam yang dinamis dan kaya tetap masih menjadi solusi atas derita umat manusia setelah 14 abad berlalu dari kemunculannya.
Selain nilai-nilai agama, kepemimpinan juga termasuk salah satu pilar utama Revolusi Islam Iran dan kunci kelestariannya. Berbeda dengan pemimpin di negara-negara lain yang dinominasi oleh para politisi dan menduduki kursi kepemimpinan dengan berbagai intrik, maka legitimasi kepemimpinan dalam Revolusi Islam Iran bersandar pada suara rakyat dan bersumber dari posisinya sebagai pakar atau ahli agama. Oleh karena itu, pemimpin di pemerintahan Islam harus memiliki sifat-sifat seperti menguasai ilmu agama, adil, tawadhu, ikhlas, zuhud, berani, memiliki wawasan politik, dan mampu memimpin.
Imam Khomeini ra adalah figur terbaik yang menyandang sifat-sifat di atas dan rakyat juga sangat mengelu-ngelukan beliau. Ulama besar ini menahkodai bahtera Revolusi Islam Iran dengan mengumpulkan semua kriteria yang dibutuhkan untuk kepemimpinan. Salah satu perbedaan utama Imam Khomeini ra dengan para reformis sejarah Islam lainnya adalah beliau, selain terlibat langsung di arena percaturan, juga mempresentasikan prinsip-prinsip ideologi politiknya kepada rakyat dan memberi pencerahan kepada mereka. Beliau –setelah membuktikan kebenaran ideologi politiknya– secara perlahan merangkul rakyat Iran dan mengajak mereka untuk bersama-sama membangun sebuah revolusi besar serta mengakhiri dominasi Barat di Iran.
Setelah wafatnya Imam Khomeini ra, penerus beliau, Sayid Ali Khamenei juga menempuh jalan yang sama untuk melestarikan Revolusi Islam Iran. Pemimpinan tertinggi di Republik Islam Iran dituntut untuk mampu memutuskan situasi-situasi genting dan memutuskan masalah-masalah yang paling rumit dan sensitif. Sepanjang 42 tahun sejarah revolusi, ada sejumlah tantangan serius yang berhasil diselesaikan dengan kebijaksanaan dan kearifan kepemimpinan Iran. Padahal, krisis-krisis seperti itu di negara lain biasanya akan berujung pada kekacauan sosial dan penggulingan pemerintahan.
Sebenarnya, puncak kesuksesan dan kemajuan Revolusi Islam Iran terletak pada partisipasi luas rakyat di berbagai bidang. Mereka selalu menyambut seruan pemimpin revolusi secara sadar dan kompak. Revolusi Islam di Iran meraih kemenangan dengan melibatkan semua lapisan masyarakat, baik mereka yang tinggal di kota-kota besar maupun warga pedesaan yang hidup jauh dari keramaian.
Mengenai dimensi kerakyatan Revolusi Islam Iran, Ayatullah Ali Khamenei mengatakan, “Rakyat adalah pemilik negara ini dengan beberapa alasan; pertama, Islam memberikan wewenang terbesar kepada masyarakat untuk mengatur tatanan-tatanan sosial dan memandang perangkat kepemimpinan sebagai sarana untuk berkhidmat atau mengabdi kepada rakyat.
Kedua, rakyat adalah pembentuk dan penggagas sistem ini, sebab sistem tersebut berlandaskan pada sebuah revolusi dan revolusi itu diprakarsai oleh rakyat. Dan ketiga, keterlibatan dan pengawasan rakyat akan memberikan jaminan terbesar dalam menjaga sistem tersebut dari penyimpangan.
Bangsa ini akan dapat menjaga amanah besar dari Allah Swt dengan cara mengamalkan wasiat-wasiat Imam Khomeini ra, memelihara syiar, orientasi, nilai, dan prinsip revolusi dengan progresifitas dan inovasi.”
Di antara faktor-faktor penting kemenangan Revolusi Islam adalah persatuan dan kesatuan rakyat yang jarang terlihat di revolusi-revolusi lain. Agama Islam telah memainkan peran utama dalam membentuk persatuan itu dan menempatkan berbagai lapisan masyarakat pada satu poros. Pada dasarnya, persatuan, sikap komitmen terhadap nilai-nilai Islam, dan kepatuhan kepada pemimpin telah melestarikan Revolusi Islam Iran. Jelas bahwa fenomena itu juga membantu Republik Islam Iran dalam mengukir sejumlah prestasi besar di berbagai bidang.
Mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan rakyat, Imam Khomeini ra dalam surat wasiat politiknya menulis, “Tidak diragukan lagi, kunci untuk mempertahankan Revolusi Islam adalah kunci yang sama yang pernah digunakan untuk memenangkannya. Kunci kemenangan ini dikenali dengan baik oleh bangsa ini. Generasi mendatang akan membaca dalam sejarah bahwa ada dua prinsip utama dari kunci kemenangan itu. Pertama, tujuan Ilahiah dan cita-cita yang luhur berupa pembentukan pemerintahan Islam yang mendasari gerakan bangsa ini, dan yang kedua, persatuan bangsa di seluruh penjuru negeri dengan persamaan kata untuk mencapai tujuan dan cita-cita itu.”
Pada bagian lain surat wasiat, Imam Khomeini ra menilai keberhasilan bangsa Iran dalam menumbangkan rezim despotik Shah Pahlevi sebagai sebuah mukjizat. Beliau menegaskan, “Tak perlu ragu bahwa Revolusi Islam Iran berbeda dengan revolusi-revolusi lain, baik dalam kemunculannya, metode perjuangan, dan juga motivasi revolusi dan kebangkitan. Revolusi ini merupakan sebuah karunia Ilahi dan hadiah dari Allah Swt kepada bangsa Iran.”
Menurut sejumlah pengamat, pilar-pilar utama setiap revolusi terletak pada ideologi dan ajarannya yang dinamis, partisipasi rakyat, dan kehadiran seorang pemimpin yang diterima oleh semua lapisan masyarakat. Revolusi Islam Iran memiliki ketiga pilar tersebut dengan bentuk yang paling sempurna. Revolusi Islam telah menetapkan tujuan-tujuan besar di semua dimensi personal, sosial, dalam dan luar negeri, politik, ekonomi, dan budaya. Tujuan-tujuan yang diadopsi dari al-Quran dan hadis itu, tampak dalam slogan-slogan rakyat, seperti independensi, kemerdekaan, kebebasan, republik Islam, kepemimpinan agama, dan keadilan sosial.
Awal Mula Revolusi Islam Iran
Bagi Iran, tanggal 11 Februari 1979 merupakan pengambilalihan kekuasaan oleh Ayatollah Khomeini, sekaligus dinyatakan pula sebagai ‘Hari Revolusi Islam’.
Pemimpin revolusi Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini kembali ke Teheran 1 Februari 1979. Pada hari itu memang pemerintahan di bawah Shahpur Bakhtiar sebagai pemerintahan terakhir yang diangkat oleh Shah Reza Pahlevi, mengundurkan diri, dan militer menyatakan akan bersikap netral menghadapi sengketa dengan rejim lama.
Sebenarnya tanggal 16 Januari juga dapat dinyatakan sebagai hari bersejarah, karena pada hari itu Shah meninggalkan Iran atau 1 Februari, ketika Imam Khomeini kembali ke Iran dari pengasingannya di Paris atau juga 12 April, saat Imam Khomeini memproklamirkan ‘Republik Islam Iran’.
Berikut latar belakang sampai terjadinya peristiwa tahun 1978/1979:
Revolusi Islam mencapai puncaknya pada caturwulan pertama tahun 1979. Tetapi latar belakangnya sudah berakar jauh sebelumnya, dan dampaknya masih dirasakan bertahun-tahun sesudahnya. Revolusi itu berawal mula dari peristiwa di tahun 1953. Ketika itu, PM terpilih Mohammad Mosaddegh, yang menasionalisasi sumber minyak Iran, digulingkan oleh CIA dan digantikan oleh militer yang memungkinkan kepulangan Shah Mohammad Reza Pahlevi yang melarikan diri ke Roma.
Konfrontasi antara Shah dan pihak oposisi meruncing, ketika kelompok republik, kelompok kiri dan kemudian kelompok muslim bangkit. Dengan bantuan dinas rahasia, Shah memburon dan menindas kelompok oposisi. Tetapi sebagai dampak dari penanganan kudeta, Shah Iran sekaligus semakin tergantung pada AS. Angkatan perangnya kemudian dilengkapi dengan senjata-senjata paling modern dari AS.
Atas keinginan AS pulalah pada tahun 1960-an Shah Iran melaksanakan “Revolusi Putih”, guna memupus kesenjangan sosial di negara itu. Shah memberlakukan reformasi pertanahan, yang memukul para bangsawan Iran. Juga melaksanakan program pendidikan dan meluaskan hak bagi perempuan. Tetapi mungkin itu sudah terlambat, sebab kritik terhadap Shah semakin lantang. Apakah itu karena ketergantungannya pada AS maupun karena pemisahan yang berlebihan antara negara dan agama.
Lawan politiknya ditahan, dihukum mati atau diusir ke luar negeri. Salah satunya adalah Ayatollah Khomeini yang menentang ‘Revolusi Putih’ dan menuduh Shah melanggar hukum dan UU Islam. Tahun 1964 Khomeini dikucilkan ke Turki dan kemudian pindah ke Irak. Akhirnya, pada tahun 1978 ia diizinkan menetap di Paris. Di Iran sendiri berbagai kelompok politik dan agama beraksi menentang Shah dan mendukung imbauan-imbauan Khomeini lewat rekaman kaset yang dimasukkan ke Iran.
Tetapi awal tahun 1978 rezim Shah Iran bereaksi terhadap serangan-serangan Khomeini dan menyebutnya sebagai mata-mata dan haus karir atau kekuasaan. Sesudahnya muncul berbagai demonstrasi protes dan bentrokan kekerasan dengan pihak oposisi, terutama dengan pendukung Khomeini. Dalam bulan-bulan berikutnya jatuh ratusan korban tewas antara lain dalam peristiwa pembakaran sebuah gedung bioskop di Abadan bulan Agustus 1978. Ketika itu 477 orang tewas. Demonstrasi dan protes terus merebak ke seluruh negeri. Awal September di banyak kota diberlakukan jam malam dan di Teheran terjadi pertumpahan darah di kalangan demonstran setelah pihak militer melepaskan tembakan.
Posisi Shah Iran semakin buruk, apalagi AS rupanya tidak peduli lagi dengan bekas sekutunya itu. Sebab kali ini Washington tidak memberikan bantuan seperti tahun 1953. Bulan November 1978 militer mengambil-alih kekuasaan. Shah Iran sekali lagi berupaya menyelamatkan keadaan pada bulan Januari 1979 dengan mengangkat Shahpur Bakhtiar sebagai PM. Beberapa hari kemudian Shah meninggalkan Iran. Rupanya untuk selamanya. Tanggal 5 Februari Bakhtiar mundur dan melarikan diri. Dua tahun kemudian dia dibunuh di Paris. Sesudahnya, Revolusi Islam merebak.
Sumber dosenpendidikan.co.id