Pernikahan adalah momen yang penuh harapan dan kebahagiaan bagi setiap pasangan. Begitu pula dengan pernikahan Imam Ali dan Sayyidah Fatimah, yang merupakan kisah bahagia yang penuh makna dalam sejarah Islam. Kisah ini menggambarkan kelembutan, kasih sayang, dan berkat yang dilimpahkan oleh Rasulullah Muhammad Saw kepada putrinya yang tercinta.
Imam Ali as. adalah sosok yang penuh kesalehan dan kejujuran. Namun, dia merasa malu untuk mengungkapkan keinginannya kepada Rasulullah untuk menikahi Fatimah. Dengan dorongan dari saudaranya, Aqil, Ali akhirnya memutuskan untuk menghadap Nabi Muhammad Saw untuk membicarakan niatnya.
Ketika istri-istri Nabi mengetahui keinginan Ali, mereka dengan sukarela meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk menghadapnya. Mereka datang dengan maksud membuat Khadijah (istri terdahulu Rasulullah) bahagia, yang merupakan seorang wanita yang setia dan mendukung Nabi dalam segala situasi. Khadijah adalah sosok yang sangat dihormati oleh Rasulullah.
Ali yang merasa malu untuk mengutarakan niatnya, dihadapkan langsung kepada Nabi Muhammad oleh Ummu Aiman, yang dipercaya sebagai ibu pengasuhnya. Dengan kerendahan hati, Ali mengungkapkan keinginannya untuk membawa Fatimah ke rumahnya.
Rasulullah dengan penuh kelembutan dan cinta kasihnya menjawab permohonan Ali. Beliau menjanjikan bahwa malam itu atau besok malam, Fatimah akan dibawa ke rumah Ali. Kabar ini pun tersebar di Madinah, dan para sahabat mulai memberikan dukungan dan hadiah untuk pernikahan mereka.
Haritsah bin Numan, yang mengetahui kondisi ekonomi Ali, dengan sukarela memberikan rumahnya sebagai hadiah pernikahan. Rumah itu terletak dekat dengan rumah Rasulullah, yang memudahkan Ali dan Fatimah untuk mendapatkan bimbingan dan keberkahan dari Rasulullah.
Ali sebagai suami yang peduli, mempersiapkan rumahnya dengan sederhana namun penuh kerendahan hati. Dia menyebarkan kerikil dan pasir di lantai, menggantungkan kayu untuk meletakkan pakaian, dan meletakkan kulit kambing serta bantal sebagai sandaran duduk. Dengan kerendahan hati ini, Ali siap menyambut kedatangan istrinya di rumah mereka.
Rasulullah, sebagai pemimpin dan ayah yang bijaksana, mengajukan usulan untuk mengadakan walimah atau pesta pernikahan. Beliau menyediakan daging dan roti, sementara Ali diminta untuk menyediakan kurma dan minyak. Saad bin Muadz, seorang sahabat, juga memberikan seekor kambing untuk menjamu para tamu.
Pesta pernikahan ini menjadi momen kebahagiaan bagi Ali, Fatimah, dan seluruh umat Islam. Rasulullah, dengan kebijaksanaannya, memerintahkan agar makanan dari pesta pernikahan ini juga dibagikan kepada tetangga-tetangga mereka. Ini menunjukkan kepedulian dan sikap berbagi Rasulullah dalam menjalin hubungan dengan komunitas sekitar.
Pada malam pernikahan, Rasulullah mengundang Fatimah untuk menemui beliau. Beliau memberikan pakaian putih kepada Fatimah, sebagai simbol kesucian dan keberkahan. Dalam perjalanan menuju rumah Ali, Fatimah diiringi oleh malaikat Jibril, Mikail, dan Israfil bersama dengan tujuh puluh dua ribu malaikat. Kedatangan mereka menggambarkan berkah dan keagungan pernikahan ini.
Rasulullah mendudukkan Ali dan Fatimah di sampingnya, dan dengan kelembutan beliau menempatkan tangan Fatimah di atas tangan Ali. Beliau memberikan nasihat dan amanat kepada Ali untuk menjaga dan menyayangi Fatimah. Rasulullah juga menyebut Fatimah sebagai istri terbaik dan Ali sebagai suami terbaik.
Kisah bahagia pernikahan Imam Ali dan Sayyidah Fatimah ini menjadi teladan bagi umat Islam dalam menjalin hubungan pernikahan yang penuh dengan kasih sayang, kelembutan, dan kebersamaan. Mereka adalah contoh nyata tentang bagaimana cinta dan pengorbanan dapat memperkuat ikatan suami istri, serta bagaimana pernikahan yang didasarkan pada ajaran Islam dapat membawa kebahagiaan dan berkah bagi keluarga dan masyarakat.