ICC Jakarta – Perayaan Ghadir Khum telah diselenggarakan dengan penuh hikmah dan semarak tadi malam (30/8/2018) di ICC Jakarta. Acara yang juga dihadiri oleh Direktur ICC Jakarta ini dibuka dengan bacaan ayat suci Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 3 dan 55 ini dilanjutkan dengan hikmah Idul Ghadir oleh Ust Dr. Muhsin Labib.
Pembicara menerangkan bahwa sejatinya acara peringatan Idul Ghadir adalah untuk memperbaharui ikrar deklarasi yang dikumandangkan oleh Rasulullah SAW.
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
Ya, agama didirikan untuk menegaskan tentang kebenaran.
Selanjutnya, Dr. Muhsin Labib melanjutkan: Pada 20 Februari 632 / 18 Dzulhijjah 10 H sekembali dari Haji Wada’, Rasulullah SAW mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin setelah diri Nabi wafat untuk meneruskan misi-misi kenabian hingga hari kiamat. Kepemimpinan yang dibangun adalah untuk menjamin terwujudnya misi dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah harus berakhir dengan kebenaran.
Dalam tradisi Syiah, kriteria-kriteria pemimpin adalah: Harus suci (maksum) yang bukan hanya terjaga dari dosa, tetapi juga mempunyai derajat keimanan yang tertinggi namun juga harus memiliki kelebihihan dari pada orang-orang yang dipimpin sebagai contoh: Seorang pemimpin Islam harus mempunyai kelebihan pengetahuan-pengetahuan tentang ajaran Islam.
Berkaitan dengan cakupan wilayah, maka wilayah (kepemimpinan) terbagi menjadi 2 bagian: Wilayah (kepemimpinan) primer, hanya milik Allah (penafsiran dari ar-rububiyah) yaitu seluruh manusia harus berwilayah kepada Allah swt dan wilayah (kepemimpinan) sekunder yaitu bahwa pemimpin yang terdiri dari nabi dan orang-orang yang beriman. Kedua model keberwilayahan ini terkandung dalam surah al-Maidah ayat 55.
Sedangkan konsekwensi dari kepemimpinan adalah adanya kepatuhan takwini sebagai makhluk yang harus taat kepada Tuhan, kepatuhan terhadap hukum-hukum disini sifatnya mutlak dan kepatuhan sebagai hamba dimana jenis kepatuhan ini memiliki potensi adanya ketidakpatuhan hamba kepada perintah Sang Khaliq.
Dalam paparan selanjutnya Dr. Muhsin Labib menjelaskan bahwa tidak benar tuduhan yang mengatakan bahwa orang Syi’ah lebih memuliakan Imam Ali as dari pada Nabi Muhammad saw. Bukti ungkapan ini bisa dilacak dalam kitab al-Kafi, jil. 1, hal. 90 yang menjelaskan perkataan Imam Ali as:
إنّما أنا عَبدٌ مِن عَبیدِ محمّدٍ صلى الله علیه وآله
“Aku adalah budak dari budaknya nabi Muhammad”
Kata-kata Imam Ali as ini menunjukkan bahwa Imam Ali as bukanlah siapa-siapa jika tidak ada nabi Muhammad. Begitu juga para Imam setelahnya. Cahaya para Imam merupakan serpihan kecil dari kesatuan cahaya yang dimiliki oleh Rasulullah.
Pada akhir uraiannya Ust Labib memberikan kesimpulan bahwa perayaan Idul Ghadir mencakupi dua makna: deklarasi wilayah kepada Amirul Mukminin, Ali Bin Abi Thalib dan deklarasi kepatuhan pada NKRI.
Adapun Dr. Hakim Ilahi dalam sambutan singkatnya menyatakan terima kasihnya kepada segenap hadirin yang telah ikut menghadiri dan memeriahkan perayaan Idul Ghadir dan mengatakan bahwa hari raya Ghadir Khum adalah kebahagiaan yang harus dirasakan oleh setiap muslim.
Dalam acara ini juga dimeriahkan dengan penampilan hadrah yang dibawakan oleh tim hadrah STFI Sadra Jakarta dan pemberian door prize pada akhir acara bagi hadirin yang beruntung dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar materi yang disampaikan oleh pembicara. [SH/SZ]