Pada tanggal 5 September 1964, Malcolm X, tokoh aktivis hak asasi manusia yang terkenal, melakukan kunjungan yang menandakan momen bersejarah ke Jalur Gaza, wilayah yang pada saat itu dikuasai oleh Mesir. Selama dua hari, ia menyatu dengan masyarakat setempat dan para tokoh Gaza, mengunjungi kamp pengungsi Khan Yunis dan rumah sakit lokal.
Salah satu momen penting dalam kunjungan ini adalah pertemuannya dengan Harun Hashem Rashid, seorang penyair terkenal Palestina. Rashid berbagi pengalaman mengerikan tentang krisis Suez dan pembunuhan ratusan warga Palestina oleh tentara Israel. Pengalaman ini sangat menggugah perasaan Malcolm X, yang mencatat kekagumannya terhadap puisi Rashid.
Selama kunjungan, Malcolm X juga bertemu dengan para pemuka agama Gaza, berdoa bersama dengan mereka, dan merasakan kuatnya kehadiran Tuhan di Gaza. Pengalaman ini memengaruhi pandangannya terhadap konflik di Timur Tengah dan perjuangan rakyat Palestina.
Kembali dari perjalanannya, Malcolm X menulis karya terkenalnya tentang Zionisme yang diterbitkan dalam surat kabar Mesir pada 17 September 1964. Dalam artikel tersebut, ia mengkritik keras Zionisme dan menyoroti strategi Zionis untuk menyembunyikan kolonialisme baru mereka di balik kedok kebaikan dan kemanusiaan. Malcolm X membandingkan tindakan Israel dengan penjajah Eropa dan menyerukan persatuan dunia untuk menentang kolonialisme yang meluas ini.
Tidak hanya peduli terhadap Palestina, Malcolm X juga menunjukkan kepeduliannya terhadap Afrika. Dalam jawaban atas pertanyaan tentang Afrika pada Februari 1965, ia menyatakan bahwa Afrika adalah tanah leluhurnya dan bahwa ia ingin melihat negara tersebut benar-benar bebas dari campur tangan asing yang mendominasi dan menindas. Malcolm X menyoroti upaya penjajah untuk menciptakan perpecahan di antara bangsa-bangsa Afrika dan mengingatkan bahwa Israel juga terlibat dalam permainan politik tersebut.
Dalam pandangannya, Islam adalah agama persaudaraan dan persatuan, dan ia menekankan pentingnya para pemimpin Muslim untuk menunjukkan contoh persaudaraan dan persatuan. Malcolm X menyuarakan perlunya pertemuan keagamaan antara Kairo dan Mekah untuk lebih menunjukkan kepedulian terhadap situasi dunia Islam.
Namun, beberapa jam setelah menulis jawaban ini, pada usia 39 tahun, Malcolm X tewas tertembak di Audubon Hall New York. Meskipun kehilangan ini merupakan pukulan besar bagi gerakan hak asasi manusia dan dunia Islam, warisannya tetap hidup dalam perjuangan untuk keadilan dan persatuan di seluruh dunia.