Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
ICC Jakarta – Menjelang Muktamar NU ke-33 di Jombang tahun 2015, muncul fenomena radikal jenis lain. Yakni, kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai NU Garis Lurus, yang secara radikal memusuhi seluruh kelompok yang berbeda dari dirinya. Kelompok ini digawangi oleh Ustad. Luthfi Bashori (Malang), Ustad Yahya al-Bahjah (Cirebon), dan Ustad Idrus Ramli (Jember).
Dengan gaya radikal, NU Garis Lurus menjelma gerakan neo-khawarij, yang menuduh sesat siapa saja yang menyimpang dari tafsir keagamaan versi dirinya, termasuk Gus Dur, M. Quraish Shihab, dan Kiai Said Aqil Siradj. Tokoh-tokoh NU Moderat ini tidak lepas dari cercaan mereka. Mencerca tokoh NU moderat sama persis dengan saat mencerca kelompok Jaringan Islam Liberal (Ulil Abshar Abdalla, dkk.).
Radikalisme neo-khawarij ini membuat jamaah Nahdliyyin terkocar-kacir. Bahkan, keberhasilan NU Garis Lurus menggalang jamaah sendiri terlihat jelas saat Pilpres 2019 tempo hari. Golongan kecil ini mendukung pasangan Prabowo-Sandi di kala mayoritas warga Nahdliyyin mendukung Jokowi-Amin. Visi awal NU Garis Lurus memang untuk menentang golongan mayoritas.
Dalam rangka menyerang NU Moderat, NU Garis Lurus mengangkat isu-isu lama, seperti permusuhan terhadap Syi’ah dan Ahmadiyah. Ironisnya, NU Garis Lurus terperdaya oleh kaum Wahhabi yang mentahrif atau mengubah teks kitab ar-Risalah karya Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Mbah Hasyim tidak memusuhi kelompok Syi’ah secara umum, tetapi khusus Syi’ah Rafidhah, yakni mereka yang memusuhi para sahabat Nabi.
Di Indonesia, kelompok Syi’ah Rafidhah itu tidak ada. Tetapi, karena terjebak oleh versi Wahhabi, NU Garis Lurus menyamakan seluruh Syi’ah tanpa mampu membedakannya dengan Rafidhah. Dari sinilah potensi destruktif aliran NU Garis Lurus terlihat nyata. Sehingga ia tak ubahnya dengan golongan radikalis Islam lainnya.
Watak destruktif dari aliran NU Garis Lurus ini sangat kentara. Dalam setiap dakwahnya, tuduhan kelompok di luar dirinya telah menyimpang, sesat, “tidak-lurus”, sangat mudah dijumpai. Bukan saja golongan Syi’ah, Ahmadiyah, bahkan tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Quraish Shihab, dan Kiai Said Aqil Siradj pun tidak lepas dari tuduhan telah berbuat menyimpang. Pemaknaan terhadap konsep Akidah Ahlus Sunah wal Jamaah dan teks-teks kitab karangan Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari ditafsiri sesuai perspektif kelompoknya.
Kehadiran NU Garis Lurus tidak lepas dari peran yang ingin dimainkannya, yakni anti-tesa terhadap aliran liberal yang digagas oleh anak-anak muda NU. Namun begitu, gerakannya yang terlalu ekstrim kanan membuat persoalan kebangsaan dan keagamaan semakin rumit. NU Garis Lurus hadir hanya untuk meramaikan persoalan dialektika internal NU dengan jalur dakwah puritanisasi.
Puritanisme adalah gerakan paham keagamaan yang memperjuangkan keaslian. Akhir abad 16 di Inggris, kaum puritan ingin memurnikan ajaran Katolik Roma dari ajaran-ajaran yang dianggap bukan dari Katolik. Di Timur Tengah terjadi pada abad ke-18, ketika aliran Wahhabisme dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Wahhabisme ingin membersihkan Islam dari ajaran-ajaran yang dianggap bukan dari Islam.
Dengan menyerang tokoh-tokoh besar NU seperti Gus Dur, Quraish Shihab, Said Aqil Siradj, NU Garis Lurus mengusung paham puritanisme. Terminologi “Garis Lurus” digunakan untuk ajaran puritanisme mereka. Yakni, mengebiri aspek-aspek keagamaan dan pemikiran di tubuh NU, yang menurut mereka tidak sejalan dengan ajaran Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.
Pengebirian ini pula tidak lepas dari konteks sosial-politik pada jamannya. Yaitu, kelompok NU Garis Lurus ini mengalami kekalahan telak pada Muktamar NU ke-33 tersebut. Idrus Ramli dan kawan-kawan hanya mendapatkan suara yang sedikit dan tidak masuk ke dalam kepengurusan struktural PBNU. Satu-satunya jalan adalah berbeda dengan NU Moderat melalui propaganda keagamaan, yang disebutnya Garis Lurus. Sehingga dalam perjalanannya, NU Garis Lurus akan terus menyerang PBNU baik dalam aspek keorganisasian maupun non-organisasi.
Siapa pun mau menyerang PBNU, sejatinya sudah difasilitasi, yakni dengan adanya media intelektual seperti tradisi Bahtsul Masail. Di sana semua urusan agama (fikih, akhlak, dan Aqidah) dapat dibicarakan secara akademik. Namun, NU Garis Lurus lebih sering su’ul adab (tidak beretika) dan mengabaikan diskusi terbuka di panggung Bahtsul Masail. Padahal, inilah kesempatan mereka duduk bersama dengan seluruh entitas kelompok dan aliran pemikiran yang ada dalam tubuh NU sendiri.
Jika NU Garis Lurus memang memperjuangkan kebenaran dan ilmu pengetahuan, bukan kekecewaan karena tidak mendapat kekuasaan dan struktur jabatan, semestinya menghindari tuduhan-tuduhan sepihak yang menyudutkan NU Moderat. Bahtsul Masail jangan ditinggalkan, supaya jamaah Nahdliyyin tidak jadi korban.
Jangan sampai menuruti hawa nafsu kekuasaan lalu tega hati melakukan penyelewengan dan penyempitan atas ajaran komprehensif-holistik dari Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Lembaga Bahtsul Masail adalah jalur formal yang bisa ditempuh jika NG Garis Lurus ingin ‘meluruskan’ apa yang mereka anggap ‘bengkok’ dalam tubuh NU.
Pada tanggal 9 Februari 1940 bertepatan dengan Muktamar NU ke-15 di Surabaya, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari mengatakan: “wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perkara furu’, di mana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala,” (Hasyim Asy’ari, al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan, hal. 33).
Fanatisme yang diusung NU Garis Lurus tidak saja memecah belah warga Nahdliyyin tetapi mengajari umat muslim untuk su’uzh zhon (berburuk sangka) atas NU. Hanya karena ada beda tafsir atas ajaran Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, NU Garis Lurus memisahkan diri dari jamaah.
Padahal, Hadratus Syeikh sendiri mengutip hadits Nabi saw yang berbunyi: “sungguh Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Tangan Allah ada di atas jamaah. Barang siapa yang menyingkir, dia menyingkir ke neraka (inallaha ya yajma’u ummati ala dhalaltin, wa yadullahi alal jama’ah, man syadzdza syadzdza ilan nari).” (HR. At-Turmudzi).
Riwayat lain menambahkan, “apabila terjadi perbedaan, maka berpihaklah pada mayoritas, yang berpegang pada kebenaran dan pengikut kebenaran (fa idza waqa’al ikhtilafu, fa ‘alaika bis sawadil a’zhami, ma’al haqqi wa ahlihi),” (HR. Ibnu Majah).
Dalam menafsiri hadits-hadits tersebut, Hadratus Syeikh mengatakan: “kita wajib mendorong saudara-saudara kita yang awam untuk menjaga persaudaraan, menjaga tali silaturahmi, berbuat baik pada tetangga, sanak famili, dan teman-teman; mencintai orang-orang lemah dan rakyat kecil, mencegah terjadinya saling memusuhi, saling hasut, pecah belah dalam beragama,” (Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah, hal. 14).
Karena NU Garis Lurus mengabaikan panggung Bahtsul Masail, mereka menyatakan diri penjaga ajaran murni Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Namun, dalam realitasnya malah mengkhianati ajaran-ajaran Hasyim Asy’ari sendiri. Yakni, memecah belah umat dan keluar dari jamaah NU dengan menciptakan kelompok kecilnya sendiri.
*Penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.