ICC Jakarta- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) H Masduki Baidowi menilai, persoalan di Xinjiang China yang melibatkan Muslim Uighur bisa dilihat dari dua sisi, yakni eksternal dan internal. Untuk sisi eksternal, itu bisa berkaitan dengan musuh-musuh China.
H Masduki menjelaskan, China sendiri memiliki banyak musuh. Terutama dalam perang dagang, yaitu Amerika Serikat (AS). Karena itu, muncul produksi gambar sedemikian rupa yang dialirkan melalui media sosial dan media massa untuk menggambarkan betapa Negeri Tirai Bambu itu sangat kejam terhadap umat Islam.
Baca juga:
- MUI : Konflik Uighur di Buat Agen USA, Agar Cina dan Islam Bermusuhan
- Di Anggap Bid’ah, Acara Maulid di Afganistan di Serang Bom Bunuh Diri
- PCINU Tiongkok : Penindasan Muslim Uighur Untuk Memberantas Gerakan Separtisme
“Yang membuat agen-agen Amerika Serikat. Itu untuk kepentingan lawan politiknya sekaligus bagaimana Cina dan Islam bisa menjadi bermusuhan,” jelasnya saat ditemui NU Online di Jakarta, Selasa (18/12).
H Masduki menambahkan, itu dilakukan oleh pihak-pihak yang merujuk kepada tesis yang dikembangkan Samuel P Huntington tentang benturan peradaban. Teori tersebut menyebutkan bahwa Islam dan China akan menjadi dua budaya besar dan akan mengancam dominasi Barat.
“Bubarnya Uni Soviet menjadi puncak sejarah (tesis Fukuyama) itu yang dibantah oleh Huntington. Tidak benar kalau itu adalah akhir sejarah. Karena kenyataannya, ada dua budaya besar yang akan mengancam terhadap kebudayaan Barat yang saat ini menjadi mainstream kebudayaan internasional dengan tiga aspek itu (ekonomi kapital, politik demokrasi liberal, dan HAM internasional),” terangnya.
Islam dan China sebagai dua kekuatan besaritu dijadikan ancaman. Keduanya ini yang akan diadu domba dalam konteks bagaimana AS perang dagang dengan China.
Sementara jika dilihat dari aspek internal, H Masduki menyatakan bahwa memang ada penekanan terhadap Muslim Uighur. Tetapi, tidak sepenuhnya benar jika represi pemerintah itu dilakukan secara terus-menerus hingga saat ini.
“Tetapi tidak seluruhnya benar kalau penekanan di Xinjiang itu adalah penekanan yang sifatnya represif terus sampai sekarang,” katanya.
Hal ini, imbuhnya, bisa dilihat dari keterangan Muslim Council yang menyatakan bahwa sebenarnya masyarakat di wilayah tersebut biasa saja, tidak ada penekanan sebagaimana diberitakan di luar. Di samping itu, dalam sejarahnya, sekelompok Muslim Uighur juga pernah melakukan pemberontakan.
“Pemberontakan yang dipengaruhi oleh ekstrim keras itu kemudian memberontak. Itu yang sedang ditangani oleh Muslim China,” katanya.
Solusi atas persoalan Muslim Uighur
Menurut H Masduki, pemerintah China harus memperhatikan aspek-aspek hak asasi manusia (HAM) dalam menangani Muslim Uighur di Xinjiang. Ini penting mengingat China merupakan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sudah seharusnya China patuh dengan ketentuan PBB, terutama dalam menjaga hak-hak masyarakatnya. Termasuk hak untuk beribadah.
Selain itu, lanjutnya, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri perlu terus aktif memantau perkembangan peristiwa itu. Meskipun tidak bisa mencampuri persoalan domestik China tersebut, namun Indonesia bisa menjalankan diplomasinya tanpa menyinggung urusan tersebut secara jauh.
“Indonesia punya UUD dengan pembukaannya yang menekankan aspek kemerdekaan, bahwa kemerdekaan semua bangsa adalah aspek tujuan bersama,” katanya.
H Masduki juga menilai, Indonesia perlu melakukan koordinasi dengan negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim lain untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan umat Islam di seluruh dunia.
“Kalau kita jarang bertemu, bersilaturahim itu akan susah. Akhirnya banyak sekali Muslim terabaikan,” tuturnya.