ICC Jakarta – Terdapat sebuah pertanyaan bahwa apabila semua kebaikan berasal dari Tuhan dan ketika Allah berfirman kepada Nabi Muhammad saw:
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ ۚ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ رَمَىٰ
وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلَاءً حَسَنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Maka, bagaimana manusia mampi menentukan takdir dan amalannya? Jika demikian, maka bagaimana dengan pahala yang diberikan Allah kepada manusia? Apabila perbuatan baik itu dilakukan oleh Allah dan pahala juga diberikan oleh-Nya, maka apa peran manusia?
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa penisbatan kebaikan kepada Allah bukanlah bermakna pencabutan usaha dari manusia karena manusia memiliki usaha dan manusia memiliki kekuatan untuk memilih dan berikhtiar. Apabila ia menerima cahaya Tuhan dan petunjuk-petunjuk-Nya maka ia akan menjadi seorang mukmin dan ia akan dicintai oleh Allah dan apabila menolak bimbingan Tuhan, maka ia akan kafir. Iman dan kafir adalah pilihan manusia. Apabila ia menerima bimbingan dari Allah maka ia akan menjadi seorang mukmin. Kafir adalah adanya batas dan sekat antara manusia dan Tuhannya.
Apabila kita menerima kehadiran Tuhan dalam hati, maka segala amalan akan memiliki warna-warna Ilahi, kepribadian dan ruh manusia akan dipenuhi dengan nilai-nilai ke-Ilahian.
Namun, jika setan yang hadir dan menjadi tamu dalam diri seseorang, maka sejatinya segala keburukan akan masuk ke hati manusia. Ia akan memiliki sifat-sifat suka berdusta, benci, balas denda, zalim dan akhlak-akhlak buruk lainnya. Hati manusia mukmin merupakan kediaman Tuhan, bukan kediaman setan dan tidak seharusnya tamu yang tidak diundang memasuki hati manusia. Allah tidak menciptakan manusia bercampur dengan setan dan tidak sedikit pun wujud manusia berada dalam wujud setan.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (Qs. al-A’raf: 17)
Setiap manusia dilahirkan suci ke dunia, meskipun ayah dan ibunya adalah seorang kafir.
«كلُ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ»
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. (Bihar al-Anwar jil. 3 hal. 281, bab 11, hadis 22)
Di samping manusia dilahirkan secara fitrah sebagai suci, Allah juga memberikan ikhtiar kepada manusia. Dengan ikhtiar dan usaha yang dimiliki oleh manusia, seseorang bisa memilih apakah hendak menjadikan Tuhan sebagai maulanya dan akan memperoleh kebahagiaan hakiki ataukah ia akan menjadikan setan sebagai maulanya dan akan menuai kerugian.
Bulan Ramadhan adalah kesempatan yang sangat baik untuk menjadikannya sebagai sarana mengembalikan fitrah manusia. Fitrah manusia yang idealnya mengikuti Tuhannya dan menjauhkan diri dari setan. Jika dalam bulan Ramadhan ini, manusia menjadikan Tuhan untuk mendiami hati manusia, maka akan terbebas dari godaan setan. [SZ]