ICC Jakarta – Islam sebagai doktrin, telah disempurnakan Tuhan di arena suksesi kepemimpinan Nabi saw di Ghadir Khum. Imam Ali telah dilantik untuk mengemban misi sosiologis dan peradaban yang baru. Badai memang selalu ada di samudera sosial, bukan pada debat teologis dan kajian-kajian kitab suci.
Bara yang menyalakan api peradaban mendapat perlawanan. Upaya memadamkan cahaya ini demikian kuat, sistematis, dan amat kasar. Muharram tahun 61 H membara. Pertentangan kelas muncul disertai kerancuan teologis yang amat kusut. Dinasti Umayyah memadamkan api Islam. Masyarakat kembali pada suasana tribalisme.
Asyura, monumen sejarah berdarah paling memilukan. Suara parau Husain bin Ali bin Abi Thalib diabaikan justru di tengah kesadaaran publik akan hancurnya pondasi peradaban Islam masa depan. Beliau harus meregang nyawa di hadapan serdadu bersenjata lengkap dalam suatu laga yang tak seimbang. Dr. Mortaza A. S. Hammada melihat peristiwa ini sebagai penindasan struktural. Perlawanan Al-Husain tak lain adalah bangkitnya kelas terlemahkan di hadapan keangkuhan aristokrat Umayyah yang saat itu dikomandoi Yazid putra Muawiyyah.
Dalam perspektif filsafat agama kejadian 10 Muharram 61 Hijriah memberikan peneguhan betapa kebangkitan Imam Husain bukan suatu peristiwa historis biasa. Dr. Jalaluddin Rakhmat yang menguraikan Asyura dari perspektif filsafat agama menerangkan bahwa selama masih ada peringatan Asyura dalam masyarakat muslim maka ia tidak akan hancur oleh alienasi sosial sekalipun. Beliau mengutip Ninian Smart, penulis Skotlandia menyatakan bahwa untuk dapat disebut agama di dalamnya harus sda konsepsi keyakinan terhadap yang gaib.
Roderick Ninian Smart setelah memodifikasi pendapat Glock tentang ciri agama yakni keterhubungan dengan yang gaib, “The invisible world” dengan menegaskan adanya tujuh dimensi, yakni; ritual, mitological atau narrative, ethical atau legal, social, experiencial atau emotional, doctrinal, material. Asyura menurut Kang Jalal, begitu beliau dulu akrab disapa, berdasarkan kriteria tersebut peringatan Asyura menegakkan ketujuhnya sekaligus. Inilah rahasia keabadian Asyura dan sekaligus akan menjamin Islam ini tetap ada sepanjang masa.
Senada dengan itu, Habib Husein Shahab, MA., mempertegas mengenai keabadian Asyura. Pengorbanan Imam Husan bin Ali bin Abi Thalib akan senantiasa hidup dalam diri setiap kaum beriman. “Inna qatlal-Husayn laharatun fi qulubil mukminin, la tathfauha abada”. Peristiwa gugurnya beliau selalu membangkitkan bara yang menghangatkan dan takkan pernah padam.
Ustadz Miftah F. Rakhmat, Lc. mempertegas kembali tentang dimensi spiritual peristiwa Asyura bahwa keyakinan yang tak tergoyahkan pada diri Imam Husain dan pengikutnya sama halnya dengan peristiwa bermalamnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib di tempat tidur Nabi saw pada malam hijrah. Menurut Ust. Miftah seluruh perjalanan Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib dari Madinah ke Mekkah lalu ke Karbala berdimensi spiritual.
Dapat juga disebut bahwa seluruh fragmen Asyura bahkan kisah kafilah Zainab salamullahi alaiha ke Damaskus berdimensi spiritual. Tatkala era ini diwarnai oleh tren hijrah, sebuah anjuran untuk melakukan perubahan sosial, maka melupakan atau sekadar mengabaikan inspirasi Asyura adalah kesia-siaan. Ust. Muhammad Rusli Malik menguraikan bahwa hijrah adalah spirit yang bergandeng dengan kesungguhan. Pengakuan keimanan saja tidaklah memadai kecuali dengan berhijrah ke jalan Allah. Ust. Rusli menjelaskan bahwa hakikat hijrah di era Nabi saw adalah berpindah dari luar wilayah Nabi saw ke dalam wilayahnya. Demikian jugalah dalam peristiwa Karbala, hijrah adalah perpindahan dari luar wilayah Al-Husain ke dalam wilayahnya. Kini di era kita, kita pun seharusnya melihat hijrah sebagai perpindahan kita memasuki wilayah Ahlulbait, pelanjut risalah Nabi saw.
Semangat hijrah dapat membentuk sistem pelayanan sosial yang baik sebab konsep wilayah adalah konsep perlindungan. Ini erat kaitannya dengan desain politik kemasyarakatan, keumatan, dan kerakyatan yang setiap saat ada.
Itu sebabnya, politik Islam kontemporer yang mengambil inspirasi Asyura akan merekonstruksi kekuatan religiositas yang terus hidup. Dr. Husain Heryanto membenarkan hal ini dalam salah satu sesi yang membahas Asyura dalam tinjauan politik modern.
Mewariskan semangat Asyura kepada generasi berikutnya adalah sesuatu yang amat penting. Dr. Majid Hakiemillahi sejalan dengan pendapat bahwa Asyura mengandung suatu nilai yang amat perlu dikembangkan untuk generasi muslim berikutnya. Lembaga yang paling tepat untuk pewarisan ini adalah keluarga. Menguatkan keluarga muslim adalah tugas terpenting kita saat ini.
Peran perempuan untuk tujuan ini sangat penting. Peran Zainab dapat dikonstruksi sebagai pilar kekuatan untuk merawat konsistensi semangat Karbala. Zainab adalah sosok yang mempertahankan spirit Islam dengan hujjah yang jelas dsn tegas di hadapan penguasa ketika tiba di istana Yazid di Damaskus. Ustadzah Euis Daryati yanh menguraikan relevansi peran perempuan dalam proses pewarisan spirit Karbala mengakui bahwa hal ini adalah tantangan yang amat berat. Peran perempuan tidak kalah pentingnya dalam persiapan generasi baru yang tetap kokoh dalam semangat syahadah dan kebangkitan baru.
Era baru memperlihatkan suatu fenomena pergeseran budaya yang sangat drastis bahkan dramatis. Bisa jadi generasi kita yang alam aslinya adalah teknologi infotmatika yang canggih dan dipercanggih secara eksponensial dalam waktu yang sangat singkat justru mengancam generasi muda muslim. Dalam pembahasannya mengenai “Asyura Kontemporer; Refleksi Nilai Asyura bagi Generasi Milenial”, Sayyed Musa Kazhim, M.Si. mengenalkan bahaya baru yang menggerus akidah. Generasi milenial tanpa sadar sedang diseret ke dalam ateisme baru. Diperlukan kebangkitan baru yang merefleksikan proses pendalaman semangat Asyura sebagai transformasi pengetahuan dan sikap sedemikian, sehingga generasi milenial memiliki ketahanan ideologis yang memadai.
Rangkaian diskusi dalam SC ini membawa satu pertanyaan menganai falsafah kebangkitan Imam Husain. “Falsafah Kebangkitan Imam Husain” adalah topik yang dibahas oleh Dr. Muhsin Labib, MA. Beliau mengangkat diskursus mengenai kebangkitan Asyura karena suatu pengenalan yang mendalam mengenai misi kebenaran, pandangan dunia, bahkan otoritas Tuhan yang didelegasikan kepada Nabi Muhammad saw. Kebangkitan ini buksn sesuatu yang reaktif atas fenomena sosial belaka. Itu sebabnya juga orang yang memperingati Asyura hanya karena bereaksi atas penindasan seseorang terhadap orang lain tidaklah menunjukkan kedalaman falsafi dari kebangkitan pada Asyura kecuali didahului dengan pandangan dunia yang kokoh. Pandangan dunia ini memberi penjelasan mengenai nilai yang harus dibela hingga makna kepatuhan beserta otoritas yang harus dipatuhi. Itulah pandangan dunia yang mrnyebabkan seseorang rela mengorbankan dirinya. Itulah bara Muharram dalam konteks sosiologis, yakni Muharram yang di dalamnya ada Asyura. Asyura sebagai konsep yang secara pandangan dunia Islam dapat menjadi alasan paling paripurna untuk menggerakkan kebangkitan baru seperti kebangkitan yang diperankan oleh Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Lebih lengkapnya silakan melihat langsung di Chanel Youtube ICC Jakarta TV atau Group FB ICC Jakarta
Wallahu a’lam bisshawab.
(Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Riset ICC Jakarta)