ICC Jakarta – Dr. Muhsin Labib, M.A. mewakili Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI) menghadiri undangan sebagai narasumber dalam “Conference on Religion Journalism: Reporting Religion in Asia” di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang, 18 Oktober 2017.
Beberapa narasumber lain mewakili komunitas agama dan keyakinan juga hadir dalam forum yang diikuti kalangan aktivis dan jurnalis media-media nasional dan luar negeri ini. Mereka dihadirkan untuk berbagi pengalaman terkait pemberitaan media tentang komunitas keagamaan dan keyakinannya. “Bagaimana pengalaman berhubungan dengan media selama ini dan apa yang diharapkan?” Tanya moderator kepada semua narasumber.
Dr. Muhsin Labib menilai pemberitaan media, khususnya terkait Syiah, tidak berimbang. “Apalagi memang ada ribuan website yang bekerja khusus untuk menyerang Syiah, dan itu tidak diimbangi oleh media-media mainstream yang ‘ingin aman.’ Saya bukan menyatakan intoleran, tapi ‘ingin aman,’” katanya. Menurutnya sikap mencari aman itu muncul karena banyaknya tekanan-tekanan yang akan dihadapi jika bersikap proporsional atau bahkan ingin membela Syiah.
Kurangnya independensi dan kesiapan untuk menerima risiko dari tekanan-tekanan ini, menurutnya membuat banyak hak-hak sesama anak bangsa yang terabaikan. Seperti halnya warga Syiah Sampang misalnya, hingga saat ini nasib mereka terkatung-katung dalam pengungsian karena kurang mendapat perhatian dari media dalam memperjuangkan hak-haknya. “Kita peduli terhadap Rohingnya itu bagus. Peduli dengan masyarakat-masyarakat lain juga bagus, karena itu sebuah humanisme tidak dibatasi ruang dan waktu dan teritori. Tapi kita harus sadar bahwa ada penjajahan di negeri kita sendiri,” terang Muhsin Labib.
“Banyak pula pemikir-pemikir dari komunitas Syiah di Indonesia yang tidak dihadirkan sebagai narasumber, padahal mereka cukup terdidik dan memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi. Tapi akses-aksesnya ditutup sehingga mereka akhirnya mendekam di sudut-sudut yang tidak pernah mendapatkan akses dan ini sudah banyak kita temukan,” imbuhnya.
Tragedi media
Lebih lanujut dijelaskan, Syiah mempunyai kaitan konstalasi global karena itu selalu menarik untuk untuk disesatkan di kafirkan. “Untuk bisa diserang dikafirkan dahulu,” ucap Muhsin Labib. Ia memberikan contoh dalam kasus pemberitaan Presiden Suriah, Bashar Assad. Bashar Assad adalah seorang yang sangat sekuler. Beliau bukan orang yang religious. Bahkan sebagian Menterinya adalah orang Kristen dan ia sangat terbuka. Tapi media-media intoleran sepertinya berjamaah dengan media mainstream soal Bashar Assad. “Padahal beliau ini justru memberi hak kepada kelompok minoritas dan sangat toleran terhadap kelompok minoritas Kristen dan lainnya. Persoalannya adalah bahwa dia dituduh sebagai Syiah agar dengan itu ia legal untuk dihancurkan. Itu yang saya rasa cukup menggambarkan tragisnya persoalan ini. Dan ini adalah tragedi media menurut saya.” Ungkapnya.
Kesadaran tentang informasi
Kesadaran orang tentang informasi, tentang toleransi, menurutnya saat ini makin besar, sehingga muncul menjelaskan secara objektif tentang Syiah, dari kalangan di luar Syiah, dan itu akan lebih efektif. “Meskipun biasanya mereka dituduh sebagai Syiah, seperti Prof. Quraish Shihab, Prof. Said Aqil Siradj, dan tokoh-tokoh seperti Buya Syafi’i Maarif, dan tokoh-tokoh lainnya.”
“Termasuk Menteri Agama dituduh Syiah, Jokowi dituduh Syiah, dan kalau dihitung-hitung banyak tokoh Syiah hanya karena tidak menyesatkan Syiah. Bahkan Ahok kalau tidak salah sudah pernah diindikasikan Syiah,” ujarnya disambut gelak tawa hadirin.
Proporsional dalam pemberitaan
Dr. Muhsin Labib melanjutkan, bahwa Syiah adalah sebuah khazanah peradaban yang komprehensif dan melahirkan banyak filosof, pemikir-pemikir, dan teolog-teolog. Syiah tidak bisa selesai dipahami dengan sebuah informasi sekilas, lalu menyikapi dengan sedikitnya informasi yang didapat. Itu yang sering orang salah.
Kemudian ketika media bicara tentang Syiah, sebenarnya cukup dengan diberitakan secara proporsional. Masalahnya, yang sering terjadi ketika ada seseorang atau satu peristiwa biasa tapi kebetulan orangnya adalah Syiah, atau ada kaitannya dengan Syiah, yang disoroti adalah Syiahnya. “Beberapa waktu lalu di Halmahera (terkait kasus krimanal), bahkan tidak ada hubungannya dengan Syiah, kebetulan namnya sama Ja’fariah, tapi yang diekspose adalah Syiahnya,” ujarnya. Pemberitaan semacam ini tentu tidak berimbang jika dibandingkan kasus kriminal kebanyakan yang tidak pernah menyeret agama dan keyakinan pelakunya. Karena sebuah tindakan kriminal bisa dilakukan siapa saja dan tentu itu tidak mewakili agama yang dianutnya.