Meski sudah jadi orang nomor satu Hamas, Sinwar tidak memilih hidup enak, tetap berada di tengah medan tempur dan hadapi kematian.
Meski ditawari keluar dari Gaza dan jauh dari kematian, Sinwar tidak mencari hidup nyaman dan enak sendiri.
Sinwar mengambil posisi jauh dari zona aman pengungsian agar tidak ada korban sipil dan membantah tuduhan Israel bahwa dia berlindung di balik selimut sipil.
Kematian syahidnya adalah kehidupan syahidnya; mati di medan tempur hanyalah ekspresi dari kata-kata kesyahidan sepanjang hidupnya. Dia sudah syahid sebelum mati syahid.
Dari sejawat Sinwar asal Iran, jenderal yang syahid pada 2000, Qassem Solaemani, “Syarat mati syahid adalah hidup syahid.” Sebaliknya juga benar, orang yang hidupnya tidak seperti pejuang syahid tidak akan mati syahid.
Sinwar menemukan hakikat kehidupan dalam makna kematian. Bukan karena kenal nama-nama filosof dan karya mereka, tetapi menghidupkan esensi filsafat paling primitif dan autentik dari Plato dan Al-Kindi yang diabaikan oleh “semua” filosof sekarang: filsafat adalah al-inayatu bi al-maut, peduli, cinta mati, dan cinta kematian.
Filosof bukan pandai menaklukkan kerumitan dan mengajarkan teks al-asfar, al-syifa’, metaphysics, dan Being and Time, tapi santri hauzah yang berpesan kepada istri tercinta, “Bila wali-ku, tuanku, dibunuh, aku berangkat!”
Syahid sendiri bahkan dialah wali. Seseorang itu wali dan arif ilahi saat melihat kematian adalah kehidupan, saat derita adalah bahagia, saat cucu remaja Nabi SAW, Qassem putra Sayyidina Hasan berkata kepada pamannya, Sayyidina Husain, “Kematian lebih manis daripada madu”, saat ayah mereka semua, Ali bin Abi Thalib, bermunajat, “Tuhanku! Aku bersabar di atas panasnya neraka-Mu asal tidak berpisah dari-Mu.”
Semua ini agar kita sekedar tahu diri, gnouthi seauton!
Polisinstitute