ICC Jakarta – Ratusan pesawat jet tempur menggempur. Kota-kota hancur lebur. Puluhan ribu manusia meregang nyawa, sedang jutaan lainnya menghadapi kelaparan yang tidak kunjung reda. Begitulah kira-kira gambaran kondisi Yaman terkini.
Beberapa negara bergabung dengan Arab Saudi membombardir kota yang dikuasai Houthi, pihak oposisi. Sementara Indonesia enggan mengekor bersama negara-negara Muslim lain.
Direktur Indonesian Muslim Crisis Center, Robi Sugara menyampaikan tiga alasan kenapa masyarakat Muslim saat ini tidak bersuara.
Pertama, isu perdamaian dan kemanusiaan belum populer di kalangan Muslim. Hal ini berdampak pada pandangan mereka yang melihat konflik hanya dari sisi Muslim dan non-Muslimnya.
“Isu-isu perdamaian di masyarakat Muslim itu belum populer sehingga yang dilihat bukan dari sisi kemanusiaannya, tetapi dari sisi Muslim atau non-Muslimnya,” kata Robi, Selasa (10/1).
Pria asal Karawang itu mencontohkan kasus Yerusalem dan Rohingya. Konflik Yerusalem begitu hebatnya menarik respons dunia, tak terkecuali Indonesia. Bahkan Organisasi Kerja sama Islam (OKI) membuat pertemuan khusus guna membahas kota suci itu.
Menurutnya, hal tersebut dilatarbelakangi pandangan masyarakat Muslim yang melihat pelaku kekerasannya adalah non-Muslim. Pun dengan Rohingya. Muslim dunia melihatnya sebagai konflik antara Muslim dan non-Muslim.
“Kenapa di Myanmar berisik sekali karena pelaku kekerasannya non-Muslim. Kenapa di Palestina berisik karena aktornya non-Muslim,” ujarnya.
Kedua, konflik antaraliran dalam suatu agama dianggap sebagai perselisihan biasa. Sebab itulah, Yaman tak dipedulikan oleh dunia. Konflik yang terlihat di negara tersebut adalah konflik Sunni dan Syiah, konflik dalam agama. Hal ini yang tidak menarik mata dunia untuk melihatnya.
“Ketika Muslim saling berantem gitu, saling bunuh-bunuhan misalkan, itu dianggap sebagai sebuah perselisihan,” katanya.
Faktor ketiga, diamnya Muslim dunia atas konflik Yaman adalah karena posisi Sunni sebagai pihak yang menyerang Syiah atau posisi Syiah sebagai pihak yang tertekan.
“Yaman seakan respons dari Suriah,” begitu kata Robi. “Di Suriah kenapa ramai, karena masyarakat Indonesia umumnya Muslim Sunni. Narasi yang dikembangkan adalah Sunni dibantai oleh Syiah. Itu yang dinarasikan sehingga timbul kepedulian,” ujarnya.
Masalahnya, Houthi berlindung di pemukiman sipil. Dampaknya, saat penyerangan dilakukan, maksud menyerang oposisi itu, tetapi masyarakat sipil juga menjadi korbannya. Tak heran, jika ribuan nyawa melayang.
Hal itu pula yang menyiratkan bahwa perang di Yaman ini, Arab Saudi mendapat dukungan dari negara besar. Sebab, penyerangan yang bisa dianggap kejahatan kemanusiaan itu tidak ditindak oleh PBB.
Persaingan antara Arab Saudi dan Iran menjadikan Yaman sebagai korbannya. “Kalau sekiranya misalkan Yaman kecaplok sama Houthi dan itu Syiah, itu otomatis akan jadi aliansinya Iran. Secara otomatis, perdagangan minyak mudah dikonsolidasi,” kata Robi.
Hal ini yang mungkin dikhawatirkan oleh Israel dan Amerika sebagai pihak yang berseberangan dengan Iran.
Belum ada solusi
Meskipun saat ini Iran tengah menghadapi konflik internal, Houthi tidak akan terpental. Ia tidak bakal mundur selangkah pun. Robi melihatnya sebagai kelompok militan yang kuat meski tanpa dukungan Iran.
Untuk mengatasi konflik yang tak berkesudahan itu, September lalu, Presiden Hadi menyampaikan bahwa tidak ada solusi lain selain perang.
Negara-negara Muslim belum banyak berkontribusi dalam pendanaan untuk perdamaian. Begitupun orang-orang kaya Muslimnya.Tercatat, “10 terbesar penyumbang dana perdamaian di PBB tidak ada negara Muslim,” kata Robi.
Selain itu, masyarakat sipil juga tidak bisa berbuat banyak. Terlebih di Timur Tengah yang demokrasinya masih belum matang. Hal itu juga karena tidak didukung dengan logistik yang kuat.
Alumnus Universitas Teknologi Nanyang Singapura itu menyatakan bahwa negara besar tidak mau turut campur. “Negara besar gak mau ikut campur karena takut terganggu perdagangannya di dunia,” katanya.
Penyelesaian ini harusnya melibatkan negara-negara Muslim. Namun, hal ini, dalam pandangan Robi, terkendala dengan kekhawatiran negara dianggap sebagai pendukung Houthi dan Iran.
Indonesia dalam hal ini belum kuat untuk membantu mengatasi konflik tersebut mengingat masih banyak penduduk Indonesia yang menjadi tenaga kerja di Arab Saudi.
Paling mungkin, menurut Robi, Yaman kembali dibagi menjadi dua. “Siapa yang mau jadi mediatornya?” tanyanya. (Syakir NF/Fathoni-Nu Online)