Pendahuluan
Kata kebudayaan mungkin terdengar akrab di telinga kita, apalagi di era globalisasi dan media sosial yang begitu cepat membentuk gaya hidup. Namun, jika ditanya “apa itu kebudayaan?”, sering kali kita bingung menjawabnya secara tepat. Faktanya, lebih dari 160 definisi tentang kebudayaan pernah dicatat dalam berbagai ensiklopedia dan kajian ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan adalah fenomena kompleks, melibatkan aspek spiritual, fisik, sosial, hingga moral manusia.
Pemikir besar asal Iran, Muhammad Taqi Ja‘fari, memberikan pandangan menarik tentang perkembangan kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan bukan sekadar gaya hidup atau tren, melainkan sebuah proses evolusi kesadaran manusia menuju kesempurnaan. Artikel ini akan menguraikan bagaimana kebudayaan berkembang, faktor yang memengaruhinya, hingga tantangan yang dihadapi generasi kita hari ini.
Definisi Kebudayaan Menurut Muhammad Taqi Ja‘fari
Ja‘fari mengusulkan definisi komprehensif:
Kebudayaan adalah atribut yang diperlukan bagi kegiatan fisik atau mental manusia, berdasarkan logika dan perasaan yang baik, yang muncul secara evolusioner dari gaya hidup yang disadari dan bijaksana.
Definisi ini menekankan bahwa kebudayaan bukan hanya hasil karya atau benda, tetapi juga kualitas batin manusia. Ia memiliki dua sisi:
- Internal – berupa kesadaran, nilai, dan tatanan spiritual.
- Eksternal – berupa perilaku, karya seni, ilmu pengetahuan, hingga institusi sosial yang bisa diamati.
Artinya, kebudayaan adalah cerminan dari apa yang ada di dalam diri manusia sekaligus apa yang tampak dalam kehidupan sehari-hari.
Empat Prinsip Utama Kebudayaan
Ja‘fari menekankan empat prinsip dasar yang wajib ada dalam sebuah kebudayaan:
- Berakar pada logika dan perasaan luhur.
Setiap elemen kebudayaan harus lahir dari rasionalitas sehat dan kepekaan hati. Jika suatu tren hanya menuruti egoisme atau hedonisme, maka itu bukanlah kebudayaan sejati, melainkan anti-kebudayaan.
- Memberi makna pada kehidupan.
Tanpa kebudayaan, hidup manusia akan kering dari makna, semangat, dan kecerdasan.
- Bertahan di atas fondasi kuat.
Kebudayaan yang dibangun di atas wawasan mendalam akan lebih tahan lama daripada budaya yang hanya ikut-ikutan.
- Memiliki aspek absolut dan relatif.
Aspek absolut mencakup nilai universal seperti menghargai keindahan, menghormati sesama, dan menuntut ilmu. Aspek relatif muncul dari kondisi khas suatu masyarakat, seperti tradisi lokal atau adat tertentu.
Prinsip-prinsip ini relevan bagi Gen-Z dan masyarakat urban masa kini. Misalnya, tren digital seperti TikTok bisa disebut bagian dari kebudayaan jika ia mendorong kreativitas, edukasi, dan solidaritas. Sebaliknya, jika hanya memicu narsisme dan penyebaran hoaks, maka itu justru anti-kebudayaan.
Kebudayaan Pionir vs Kebudayaan Peniru
Ja‘fari membedakan dua bentuk besar kebudayaan:
- Kebudayaan Peniru
Kebudayaan ini lahir dari keinginan sesaat, tren, atau tekanan eksternal. Ia bisa berbentuk:
- Statis – hanya mengulang tradisi lama tanpa inovasi.
- Cair – mudah berubah mengikuti mode tanpa arah.
- Berorientasi diri sendiri – menjadikan teknologi atau ekonomi semata sebagai tujuan, bukan alat menuju kehidupan bermakna.
Contohnya bisa kita lihat dalam gaya konsumtif masyarakat modern: belanja demi gengsi, mengejar popularitas digital tanpa substansi, atau penggunaan teknologi yang memperbudak manusia alih-alih membebaskannya.
- Kebudayaan Pionir
Inilah kebudayaan yang ideal. Ia bersifat dinamis, progresif, dan berlandaskan prinsip kemanusiaan sejati. Ciri-cirinya antara lain:
- Mengedepankan kasih sayang, kejujuran, dan kerja sama.
- Menghormati ilmu pengetahuan sebagai jalan pencerahan.
- Mendorong seni yang konstruktif dan orisinal.
- Mewujudkan keadilan sosial serta kesejahteraan bersama.
Kebudayaan pionir muncul ketika manusia tidak hanya mengejar kebutuhan material, tetapi juga mencari makna hidup dan tujuan yang lebih tinggi. Misalnya, gerakan global untuk keberlanjutan (sustainability movement) dapat dilihat sebagai kebudayaan pionir karena berangkat dari kesadaran kolektif akan tanggung jawab manusia terhadap bumi.
Aspek-Aspek Kebudayaan
Setiap kebudayaan memiliki dua aspek besar:
- Aspek yang terlihat – berupa artefak, teknologi, seni, mode, dan perilaku sehari-hari. Misalnya, arsitektur kota, tren musik, atau gaya komunikasi digital.
- Aspek yang tidak terlihat (jelas) – berupa cita-cita, emosi, moral, dan tujuan hidup yang menjadi ruh dari kebudayaan tersebut.
Sering kali, masyarakat modern terjebak pada aspek luar yang terlihat, tetapi melupakan ruh kebudayaan. Padahal, justru aspek batin inilah yang menentukan apakah suatu budaya membawa manusia menuju kemajuan sejati atau hanya ke dalam jurang kehampaan.
Prinsip Kebudayaan Pionir
Menurut Ja‘fari, ada beberapa prinsip utama yang membuat kebudayaan pionir mampu bertahan dan berkembang:
- Pencarian kesempurnaan – manusia selalu terdorong untuk berkembang, memperbaiki diri, dan mencapai kualitas hidup lebih tinggi.
- Kasih sayang universal – budaya sehat tidak mungkin lahir tanpa cinta dan solidaritas.
- Pemenuhan kehidupan layak – setiap manusia berhak mendapatkan hak dasar yang adil.
- Harmonisasi empat hubungan:
- Manusia dengan dirinya sendiri.
- Manusia dengan Tuhan.
- Manusia dengan alam semesta.
- Manusia dengan sesamanya.
Bagi generasi muda perkotaan, prinsip ini bisa diwujudkan dalam bentuk gaya hidup sehat, keseimbangan antara karier dan spiritualitas, kepedulian lingkungan, serta keterlibatan sosial yang positif.
Keragaman Kebudayaan: Harmoni atau Konflik?
Pertanyaan penting berikutnya: apakah mungkin berbagai kebudayaan hidup berdampingan?
Ja‘fari menjawab: ya, selama ada kesamaan prinsip dasar. Misalnya, agama-agama samawi (Islam, Kristen, Yahudi, Zoroastrian, dan Sabiin) bisa hidup harmonis karena sama-sama meyakini asal-usul ilahi, martabat manusia, dan kehidupan setelah mati.
Namun, bila perbedaan terlalu mendasar, terutama dalam memaknai tujuan hidup, kebudayaan bisa saling bertabrakan. Inilah yang sering kita lihat dalam benturan ideologi, perang budaya, atau polarisasi di media sosial.
Kuncinya adalah mencari titik temu: nilai universal yang berguna bagi kehidupan fisik dan mental manusia. Misalnya, meskipun gaya hidup Gen-Z Jakarta berbeda dengan generasi tua di pedesaan, keduanya bisa dipersatukan oleh nilai bersama seperti keadilan, kasih sayang, dan keinginan akan kehidupan yang lebih baik.
Tantangan Kebudayaan Modern
Dalam konteks globalisasi dan digitalisasi, ada sejumlah tantangan kebudayaan yang kita hadapi:
- Komersialisasi budaya – budaya sering direduksi menjadi produk pasar, kehilangan makna spiritualnya.
- Krisis identitas – generasi muda mudah terjebak dalam budaya peniru karena gempuran media sosial.
- Ketimpangan sosial – kebudayaan pionir sulit berkembang jika masih ada ketidakadilan ekonomi.
- Degradasi lingkungan – tanpa kesadaran ekologis, kebudayaan bisa justru menghancurkan peradaban itu sendiri.
Namun, di balik tantangan ini juga ada peluang besar: teknologi bisa menjadi alat mempercepat penyebaran kebudayaan pionir, asalkan digunakan dengan bijak.
Menuju Kebudayaan Sejati
Muhammad Taqi Ja‘fari mengingatkan bahwa tujuan akhir kebudayaan adalah membantu manusia menemukan jawaban atas pertanyaan eksistensial:
- Siapa aku?
- Dari mana aku berasal?
- Mengapa aku ada di sini?
- Ke mana aku akan pergi?
Kebudayaan yang mampu memberikan jawaban mendalam atas pertanyaan ini adalah kebudayaan sejati. Sebaliknya, budaya yang hanya memuaskan hasrat sementara akan cepat hilang ditelan waktu.
Kesimpulan
Kebudayaan bukan sekadar gaya hidup atau warisan tradisi, tetapi sebuah proses pencarian makna yang terus berkembang. Menurut Muhammad Taqi Ja‘fari, kebudayaan yang sejati adalah kebudayaan pionir—yang berakar pada logika dan perasaan luhur, memberi makna hidup, bertahan di atas fondasi kuat, dan menjunjung nilai universal.
Bagi generasi perkotaan dan Gen-Z, memahami kebudayaan berarti menyadari peran kita dalam membangun dunia yang lebih adil, penuh kasih, dan berkelanjutan. Pertanyaannya sekarang, apakah kita ingin menjadi sekadar peniru tren, ataukah pionir kebudayaan yang meninggalkan jejak bermakna bagi peradaban?
(Diterjemahkan dari Mystery of Life: A Secret Inside Secrets, Bab How Does Culture Develop? karya Muhammad Taqi Ja’fari, terbitan Allameh Ja’fari Institute, Tehran, 2005)