ICC Jakarta – Bumi ini adalah satu-satunya planet yang dihuni manusia. Sehingga, sejatinya, bumi adalah milik bersama. Semua manusia harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan kehidupan, dengan segala pendukung-pendukung ekologi dan ekosistemnya, di muka bumi ini.
Oleh: Muhammad Rusli Malik
Untuk tujuan itu, ajaran Islam mencatat tiga prinsip kemanusiaan paling penting. Pertama, berlomba-lomba melakukan kebaikan (fastabiqul khairaat). Yakni berlaku proaktif untuk mengambil bagian dalam mengaktualkan secara positif dan optimal potensi dirinya. Demi aktualisasi diri itu, tiap manusia membutuhkan jaminan ruang gerak dan durasi usia.
Di titik ini, merampas ruang gerak dan menutup durasi usia seseorang, misalnya memenjarakan tanpa proses peradilan yang jujur dan terbuka, akan melahirkan patologi sosial. Dampaknya: pembusukan tatanan masyarakat dan fosilisasi nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, larangan melakukan kerusakan di muka bumi (laa tufsidu filardh) dan menumpahkan darah (laa tasfikud dimaa’a). Karena, setiap kerusakan dan penumpahan darah akan merugikan manusia. Agar itu tidak terjadi terjadi, lahirlah hukum. Mulai dari lingkup paling kecil, seperti rumah tangga dan rukun tetangga. Kemudian meningkat ke yang lebih besar, seperti negara. Hingga ke yang paling besar, yaitu hubungan antar negara, yang sekarang diakomodasi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Jika ada satu entitas komunal yang dengan bebas melakukan pelanggaran terhadap hukum tersebut—misalnya karena lumpuhnya institusi pemangku otoritas penegak hukum—maka niscaya akan melahirkan perlawanan tanpa henti. Perlawanan seperti itu tidak bisa disebut negatif, lalu dibumbui dengan terma-terma peyorasi-sarkastis, seperti terorisme dan semacamnya. Perlawanan seperti itu justru sangat rasional. Karena dalam rangka meraih hak-hak kemanusiaannya. Dan menghentikan arogansi mondial.
Buntutnya, kerusakan dan penumpahan darah menjadi tak terhindarkan. Kian lama menjadi kian intensif dan ekstensif. Hingga, pada akhirnya, kejahatan itu kembali memangsa pelakunya sendiri. Yaitu dengan menangnya Poros Perlawanan. Menangnya kebenaran dan kemanusiaan. Tereksposnya keaslian dan runtuhnya kepalsuan.
Ketiga, memotivasi kebajikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar). Yaitu, mendorong dan membantu semua orang untuk berjuang meraih hak-hak kemnausiaannya yang telah dirampas. Terutama haknya untuk memiliki ruang gerak (di bumi dan tanah miliknya sendiri).
Pada saat yang sama, bahu-membahu menghentikan tindakan kejahatan dan pelaku kejahatan. Sebab kejahatan yang tak dihentikan hanya akan melahirkan mata rantai kejahatan yang tak berkesudahan. Kerusakan terus terjadi. Darah tumpah di mana-mana. Nyawa melayang tiap saat. Tidak ada kepastian hidup. Dan orang atau negara yang berdiam diri pada saatnya nanti juga akan menjadi korban.
AL-QUDS
Di tiga prinsip kemanusiaan itulah wacana tentang Al-Quds dibincang. Secara bahasa, Al-Quds artinya suci (kudus). Secara umum, semua ciptaan adalah suci karena tercipta oleh Yang Maha Suci. Bumi ini adalah al-Wadi al-Muqaddas. Makanya, di bumi ini, tidak boleh ada yang membuat kerusakan dan penumpahan darah. Karena kerusakan dan penumpahan darah kontradiksi dengan sakralitas dan kekudusan Pencipta.
Secara khusus, Al-Quds adalah tanah suci yang ada di Palestina. Disebut diberkahi karena kekudusannya diterima oleh agama-agama samawi. Sedangkan agama samawi adalah nadi transformasi nilai-nilai langit (ilahiah, yang sakral dan kudus) ke bumi. Sehingga wilayah Al-Quds harus menjadi sentra terapan nilai-nilai kemanusiaan paling egaliter. Yakni dengan mengakomodasi, mengapresiasi, dan mensakralisasi semua jenis manusia. Melalui kebebasan aktualisasi hak-hak asasi manusia.
Memperjuangkan Al-Quds berarti memperjuangkan hak-hak dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, Al-Quds bukan lagi sekedar wilayah teritorial. Al-Quds telah menjadi barometer kemanusiaan. Pejuang kemanusiaan asli dan palsu kelihatan dengan jelas di sini. Penganut agama samawi hakiki dan ilusi juga terpampang dengan sangat terang di sini. Bahkan mana korban maling dan mana maling teriak maling, tersorot kamera empirik dan rasional secara kasat mata dan kasat hati.
Negara yang sering berteriak membela hak asasi manusia tapi pada saat yang sama bersikap diam, bahkan mendukung, pelanggaran hak asasi manusia di bumi Al-Quds, maka sesungguhnya mereka sedang mempertontonkan hipokrisinya.
Lembaga-lembaga, institusi-institusi, yang mengaku memperjuangkan nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme, tetapi bersikap mandul terhadap fasisme dan rasisme yang sedang terjadi di tanah Al-Quds, maka yang mereka lakukan adalah mendeklarasikan ke seluruh penjuru dunia bahwa mereka tidak lebih dari tangan-tangan kotor imperialisme global.
Juga negara dan komunitas yang mengaku sangat Islami, atau sedang memperjuangkan tegaknya Islam politik, tetapi diam-diam membangun relasi diplomatik dan kerjasama keamanan dengan para pelaku kejahatan, atau ikut mendestabilisasi pemerintahan Islam di sekitar Al-Quds, maka pada dasarnya mereka sedang memaklumatkan kepalsuan dirinya. Mereka sedang menyerahkan tanah-tanah orang Palestina kepada predator kemanusiaan. Mereka menyunggingkan senyum kepada okupator di atas genangan air mata dan darah penduduk asli Al-Quds. Maka siapa saja yang mengaku masih punya simpati dan empati kepada bangsa yang tertindas, atau siapa yang masih mengakui Islam sebagai Rahmatan Lilalamin, silahkan tunjukkan dukungannya kepada mereka yang sedang pasang badan, dengan bergabung bersama poros perlawanan (muqawamah, resisten) yang tersebar di berbagai negara. Entitas-entitas perlawanan itu memenuhi jalan-jalan di berbagai kota di dunia di Jumat terakhir Ramadan.***
Tulisan ini telah terbit di majalah Syiar Edisi Mei – Juni 2021