ICC Jakarta – Rahbar menyampaikan hal itu dalam pertemuan dengan para komandan dan prajurit Angkatan Udara Iran untuk mengenang sebuah peristiwa penting dalam sejarah Revolusi Islam. Pada tanggal 19 Bahman 1357 (8 Februari 1979), para perwira angkatan udara rezim Pahlevi menghadap Imam Khomeini ra dan mengucapkan janji setia kepada bapak pendiri Republik Islam ini.
Presiden Trump dalam kicauannya di akun Twitter, menyebut Iran sedang bermain api. Ia menulis, “Iran bermain dengan api – mereka tidak mengapresiasi betapa ‘baiknya’ Presiden Obama kepada mereka. Bukan saya!”
Menurut Ayatullah Khamenei, pernyataan dan tindakan Presiden baru AS telah membuktikan kebenaran pandangan Iran selama 38 tahun bahwa ada korupsi politik, ekonomi, moral dan sosial dalam sistem pemerintahan AS.
“Percaya kepada syaitan dan menambatkan harapan kepada orang-orang yang menentang prinsip pemerintahan dan negara Islam, adalah sebuah kesalahan besar,” tegasnya.
Rahbar menjelaskan, Iran selama hampir empat dekade sejak kemenangan Revolusi Islam, tidak pernah mengharapkan perilaku jujur dari AS. Anggapan bahwa ada perbedaan antara perilaku Obama atau setiap presiden lain di Amerika di hadapan Iran adalah sebuah ilusi yang batil, dan komentar seperti ini hanya menjadi bukti dari ketidaktahuan tentang esensi sejati AS. Trump dengan retorikanya membuktikan ia tidak punya pemahaman yang realistis terhadap masa lalu dan sekarang dari AS dan Iran.
Iran pada masa Obama – yang menyembunyikan tangan besi AS di balik sarung tangan beludru dan menjanjikan perubahan – tidak terlena dengan kata-kata itu. Trump menganggap Iran sekarang harus bernostalgia atau berterimakasih atas ‘kebaikan’ Obama.
Jika Trump menoleh sedikit ke belakang, ia akan menyaksikan bahwa Obama bukan hanya tidak berbuat baik kepada Iran, tapi mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjaga kredibilitas AS dan selalu berbicara tentang semua opsi di atas meja.
Di hari-hari terakhir berkantor di Gedung Putih, Obama bahkan memperpanjang sanksi dan menandatangani undang-undang untuk melanjutkan situasi darurat nasional terkait Republik Islam. Ia membiarkan semua pintu terbuka untuk Trump sehingga bisa melanjutkan permusuhan dengan Tehran. Obama sebenarnya pewaris George W. Bush dan sekarang Trump adalah pewaris Obama.
Bush dengan kebijakan bermusuhannya telah melontarkan banyak tudingan tak berdasar terhadap Iran. Obama juga hanya sebatas mengakui bahwa Washington melakukan banyak kesalahan terhadap Tehran. Ia juga mengakui peran AS dalam kudeta terhadap pemerintahan konstitusional Musaddeqh pada tahun 1953 dan dukungan negara itu kepada rezim Saddam dalam menyerang Iran.
Ketika ingin menandatangani perjanjian nuklir, Obama menuturkan jika itu dalam kekuasaannya, ia akan membongkar kegiatan nuklir Iran. Pada akhirnya, ia memutuskan menyetujui perjanjian nuklir sehingga kredibilitasnya tidak hancur total.
Trump mungkin ingin tampil beda dalam sebagian isu termasuk perjanjian nuklir Iran, tapi pendekatan seperti itu akan memiliki biaya. Dalam pandangan Iran, Amerika era Trump tidak ada bedanya dengan AS selama 38 tahun lalu. Washington hanya mengobarkan permusuhan dengan Tehran dan kedua partai politik di AS sama-sama berkonfrontasi dengan Iran.
Jadi, dengan memperhatikan esensi kebijakan dan tujuan AS dalam berurusan dengan Iran, maka bagi bangsa Iran sama sekali tidak ada perbedaan antara Obama dan Trump. Terlepas dari partai yang berkuasa di Gedung Putih, Republik Islam Iran akan tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan mendasarnya. (RM)
Sumber: Parstoday