ICC Jakarta – Syafaat bukanlah pendorong untuk melakukan dosa, bukan juga lampu hijau untuk melakukan maksiat. Syafaat bukan merupakan faktor yang membuat orang terbelakang dan bukan perbuatan nepotisme, persekongkolan pada kehidupan dunia ini. Syafaat merupakan masalah signifikan dalam urusan pendidikan dari berbagai dimensi, serta memiliki efek positif dan konstruktif.
Menumbuhkan Asa dan Perjuangan Melawan Putus Asa
Banyak hal yang menjadi sebab kuatnya hawa nafsu sehingga seseorang terjerembab dalam perbuatan dosa besar. Menyusul perbuatan dosa tersebut, patah arang dan putus asa menyergap mereka yang telah berbuat dosa. Putus asa ini membuat orang lebih tercemari dan malah memberikan semangat dalam berbuat dosa. Sebab, mereka berfikir segalanya telah terjadi, lalu pasrah apakah terjadi sekali atau seratus kali.
Akan tetapi, harapan akan syafaat para wali Allah memberikan berita gembira kepada mereka. Apabila mereka berhenti melakukan dosa, dan memperbaiki diri, barangkali dosa-dosa mereka yang telah sebelumnya dapat tertutupi dengan kebaikan dan kesucian melalui jalan syafaat. Oleh karena itu, harapan akan syafaat membantu orang untuk berhenti melakukan perbuatan dosa dan kembali ke arah perbaikan dan takwa.
Menjalin Hubungan dengan Para Wali Allah
Dengan memerhatikan makna syafaat yang disebutkan di atas, dapat ditarik konklusi bahwa syafaat bergantung kepada adanya relasi antara pemberi syafaat (syafi’) dan penerima syafaat (musyafa’anhu), yaitu hubungan dan relasi maknawi dari aspek iman, dan sebagian merupakan keutamaan serta termasuk kebaikan.
Tentu saja seseorang yang berharap syafaat, ia akan berusaha untuk menjalin hubungan ini, berbuat untuk meraih keridhaan mereka, tidak merusak tangga-tangga yang telah didakinya dan tidak memutus hubungan cinta dengan mereka.
Kumpulan dari semua itu akan menjadi faktor determinan dalam proses pendidikan dan secara gradual akan mengeluarkannya dari barisan orang-orang menyimpang dan pendosa. Atau setidaknya, disamping segumpal noda-noda dosa, ia dapat melakukan perbuatan baik, dan menghindarkan diri dari keterjerumusan yang lebih besar dalam perangkap setan.
Memperoleh Syarat-Syarat Syafaat
Dalam ayat-ayat Alquran disebutkan syarat-syarat yang beragam tentang syafaat. Yang terpenting diantaranya adalah izin Allah Swt. Tentu saja, seseorang yang memiliki harapan akan syafaat, sebaiknya menyediakan lahan untuk diberikan syafaat, yaitu ia harus melakukan perbuatan sehingga menjadi kecintaan dan kekasih Allah Swt.
Pada sebagian ayat ditegaskan bahwa pada hari kiamat, syafaat hanya akan berguna bagi orang yang diberikan izin oleh Tuhan untuk mendapatkan syafaat dan ia ridha atas firman-Nya. (QS. Thaha: 109)
Pada ayat 28, surah al-Anbiya’ disebutkan bahwa orang-orang yang diampuni (dosa-dosanya) melalui syafaat adalah hanya orang-orang yang telah mencapai makan irtidha’ (keridhaan Tuhan). Dan sesuai dengan ayat 78, surah Maryam, orang-orang tersebut memiliki perjanjian dengan Tuhan. Sebagaimana yang telah kami sampaikan, seluruh kedudukan ini akan dapat dicapai melalui iman kepada Allah Swt dan kepada mahkamah keadilan-Nya, serta pengakuan akan nilai baik atau buruknya suatu perbuatan, dan kesaksikan terhadap kebenaran seluruh aturan-Nya yang diturunkan untuk umat manusia.
Selain itu, pada sebagian ayat lain disebutkan bahwa pemberian syafaat tidak termasuk untuk orang-orang dzalim. Dengan demikian, orang-orang yang berharap mendapatkan syafaat harus berada di luar barisan kaum zalim.
Seluruh dimensi syafaat ini akan menyebabkan ornag-orang yang berharap mendapatkan syafaat memperbaiki perbuatannya di masa lalu dan untuk hari esok, mengambil keputusan untuk menjadi lebih baik. Dimensi syafaat ini bernilai positif dan berperan besar dalam urusan pendidikan.
Perhatian terhadap Silsilah Para Pemberi Syafaat
Memperhatian tanda-tanda yang diberikan oleh para pemberi syafaat yang disebutkan dalam Alquran, demikian juga elaborasi yang terdapat dalam riwayat adalah dalil lain atas aspek pendidikan dalam masalah syafaat.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw disebutkan, “Lima hal yang memberikan syafaat pada hari kiamat, antara lain Alquran, silaturahmi, amanah, Nabimu dan Ahlulbaitnya” [Mizan al-Hikmah, jil. 5, hal. 122]
Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Nabi saw disebutkan, ”Pelajarilah Alquran karena Alquran merupakan pemberi syafaat pada hari kiamat.” [Musnad Ahmad, jil. 5, hal. 251, cetakan Beirut, Dar al-Shadr]
Dari beberapa riwayat juga dapat dipahami bahwa sebaik-baik pemberi syafaat adalah taubat. Riwayat tersebut dinukil dari Imam Ali as, ”Tidak ada syafaat yang lebih menyelamatkan daripada taubat.” [Nahjul Balaqhah, khutbah kel 76]
Dalam beberapa riwayat dijelaskan pula bahwa syafaat dapat diberikan oleh para nabi, para washi, kaum mukminin, dan malaikat. Seperti hadis yang dinukil dari Nabi saw bahwa ”Syafaat adalah milik para nabi, washi, kaum mukmin, dan malaikat. Diantara mukminin yang dapat memberikan syafaat adalah kabilah Rabi’ah dan Mudhari. Adapun sekurang-kurangnya syafaat kaum mukmin adalah mereka dapat memberikan syafaat kepada tiga puluh orang.” [Bihar al-Anwar, jil. 8, hal.58, hadis ke-57]
Dalam hadis lain yang dinukil dari Imam Shadiq as tercatat bahwa pada hari kiamat, Allah Swt membangkitkan orang alim dan abid (ahli ibadah). Tatkala mereka berada di mahkamah Ilahi, dikatakan kepada si abid, “Bergeraklah menuju Firdaus.” Dan kepada si alim dikatakan, ‘Berdirilah dan berikanlah Syafaat kepada manusia berkat pendidikan baik yang engkau lakukan kepada mereka.” [Bihar al-Anwar, hal. 56, hadis 66]
Sementara itu, redaksi-redaksi hadis ini -khususnya redaksi yang tertuang pada hadis yang terakhir di atas secara jelas menunjukkan bahwa syafaat merupakan kelahiran baru, hubungan maknawi antara orang-orang baik, suci, kaum mukmin, dan para ulama.
Tentang para syuhada, Nabi saw bersabda, ”Seorang syahid dapat memberikan syafaat kepada sekitar tujuh puluh ribu orang dari keluarga dan kerabatnya.” Bahkan, sebuah riwayat menegaskan bahwa yang memberikan syafaat kepada manusia adalah ketaatannya kepada Allah Swt dan mengamalkan kebenaran”. [Majma ‘al-Bayan, jil. 2, hal. 538]
Singkatnya, pembicaraan kita adalah ihwal kumpulan riwayat yang berjumlah sangat banyak yang terdapat dalam sumber-sumber hadis.
Konklusi jelas yang dapat kita ambil di sini adalah syafaat merupakan urusan terpenting dalam pendidikan islami yang menunjukkan nilai-nilai tinggi lslam dengan memerhatikan jenis pemberi syafaat… Seluruh muslimin termotivasi untuk bergerak ke arah nilai-nilai ini dan sifat-sifat pemberi syafaat, serta menjalin hubungan dengan mereka. Dengan ini, masalah syafaat terbebas dari setiap bentuk penafsiran yang tidak benar dan batil.*
- Dalam kitab Tafsir al-Mizan, setelah menafsirkan bahwa syafaat adalah pengaruh sebab-sebab (asbab) terhadap akibat (musabbat), di jelaskan bahwa para pemberi syafaat terbagi menjadi dua bagian, pada alam takwini dan alam tasyri’i, dan di antara para pemberi syafaat tasyri’i adalah taubat, iman, amal saleh, Alquran, para nabi, para malaikat, dan kaum mukmin. Dalam hal ini penyusun Tafsir al-Mizan berdalil dengan ayat yang bertalian denga syafaat yang diberikan oleh orang-orang ini dalam pengampunan dosa-dosa, kendati titel ayat tersebut tidak bertaut dengan maslah syafaat. Misalnya, surah al-Zumar [39], ayat 54, al-Hadid [57], ayat 28, al-Ma’idah [5], ayat 9 dan 16, al-Nisa’ [4], ayat 64, al-Mu’min [40]; ayat 7, dan al-Baqarah [2], ayat 286, silakan juga rujuk Tafsir Payam-e Quran,jil’ 6, hal. 523.
Dikutip dari buku 110 Persoalan Keimanan yang Menyehatkan Akal, Ayatullah Makarim Syirazi