Amerika Serikat akhirnya membuka jalur negosiasi langsung dengan Hamas, sebuah langkah yang mencerminkan pergeseran besar dalam pendekatan mereka terhadap konflik di Gaza. Ini bukan sekadar upaya pragmatis untuk membebaskan tawanan Israel, melainkan pengakuan tersirat atas kegagalan strategi militer yang selama ini dikedepankan oleh Washington dan Tel Aviv. Setelah berbulan-bulan memberikan dukungan tanpa batas bagi agresi Israel, Barat kini dihadapkan pada realitas pahit: Hamas tidak bisa dihancurkan dengan kekuatan militer, dan tekanan brutal terhadap Gaza justru semakin merusak citra mereka di panggung internasional.
Menurut Pars Today, Firas Yaghi, pakar urusan rezim Zionis, menilai bahwa keputusan AS untuk berbicara langsung dengan Hamas bukanlah lahir dari itikad baik, melainkan akibat kesadaran bahwa tanpa jalur diplomasi, penyelesaian isu tawanan akan memakan waktu lebih lama dan menghambat kepentingan strategis mereka di kawasan. Dengan kata lain, ini bukan kemenangan diplomasi AS, melainkan bukti nyata bahwa tekanan militer yang dikendalikan Israel telah gagal total.
Analis Palestina Hassan Lafi juga menegaskan bahwa perundingan ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, AS akhirnya mengakui bahwa Hamas adalah aktor utama dalam konflik ini—bukan sekadar kelompok yang bisa diabaikan atau dihancurkan begitu saja. Ini sekaligus memperjelas kegagalan strategi Netanyahu, yang sejak awal berusaha menekan Hamas dengan kekuatan penuh. Namun, Lafi juga memperingatkan bahwa langkah ini bukan berarti AS berkomitmen untuk mengakhiri perang. Sebaliknya, Washington kemungkinan besar hanya ingin memastikan pembebasan tawanan Israel tanpa memberikan jaminan bagi rakyat Palestina.
AS Kembali Bermain di Timur Tengah Setelah Gagal Mengendalikan Israel
Sejak perang dimulai, kebijakan AS terhadap Gaza lebih banyak berfungsi sebagai legitimasi bagi kekejaman Israel. Washington berulang kali memberikan lampu hijau bagi operasi militer Tel Aviv, membanjiri mereka dengan bantuan militer, dan menutup mata terhadap pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh rezim Zionis. Namun, semakin lama, pendekatan ini tidak hanya gagal, tetapi juga memperburuk posisi AS secara global.
Analis politik Palestina, Iyad Al-Qara, melihat bahwa negosiasi ini bukan hanya tentang pembebasan tawanan, melainkan langkah awal bagi AS untuk memperbaiki citranya yang semakin rusak. Dengan meningkatnya tekanan dari sekutu-sekutu Barat dan kecaman komunitas internasional yang terus bertambah, Washington kini berada dalam dilema: tetap mendukung Israel secara membabi buta dengan risiko kehilangan kredibilitas global, atau mulai berjarak dari Tel Aviv demi menyelamatkan reputasi mereka sendiri.
Media Israel sendiri mulai mengakui bahwa ancaman AS dan Israel terhadap Hamas terbukti tidak efektif. Laporan i24 News menyoroti bagaimana Donald Trump dan Benjamin Netanyahu, yang sebelumnya mengklaim akan “menghancurkan” Hamas, kini justru berusaha membuka jalur negosiasi dengan kelompok yang sama. Bahkan, menurut Channel 13 Israel, jika Trump benar-benar mencapai kesepakatan dengan Hamas, Netanyahu tidak akan memiliki ruang untuk menolak, dan AS akan langsung mengimplementasikannya tanpa menunggu persetujuan dari Tel Aviv.
Hipokrisi Barat dan Perpecahan Internal di Israel
Langkah AS ini juga semakin menegaskan hipokrisi Barat dalam menangani konflik di Gaza. Selama berbulan-bulan, negara-negara Barat dengan lantang mengutuk Hamas dan mengklaim bahwa Israel memiliki hak penuh untuk mempertahankan diri dengan cara apa pun. Namun, begitu mereka melihat bahwa strategi tersebut tidak membawa hasil, mereka dengan cepat berbalik arah dan mulai mencari jalur diplomasi—bukan karena kepedulian terhadap rakyat Palestina, tetapi demi menyelamatkan kepentingan mereka sendiri.
Di sisi lain, perpecahan semakin terlihat di dalam pemerintahan Israel. Menteri Luar Negeri Gideon Sa’ar terang-terangan menolak laporan PBB tentang ancaman kelaparan di Gaza, menyebutnya sebagai “kebohongan,” dan menegaskan bahwa Israel tidak memiliki kewajiban untuk mengirim bantuan kemanusiaan. Pernyataan ini tidak hanya semakin memperburuk citra Israel, tetapi juga memperlihatkan bagaimana para pemimpinnya tetap bersikeras melanjutkan kebijakan pemusnahan, meskipun dunia semakin menentangnya.
Di kubu oposisi, pemimpin Yair Lapid secara terbuka menyalahkan Netanyahu atas negosiasi AS dengan Hamas. Menurutnya, perundingan ini terjadi bukan karena AS menginginkannya sejak awal, tetapi karena pemerintahan Netanyahu terlalu lemah untuk mencapai tujuan militernya sendiri. Kegagalan Israel untuk menghancurkan Hamas telah membuat Washington kehilangan kesabaran dan mulai mengambil inisiatif sendiri.
Sementara itu, kepala staf militer Israel yang baru, Eyal Zamir, justru menegaskan bahwa “tahun 2025 akan menjadi tahun perang” dengan Gaza dan Iran. Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun AS mulai bergerak ke arah diplomasi, beberapa elemen di dalam pemerintahan dan militer Israel masih ingin melanjutkan konflik tanpa akhir—sebuah strategi yang justru semakin membuat mereka terisolasi.
AS Terpaksa Ambil Kendali Setelah Israel Gagal Menundukkan Hamas
Negosiasi ini bukanlah tanda bahwa AS berkomitmen untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Sebaliknya, ini adalah strategi pragmatis untuk menutupi kegagalan pendekatan militer mereka dan menjaga stabilitas kepentingan mereka sendiri. Saat ini, yang mereka lakukan hanyalah mengatur ulang strategi setelah melihat bahwa perang yang mereka dukung telah menjadi bencana politik.
Pertanyaannya kini bukan apakah AS akan tetap bernegosiasi dengan Hamas, tetapi seberapa lama mereka bisa berpura-pura peduli sebelum akhirnya kembali kepada kebijakan lama mereka: mendukung Israel dengan segala cara, sambil terus berbicara tentang “perdamaian” yang tidak pernah benar-benar mereka upayakan.
Sumber berita: https://parstoday.ir/
Sumber gambar: https://eaworldview.com/