ICC Jakarta – Harus diketahui bahwa ibadah secara menyeluruh merupakan pujian maqam suci Rububiyah dan secara berjenjang semuanya merujuk pada pujian Zat. Atau pujian Asma dan Sifat atau Tajalli baik itu Tanzih, Taqdis atau Tamjid, dan tidak ada ibadah hakiki yang kosong dari satu dari derajat pujian kepada Allah ini. Dengan demikian, tahapan pertama kehadiran hati dalam ibadah adalah kehadiran ibadah dalam ibadah secara global. Upaya menghadirkan hati dalam tahapan ini hanya akan mudah bagi orang yang berusaha memahamkan hatinya bahwa ibadah adalah pujian kepada yang disembah. Sejak ia memulai ibadahnya hingga akhir secara global hatinya harus memikirkan makna ini dan memuji Allah yang disembah. Ia harus memahamkan hal itu dan menghadirkannya, sekalipun ia tidak mengetahui bagaimana dan dengan apa memuji Zat Allah. Apakah ibadah ini adalah pujian Zat, Asma atau selainnya, Taqdisi atau Tahmidi. Sama seperti penyair yang memuji seseorang kemudian memahamkannya kepada anak kecil bahwa ini merupakan pujian untuk seseorang, tapi ia tidak mengetahui bagaimana dan dengan apa memuji orang itu. Secara global ia mengetahui pujian, sekalipun tidak mengetahui detilnya.
Sama dengan anak SD yang mendengar pujian yang diucapkan tentang makrifat Muhammadi, tentang penyingkapan sempurna beliau dan tentang wahyu yang diturunkan kepada hati beliau. Sekalipun anak itu tidak mengetahui isi pujian yang disampaikan, bagaimana dan dengan apa mereka melakukan pujian, tapi pada tahapan pertama kesempurnaan ibadah adalah hadirnya hati mereka saat melakukan ibadah, dimana kita melakukan pujian kepada Haq. Melakukan pujian seperti yang difirmankan-Nya dan orang-orang khusus senantiasa menyenandungkannya.
Pujian yang disampaikan bila dilakukan dengan lisan para wali Allah akan lebih baik. Karena segala kotoran bohong dan nifaq menjadi hilang. Karena dalam ibadah, khususnya dalam shalat, ada pujian-pujian yang termasuk doa yang tidak dapat diucapkan selain para wali Allah yang sempurna dan orang-orang terpilih. Seperti “Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathara as-Samawati wa al-Ardh…Aku mengarahkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi”, “Alhamdulillah…Segala puji bagi Allah” dan “Iyyaka Na’budu…Hanya kepada-Mu kami menyembah.”
Tidak mudah bagi setiap orang dalam kondisi mengangkat tangan saat takbiratul ihram, sujud dan selainnya, dimana penjelasannya akan datang Insya Allah. Tidak mudah bagi setiap orang mengucapkan doa yang berasal dari para Imam Maksum as. Berdoa dengan doa-doa itu seperti sebagian penggalan dari doa mulia Kumail.
Sekaitan dengan hal ini, Sheikh Kamil dan Arif, Shahabadi, jiwaku menjadi tebusannya berkata, “Pada maqamat ini, bagus bila seseorang berdoa dengan lisannya doa-doa yang berasal dari para Imam Maksum as.” Terlebih lagi dalam membaca atau mengamalkan shalat dengan tujuan memuji Allah dengan doa yang diwariskan para Imam Maksum as tentang Allah dan Rasul Allah. Sebagai contoh, sangat bagus bagi kita yang intinya belum tertapis dan belum memisahkan diri dari kecenderungan selain Allah untuk membaca sebagian ungkapan yang akan datang Insya Allah.
Pada tahapan kedua dari kehadiran hati adalah kehadiran hati secara terperinci. Seorang yang beribadah harus menghadirkan hatinya dalam seluruh ibadah dan ia harus mengetahui bagaimana menyifati Allah dan bagaimana bermunajat. Setiap dari keduanya ini memiliki tahapan lagi dan sangat berbeda tergantung maqam hati dan makrifat orang yang beribadah.
Perlu diketahui bahwa penguasaan secara detil akan seluruh rahasia ibadah dan kualitas pujian hanya mungkin dimiliki oleh orang-orang terpilih yang telah sempurna lewat wahyu ilahi. Di sini, kami hanya menjelaskan secara global tahapan-tahapannya.
Ada sebagian manusia yang hanya mengetahui bentuk luar dari shalat dan ibadah yang lain, tapi memahami pengertian umum dari zikir, doa dan bacaan al-Quran. Kehadiran hati mereka hanya terjadi pada waktu mengucapkan al-Quran dan memahami artinya. Pada waktu itulah hati mereka hadir untuk bermunajat dengan Allah.
Hal penting bagi kelompok ini adalah tidak membatasi hakikat dengan makna umum yang dipahami itu. Jangan beranggapan bahwa tidak ada hakikat lain dari bentuk ibadah yang dilakukannya. Selain anggapan ini bertentangan dengan akal dan teks, keyakinan yang semacam ini sangat merugikan manusia. Karena itu akan membuat manusia merasa puas dan berhenti. Hal itu akan mencegahnya meraih kesempurnaan ilmu dan amal.
Satu kelebihan besar setan adalah mampu membuat manusia merasa senang dengan apa yang dimilikinya lalu mulai memandang negatif akan seluruh hakikat, ilmu dan makrifat. Hasilnya mereka menjadi terasing.
Kelompok lain adalah mereka yang memahami hakikat ibadah, zikir dan bacaan menjadikan akal sebagai tempat rujukan semua pujian kepada Allah Swt atau argumentasi rasional, hakikat Shirat Mustaqim dan hakikat makna surat Tauhid sebagai prinsip pengetahun dengan perbedaan lewat pemikiran dan akal.
Kelompok ini saat menghadirkan hatinya dalam ibadah, mereka memahami secara terperinci dan hatinya hadir saat mengingat hakikat dan pujian ini. Mereka memahami apa yang dikatakan dan bagaimana memuji Haq.
Sementara kelompok yang lain lagi mereka memahami hakikat dengan pemikiran dan akal menyampaikan hakikat itu ke pena akal dan lembaran hati, sehingga hati mereka mengenal hakikat itu dan mengimaninya. Karena derajat iman dari hati sangat berbeda dengan pemahaman akal. Banyak hal yang dimengerti akal manusia, bahkan mengajukan argumentasinya, tapi tidak sampai pada derajat iman dari hati dimana kesempurnaannya adalah percaya. Pada waktu itu hatinya tidak bersama dengan akalnya.
Sama seperti kita semua meyakini orang yang mati tidak dapat bergerak dan tidak bisa merugikan kita. Bahkan bila semua orang mati dikumpulkan, mereka tetap tidak dapat mengganggu kita sekalipun sekecil lalat. Hal itu dikarenakan kita meyakininya secara rasional tapi tidak sampai ke lembaran hati. Di sini hati dan akal dalam masalah ini tidak berbarengan. Biasanya akal yang paling menguasai badan manusia dan biasanya manusia takut akan orang mati, khususnya di kegelapan malam dan saat sendiri. Padahal akalnya mengatakan gelapnya malam tidak berpengaruh apa-apa, begitu juga kesendirian, sementara telah diketahui orang mati tidak bisa mengganggu apa-apa. Di sini, manusia meninggalkan akalnya dan berjalan dengan ilusi, tapi bila ia dikumpulkan dengan orang mati untuk beberapa waktu, ketakutan di malam hari ternyata dapat dilaluinya hingga siang. Apa yang dilakukannya ini pada dasarnya membawa apa yang diyakini pada akalnya sampai ke hatinya. Hukum akal yang ada telah menggabungkan hati dan akal, sehingga perlahan-lahan sampai ke derajat percaya. Hatinya sudah tidak pernah takut lagi dan melakukan hal itu dengan penuh keberanian.
Demikianlah kondisi semua hakikat agama dan masalah keyakinan argumentatif dimana derajat pengetahuan rasionalnya berbeda dengan derajat iman dan percaya. Selama seorang pencari kebenaran dan hakikat tidak melakukan latihan secara teoritis dan praktis dan menyempurnakan takwanya baik dalam bentuk perilaku atau hati, maka ia tidak akan sampai pada derajat ini. Ia tidak dapat menjadi pemilik hati. Derajat pertama hati yang merupakan anugerah ilahi tidak akan dapat diraihnya. Ia tidak akan pernah menggunakan pakaian iman. Bahkan sesuai dengan hadis “As-Shalatu Mi’raj al-Mukmin… Shalat mikraj seorang mukmin” dan hadis “As-Shalatu Qurbanu Kulli Taqiyin… Shalat wasilah mendekati Allah bagi setiap orang bertakwa.”, kemungkinan maknanya selama manusia belum sampai ke derajat iman dan takwa, maka shalatnya bukan mikraj dan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Itu berarti ia belum memulai untuk melakukan sair dan suluk kepada Allah dan belum penghuni rumah jiwa. (SL/IRIB Indonesia)
Sumber: Ebadat, Doa va Monajat dar Rahnemoudha-ye Hazrat-e Emam Khomeini, Moasseseh Farhanggi Honari Qadr-e Velayat, Tehran, 1388 Hs.