ICC Jakarta – Mahdiisme adalah etape akhir dari gerakan Anbiyak yang telah ditutup oleh nabi pamungkas, Baginda Nabi Muhammad saw dan dilanjutkan oleh perjuangan para imam. Gerakan para imam adalah gerakan yang digelontorkan dari awal Islam sampai mencapai masa okultasi (kegaiban). Memahami mahdiisme akan memudahkan manusia dalam merancang masa depan dan cara mencapainya. Dalam gerakan mahdiisme juga dapat ditemukan kesamaan pandangan komprehensif dalam agama-agama dan seluruh beragam keyakinan, sehingga menggelar pertemuan-pertemuan ilmiah dan mengkajinya dalam jurnal-jurnal ilmiah dapat meransang kesamaan persepsi tentang bagaimana membangun peradaban manusia yang lebih harmonis. Persatuan lebih bisa diwujudkan dan keterbelahan bisa lebih dirapatkan jika dipertemukan oleh satu dokrin yang sama, yaitu mahdiisme.
Sepertinya tidak ada negara yang seserius Iran terkait mahdiisme. Bahkan Iran membentuk sebuah lembaga khusus yang bertugas menggelar Konferensi Internasional tahunan tentang Doktrin Mahdiisme. Bright Future Institute atau dalam bahasa setempat Muassasah Ayande Raushan ini telah menggelar Konferensi Internasonal Mahdawiyat sebanyak 5 kali sejak tahun 2005 dengan menghadirkan partisipan dari para scholars dalam dan luar negeri dengan turut pula menghadirkan pidato-pidato sambutan dari tokoh-tokoh nasional dan internasional di level tertinggi. Aktivitas lainnya adalah penerbitan buku, jurnal, lomba penulisan karya ilmiah, penerbitan buletin, penyebaran video-video ceramah dengan tema kunci isu-isu seputar mahdiisme.
Seyogyanya Bright Future Institute tahun ini menggelar Konferensi Internasional tentang Doktrin Mahdiisme yang ke-16 dengan tema, “Tujuan Utama Pergerakan para Nabi dan Imam dari Awal hingga Akhir”. Namun dikarenakan masih dalam kondisi pandemi penyebaran COVID 19 yang menjadikan Iran juga sebagai salah satu negara yang terpapar parah, maka berdasar surat keputusan yang dikeluarkan pihak komite penyelenggara tertanggal 16 Maret 2020, Konferensi Internasional tentang Doktrin Mahdiisme diundur sampai waktu yang belum ditentukan.
Dalam pandangan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamanei yang terus mendorong terlaksananya pertemuan-pertemuan ilmiah mengenai mahdiisme, menyebutkan bahwa mahdiisme adalah prinsip makrifat tertinggi yang ada pada agama-agama. Disebutkan bahwa apa yang disampaikan dalam doktrin mahdiisme adalah sesuatu yang untuk tujuan itu seluruh nabi diutus. Dalam pandangan Rahbar melalui orasinya di hadapan para peserta Konferensi Internasional tentang Doktrin Mahdiisme ke-7 pada 5 Juli 2011 di Tehran, menyebutkan mahdiisme membentuk dunia ketauhidan, membangunkan dan menumpukan perhatian terhadap asas keadilan, dengan menggunakan seluruh potensi yang telah Allah swt anugerahkan kepada umat manusia. Ia menyebut, jikalau tidak ada doktrin mahdiisme yang mewujudkan keadlian yang menyeluruh di muka bumi, maka itu bermakna tidak ada faedah semua usaha para nabi, seruan, kebangkitan, dan jerih payah mereka. Karena itu masalah mahdiisme menurut Rahbar merupakan masalah asasi. Adalah poin terpenting dari rumusan-rumusan asli makrifat Ilahi. Dalam semua agama-agama Ilahi mempunyai suatu intisari dan makna hakiki yang memiliki titik temu dan benang merah pada doktrin mahdiisme.
Sayid Khamanei lebih lanjut menyebut, doktrin mahdiisme bukan hanya milik Syiah saja melainkan semua mazhab Islam menerima tafsiran bahwa akan tegak sebuah pemerintahan yang benar dan adil di dunia melalui Imam Mahdi. Tidak ada penolakan tentangnya. Sedangkan keistimewaan Syiah adalah masalah Mahdawiyat bukanlah suatu yang dapat diragu-ragukan; bukan juga sebuah masalah rumit sehingga tidak dapat dipahami; ia adalah sebuah masalah dan hakikat yang jelas.
Sementara Dr. Salim Sabbaq seorang intelektual muslim Sunni dari Mesir yang hadir sebagai salah satu pembicara dalam Konferensi Internasional tentang Doktrin Mahdiisme yang ke-8 di Tehran 5-6 Juli 2012, ibukota Republik Islam Iran menyebut sangat erat hubungan antara doktrin mahdiisme dengan kebangkitan Islam. Menurutnya, keyakinan akan datangnya juru selamat telah mengilhami revolusioner muslim di seluruh dunia. Pemikir Mesir ini meyakini revolusi Islam Iran yang digerakkan Imam Khomeini adalah salah satu kebangkitan Islam yang terbakar oleh nyala api mahdiisme. Ia menyebut revolusi Islam Iran telah menginspirasi banyak gerakan revolusi di negara-negara muslim, termasuk di Mesir.
Ayatullah al-Uzhma Nashir Makarim Shirazi ketika membuka Konferensi Internasional tentang Doktrin Mahdisme ke-12 di kota Qom pada Kamis, 19 Mei 2016 menyebut konsep Mahdiisme sangat penting untuk dihadirkan dan di bicarakan di tengah eskalasi penindasan dan diskriminasi di dunia. Ia menyebut konsep ini membawa optimisme di tengah masyarakat agar ketidakadilan segera berakhir dan mengobarkan semangat mereka untuk melawan para penindas dan kekuatan-kekuatan arogan.
Pada konferensi yang bertema “Ramalan-ramalan Akhir Zaman menurut Agama-Agama Ibrahim” tersebut, Ayatullah Makarim menjelaskan doktrin mahdiisme adalah konsep yang ada pada banyak agama dan aliran kepercayaan. Doktrin itulah menurutnya yang menghadirkan prospek yang cerah untuk dunia. Ia menegaskan, sisi kesamaan semua agama langit adalah keyakinan tentang kemunculan sosok yang akan membersihkan dunia dari kehinaan dan kezaliman serta membawa perdamaian dan persahabatan bagi umat manusia.
Menurut ulama marja Syiah tersebut, keyakinan terhadap konsep Mahdiisme adalah keyakinan yang menghembuskan optimisme dan memiliki banyak efek positif bagi individu dan masyarakat. Ia menjelaskan kelak akan datang seorang reformis yang memenuhi dunia dengan keadilan dan kedamaian dan dalam keyakinan Islam reformis tersebut adalah Imam Mahdi afs. Lebih lanjut ia menjelaskan mengenai konsep penantian yang hakiki yang disebutnya penanti harus mengenal dan meyakini al-Mahdi. Seseorang yang mengenal Imam Mahdi afs akan turut berupaya menciptakan keadilan dengan membela kebenaran serta menentang diskriminasi dan kezaliman. Pecinta al-Mahdi akan aktif terlibat dalam aktitas menyelesaikan keksiruhan sosial di masyarakat dengan melawan dekadensi moral.
Pada setiap Konferensi Internasional tentang Doktrin Mahdiisme hadir seratusan ulama, cendekiawan dan para peneliti lintas agama dari berbagai negara. Tidak terkecuali scholar dari Indonesia kerap turut hadir dan menyampaikan pandangan dan pemikirannya mengenai Mahdiisme. Diantara scholar dari Indonesia yang pernah menjadi pembicara tamu dalam konferensi ini adalah Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Research Professional dari STFI SADRA. Istimewanya mahasiswi yang sekarang menuntut pendidikan doktoral di Universitas Internasional Al Mustafa Tehran ini kala itu hadir sebagai peserta termuda. Ia hadir pada “the 10th International Conference of Mahdism Doctrine” di Tehran pada 12-13 Juni 2014 setelah paper ilmiahnya berjudul “Implications of Globalization on Muslim Youth Morality: The Certainty of the Role of Imam Mahdi” dinyatakan lolos seleksi komite penyelenggara. Judul paper tersebut diakunya ditulis merujuk pada tema the 10th International Conferense, yaitu “The Ground-setting Ethics and Lifestyle Strategies and Approaches”.
Dalam papernya tersebut, perempuan yang lahir 12 November 1988 ini menuliskan pemuda muslim harus dipersiapkan menyambut kedatangan Imam Mahdi dengan memiliki akhlak yang baik dan dilandasi oleh spritual dan rasionalitas. Menurutnya, orang-orang yang hidup dalam masyarakat Islam tidak hanya menganggap mematuhi aturan etika sebagai kewajiban sosial dan kemanusiaan, tetapi juga menganggapnya sebagai hukum ketuhanan dan agama yang telah diberitakan oleh para nabi ilahi dan para Imam yang suci. “Pemuda Muslim harus melakukan perbuatan positif, tidak hanya individu tetapi juga ruang linkup sosial mengacu pada sosok akhlak terbaik dalam doktrin Islam, di era ini yaitu Imam Mahdi,” tulisnya.
Pertemuan ilmiah level internasional tentang doktrin Mahdiisme juga pernah terselenggara di Indonesia. Melalui Seminar Internasional yang yang bertema “Mahdiisme dalam Krisis Multidimensi Global” di Auditorium Harun Nasution Jakarta, Senin, 24 Juni 2013. Acara yang diselenggarakan ormas Ahlul Bait Indonesia ini bekerjasama dengan UIN Jakarta ini menghadirkan tokoh NU, tokoh ABI, tokoh Katolik dan agamawan Budha.
Dalam pemaparan para narasumber lintas agama tersebut, disimpulkan mahdiisme adalah konsep yang diakui tradisi agama. Konsep mahdiisme bukan hanya ada dalam Islam, sebagaimana yang disampaikan Tokoh Agamawan Katolik, Romo Benny Susetyo dalam seminar tersebut, bahwa konsep juru selamat juga disebutkan dalam perjanjian lama dan baru, yaitu Mesias. Dalam perjanjian lama dijelaskan, Mesias akan menjalankan tiga misi, yaitu sebagai raja, nabi, dan imam. Mesias akan menghadirkan kerajaan Allah dengan membangun sebuah sistem yang adil. Lalu, melalui perjanjian baru, ia akan menghapus dosa manusia.
Begitu juga dalam tradisi agama Buddha. Agamawan Buddha, Cornelis Wowor mengatakan, dalam kitab Tripitaka disebutkan, seorang Buddha akan muncul saat agama telah lenyap dan akan mengajarkan agama seperti pada zaman Siddhartha Gautama. Menurutnya, sang Buddha sebagai juru selamat mempunyai misi untuk melenyapkan kebodohan dan nafsu pribadi. Menurutnya, juru selamat ini adalah hal yang paling dirindukan oleh kaum Buddha.
Hal serupa juga disampaikan Syaikh Ja’far Muhajir, seorang cendikiawan muslim dan sejarawan Lebanon dalam Konfrensi Internasional tentang Doktrin Mahdiisme ke-10 pada tahun 2012 di Tehran Iran. Ia mengatakan bahwa Seluruh madzhab dalam agama Islam mengakui seseorang dari keturunan Fathimah Azzahra akan menegakkan keadilan di muka bumi.
Menurutnya, keyakinan tentang Ratu Adil Akhir Jaman telah dipupuk oleh Rasulullah saw dan para Imam sejak dahulu kala. Ia mengaku bawa keyakinan ini tidak hanya milik Syiah saja, namun milik seluruh umat Islam. Ia menjelaskan bahwa Keyakinan tentang Ratu Adil dapat di temukan dalam referensi-referensi tiap sekte dan madzhab. Oleh karena itu keyakinan ini bukan milik satu madzhab tertentu saja, namun merupakan keyakinan yang disepakati bersama dalam Islam. Menurut pendapatnya, keyakinan tentang Imam Mahdi as adalah keyakinan yang tak dapat dipisahkan dari Islam. Jika Islam dipisahkan darinya, Islam bukanlah agama yang sempurna. (IA)