ICC Jakarta – Kabar kemunculan Imam Mahdi di akhir zaman sesungguhnya tidaklah khas Syi’ah, yaitu keyakinan akan datangnya kembali Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar bin Hasan al-Askary setelah mengalami kegaiban. Di kalangan Sunni, pembicaraan tentang adanya sosok Imam Mahdi, pembawa keadilan, pembasmi Dajjal, dan menjadi imam salat Nabi Isa as yang turun di akhir zaman, menjadi hal yang tidak dapat dimungkiri. Hanya saja di dalam Sunni, Imam Mahdi saat ini belum dilahirkan.
Sejarah Indonesia (yang penduduknya mayoritas Sunni) juga memuat kosa kata “Ratu Adil” sebagai penyebutan lain dari istilah “al-Mahdi”, yaitu sosok pembawa keadilan bagi masyarakat yang tertindas oleh penjajahan Kolonial. H.O.S Tjokroaminoto salah seorang di antaranya yang mendapat julukan itu. Ratu adil dalam imaji rakyat pribumi adalah sosok yang menciptakan tatanan dunia yang adil, yaitu keluarnya bangsa dari penindasan kolonial.
Dalam kitab-kitab Sunni, ada banyak riwayat yang berbicara tentang kemunculan Imam Mahdi di akhir zaman. Antara lain terdapat dalam kitab tiga perawi yang termasuk dalam Kutub al-Sittah, yaitu Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Ibnu Majah. Selain itu terdapat pula pada periwayat lain, mereka adalah al-Hakim, al-Thabrani, al-Bazzar, dan Abu Ya’la’ al-Maushili, yang juga meriwayatkan tentang kemunculan imam akhir zaman.
Muhammad Abdul Rahman al-Mabarakfury, penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ at-Tirmidzi, mengungkapkan bahwa ada banyak hadis yang berbicara tentang al-Mahdi, tetapi tidak semua dapat dipertanggungjawabkan. Kecuali beberapa di antaranya, misalnya dari Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi:
“Tidak hancur dunia (kiamat) sampai orang Arab memiliki seorang laki-laki dari keturunanku yang namanya sama dengan namaku.” (HR. At-Tirmidzi).
Menurut al-Mabarakfury, hadis ini cukup dijadikan hujjah tentang kehadiran Imam Mahdi, sebab derajatnya mencapai hasan sahih. Lanjutnya, memang hadis tersebut tidak secara eksplisit menyebut nama al-Mahdi, tetapi Imam at-Tirmidzi meletakkan hadis itu di dalam bab Ma Ja’a fi al-Mahdi (kemunculan Imam Mahdi).
Imam al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya, menyebutkan kemunculan sosok pembawa keadilan itu dengan berupa laqab (julukan):
“Akan muncul di masa akhir umatku seorang yang diberikan petunjuk (al-Mahdi), (yang pada masa itu) Allah SWT memberikan hujan kebaikan, bumi mengeluarkan tanaman-tanamannya, harta akan dibagikan secara merata, binatang ternak melimpah dan umat menjadi mulia, dia akan hidup selama tujuh atau delapan tahun.”
Al-Mahdi dalam hadis ini bukanlah nama seseorang, tetapi ia adalah julukan bagi Imam yang hadir di akhir zaman. Hadis ini−menurut al-Hakim−memenuhi syarat sahih Bukhari-Muslim, hanya saja keduanya tidak meriwayatkannya.
Betapapun banyaknya hadis-hadis Mahdiiyah (tentang al-Mahdi) beredar di kalangan Sunni, dan sebagiannya dikategorikan sahih oleh beberapa ulama, tetapi sosiolog besar muslim Sunni, Ibnu Khaldun, meragukan seluruh hadis-hadis itu, meskipun tetap menerima konsep Mahdi. Hal itu dituliskannya panjang lebar dalam satu bab di kitabnya itu−Bab tentang Pendapat Al-Mahdi Al-Fathimi dan Menyingkap Misteri tentang Dirinya, bahwa hadis-hadis tersebut semuanya mengandung kecacatan dari segi sanad; setiap jalur periwayatan terdapat perawi yang diragukan kredibilitasnya.
Meskipun begitu, Ibnu Khaldun lebih melihat Mahdiiyah sebagai satu bentuk kesempurnaan dakwah atau kekuasaan yang diikat oleh fanatisme ashobiah (primordial kekerabatan) yang melindunginya dari lawan-lawannya, sehingga kehendak Allah terwujud melalui kesempurnaan atau kejayaan itu (Ibnu Khaldun, terj. Muqaddimah, 2011: 582).
Dengan kata lain, Ibnu Khaldun memandang bahwa al-Mahdi bukanlah berbentuk person, melainkan suatu ikatan yang kuat dalam sistem masyarakat (Islam) sehingga dapat mengalahkan segala bentuk-bentuk ketidakadilan. Al-Mahdi adalah satu masyarakat yang mempraktikkan keadilan di akhir zaman.
Mengenal Alkhairaat Lebih Dekat
Alkhairaat merupakan salah satu ormas yang berkembang di Indonesia, (PB Alkhairaat) berpusat di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah, konsern bergerak di bidang pendidikan dan dakwah Islam. Alkhairaat didirikan oleh seorang keturunan Nabi (Ahlul Bait) dari kalangan Habaib. Beliau adalah Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri, yang akrab dikenal dengan sebutan Guru Tua. Sayyid Idrus Berasal dari Hadharamaut, Yaman. Silsilahnya bersambung kepada al-Husein bin Fathimah Az-Zahra binti Muhammad saw.
Kedatangan Guru Tua ke lembah Palu didahului oleh suatu peristiwa penting. Awalnya Guru Tua berencana hendak ke Mesir, guna membeberkan kondisi negaranya−Yaman−yang dijajah oleh Inggris. Tetapi ia ditahan di pelabuhan Aden, kota pelabuhan Laut Merah, bersama seorang sahabatnya, Sayyid Abdurrahman Ibnu Abdillah. Dokumen-dokumen mereka disita. Akhirnya mereka dilarang meneruskan perjalanan ke Mesir, juga dilarang pergi ke negara-negara Arab lain, kecuali kembali ke Yaman, atau pergi ke Asia Tenggara. Sayyid Abdurrahman Ibnu Abdillah memilih pulang ke Yaman, sedang Guru Tua memilih ke Indonesia.
Guru Tua dengan demikian adalah sosok ulama progresif revolusioner yang tidak hanya tinggal diam melihat kondisi negaranya. Dengan penuh kesadaran dan visi, Guru Tua melakukan sebuah upaya meski harus kandas di pelabuhan Aden.
Tahun 1930, Guru Tua tiba di Indonesia bergabung bersama keluarganya yang terlebih dahulu sudah berada di sana. Mendarat di Manado, lalu ke Pekalongan, ke Jombang, ke Indonesia Timur, dan Palu. Di Kota Palu, Guru Tua mendirikan Alkhairaat. Pendirian itu oleh dan atas inisiatif Guru Tua sendiri, dibantu oleh Sayyid Mahmud al-Rifa’i dari Desa Wani. Motivasi pendirian Alkhairaat adalah kebutuhan masyarakat Kota Palu akan pendidikan Islam, yang pada saat itu kualitasnya masih sangat minim.
Praktis pada tanggal 14 juli tahun 1930, resmi berdiri Madrasah Alkhairaat pertama. Dalam kurun waktu 26 tahun (1930 – 1956), Alkhairaat telah membuka 25 cabang madrasah/sekolah ke daerah-daerah. Pada Muktamar Besar IX Alkhairaat tahun 2008, Fadel Muhammad sebagai Ketua Yayasan Alkhairaat melaporkan tenaga pengajar Alkhairaat kurang lebih berjumlah 8.000 orang, dan pelajar sebanyak 180.000 orang. Kini cabang/madrasah Alkhairaat tersebar di 13 provinsi meliputi dataran Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Jawa (DKI Jakarta).
Alkhairaat memiliki 1 universitas, yaitu UNISA (Universitas Alkhairaat) yang ada di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Selain konsern di bidang pendidikan yaitu dengan mendirikan sekolah dan madrasah, Alkhairaat juga mengembangkan dakwah dengan pelbagai saluran. Antara lain membentuk majelis-majelis zikir, majelis pengajian, bahkan yang lebih modern dengan berdakwah melalui media yang didirikan oleh Alkhairaat sendiri: Radio Alkhairaat (RAL), dan Media Alkhairaat (MAL).
Alkhairaat juga ikut ambil bagian dalam memerhatikan masalah-masalah sosial. Masyarakat tidak lepas dari kegiatan ekonomi dan kesehatan. Olehnya, Alkhairaat juga mendirikan Swalayan Alkhairaat (SAL), juga mendirikan rumah sakit yang diberi nama Rumah Sakit Sis Al-Jufri.
Konsep Mahdi di Alkhairaat
Alkhairaat adalah organisasi yang berhaluan teologi Asy’ariyah dan bermazhab fikih Syafi’i. Dengan demikian, Alkhairaat adalah termasuk dalam golongan Ahlussunnah wal Jamaah. Hal itu didasarkan pada syair Guru Tua berikut ini:
“Sungguh amaliah norma hidupku berdasarkan pola dan jalur mazhab Syafi’i bilakan aku wafat maka aku berwasiat pernah harap agar sesudahku nanti hendaknyalah kalian menjadikan Syafi’i panutan”.
Jadi, dalam hal konsep Mahdi, Alkhairaat sesuai dengan pandangan mazhab Ahlussunnah Wal Jamaah. Hanya saja memang tema-tema mengenai kedatangan imam akhir zaman amat sangat jarang terdengar dalam pembicaraan kalangan Alkhairaat. Termasuk syair-syair yang berasal dari Guru Tua, tidak ditemukan syair yang secara eksplisit menggambarkan kedatangan al-Mahdi di akhir zaman.
Ketiadaan syair-syair itu sekurang-kurangnya disebabkan dua hal. Pertama, Guru Tua memfokuskan dakwahnya pada pendalaman praktik syariat dan fikih sehari-hari. Pendidikan Islam yang dirintis oleh Guru Tua mulai pada tingkat dasar; Guru Tua mendidik dan berdakwah sesuai dengan bahasa kaum yang hidup di masa itu.
Sedang pembahasan mengenai al-Mahdi adalah bagian dari isu teologis yang itu membutuhkan pemahaman nash-nash, sejarah, serta ditopang dengan pemahaman yang mendalam tentang Islam. Oleh sebab itu maka wajarlah jika syair-syair kemahdian tidak dijumpai.
Kedua, sebagaimana yang dikemukakan oleh Rifki Rianto dalam Jurnal Nosarara: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial Vol. 7, No. 1 Maret 2019, bahwa banyak syair-syair Guru Tua belum beredar di kalangan masyarakat luas, sebab belum diterjemahkan. Kebanyakan syair-syair yang beredar hanya berkaitan dengan pendidikan, yang salah satunya dikupas dalam sebuah jurnal terakreditasi di Gorontalo (Lihat Saifulhaq Inaku, Jurnal Ilmiah al-Jauhari, volume 2, No. 1, Juni 2007, ISSN: 2541-3430).
Namun, jika menggunakan perspektif Ibnu Khaldun bahwa al-Mahdi lebih kepada satu zaman yang dipenuhi oleh keadilan sebelum kiamat, disebabkan adanya ikatan ashobiah yang kuat, maka bisa dikata bahwa Alkhairaat kini tengah menyambut datangnya zaman itu dengan mempersiapkan kader-kader yang diberi petunjuk (Mahdi) untuk mewujudkan keadilan di akhir zaman, di mana zaman itu telah diracuni oleh sistem dajjal (kapitalisme global).
Melalui pendidikan dan juga dakwah Islam yang diselenggarakan dengan baik, niscaya akan tercipta ketinggian derajat umat Islam. Hal itu seakan-akan sudah terbayang di benak Guru Tua, seolah-olah ada kerinduan akan datangnya zaman itu. Bahwa kelak di suatu zaman, melalui pendidikan dan dakwah, Islam yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan akan ditinggikan, menjadi jaya di atas umat-umat lain. Sebagaimana tergambar dalam syair Guru Tua berikut ini:
“Dengan ilmu setiap bangsa menjadi tinggi di antara umat manusia,
dan mencapai kemuliaan di antara bangsa-bangsa.
Manusia terkadang mengungguli teman-temannya,
jika ia memiliki ilmu terbanyak.”
Atau dalam syairnya yang lain:
“Bergiatlah kalian menuntut ilmu hai para murid Alkhairaat, orang-orang berilmu menempati derajat yang tinggi.”
Dari syair-syair Guru Tua di atas, dapat dipetik hikmah bahwa untuk memenuhi zaman dengan keadilan, tidak bisa diharapkan datang begitu saja. Mesti diupayakan dengan usaha memperbanyak ilmu, yakni dengan pendidikan dan dakwah Islam.
Oleh Saeful Ihsan