Mutarjim: Ustadz Ahmad Hafidh Alkaf
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Setelah memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala dan menyampaikan shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarganya yang suci, dan para Aimmah Maksumin, terkhusus Shohibul Asri Waz-Zaman afs, malam ini adalah malam terpukulnya kepala suci Ali bin Abi Thalib di mihrabnya. Malam pertama Ihya Lailatul Qadar, malam yang sangat penting dan sangat indah, yang memiliki nilai yang sangat tinggi.
Karena itulah, pertama-tama saya ingin menyampaikan salam takziah, salam bela sungkawa kepada Shohibul Asri Waz-Zaman afs. Seraya memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan kemurahannya dan dengan keagungannya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan semua hajat ikhwan dan akhwat yang hadir di sini dan juga hajat seluruh kaum mukminin dan seluruh kaum muslimin.
Malam ini adalah malam Lailatul Qadar berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadah munajat, kehadiran di majelis-majelis, di masjid-masjid, di Husainiyah-husainiyah seperti ini, dan menghidupkan malam seperti ini memiliki nilai lebih baik daripada ibadah 1000 bulan, yang kurang lebih adalah 80 tahun. Karena itulah, sampai subuh nanti, sampai fajar menyingsing, hendaknya kita memperhatikan apa yang kita lakukan dan semoga kita bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dengan amal perbuatan baik kita. Insya Allah.
Ada tiga permasalahan. Yang pertama adalah bahwa ibadah di malam ini lebih utama dan lebih mulia dibandingkan ibadah selama 80 tahun lebih.
Yang kedua adalah di malam Qadar seperti ini, malaikat terbesar, atau yang disebut oleh Allah dengan sebutan Ruh, turun untuk mendatangi Shohibul Asri Waz-Zaman afs dengan membawa catatan amalan perbuatan kita untuk mendapatkan imbauan atau persetujuan dari beliau.
Yang ketiga adalah malam Qadar, malam Lailatul Qadar, malam di mana Allah subhanahu wa ta’ala menentukan apa yang akan terjadi dari mulai malam ini sampai Ramadhan tahun depan. Apa saja yang terjadi pada diri kita, kesuksesan-kesuksesan kita, hajat-hajat yang akan dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, kesulitan-kesulitan yang akan terurai, dan semua apa yang akan terjadi akan ditulis oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Karena itu, kita harus menghargai dan mengetahui dengan baik keagungan dan kemuliaan malam ini.
Ada serangkaian amalan yang hendaknya dilaksanakan pada malam hari ini, di antaranya salat dua rakaat yang tadi sudah dijelaskan, dan insya Allah antum semua sudah melaksanakannya. Yang kedua adalah sambil duduk seperti sekarang ini, ambil tasbih untuk membacakan “Ya Allah, kutuklah para pembunuh Amirul Mukminin” sebanyak 100 kali. Berikutnya adalah banyak membaca istighfar dan memohon ampun kepada Allah dengan mengucapkan “Astaghfirullaha rabbi wa atubu ilaih.” Amalan berikutnya adalah banyak-banyak membaca “Allahumma kun liwaliyyikal hujjatibnil hasan.”
Pembahasan yang ingin saya angkat pada malam ini, sehubungan dengan peringatan terpukulnya kepala suci Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib dan malam Lailatul Qadar, adalah membahas mengenai apa saja yang membuat manusia bisa berbangga.
Ada beberapa faktor yang membuat manusia bisa berbangga, dan dengan memiliki faktor-faktor tersebut, orang bisa mengukir kebanggaan. Insya Allah saya akan menjelaskan beberapa hal di antaranya.
Dalam kehidupannya, manusia mungkin akan merasa berbangga. Yang menjadi pertanyaan adalah, dengan apa dia bangga? Apa yang membuat dia bangga?
Yang pertama adalah faktor yang membuat orang berbangga adalah keberhasilan pribadi yang telah dicapai. Misalnya, seorang berhasil dalam pendidikannya, berhasil mengukir prestasi dalam kegiatan akademiknya. Misalnya, dia berhasil menjadi juara pertama lomba Olimpiade di Indonesia, lomba Olimpiade Matematika atau Fisika tingkat nasional, atau mungkin bahkan lebih dari itu, di tingkat Asia Tenggara. Orang yang berhasil mengukir prestasi semacam itu akan berbangga dengan keberhasilannya.
Yang kedua, orang bisa berbangga karena dia memiliki nilai-nilai mulia, nilai-nilai akhlak yang mulia. Misalnya, dia adalah seorang yang jujur dalam berkata-kata, orang yang cenderung kepada keadilan, orang yang suka berbuat baik kepada orang lain, orang yang suka toleransi kepada orang lain, bergaul dengan orang lain dengan baik. Kelebihan-kelebihan dan nilai-nilai akhlak semacam ini, jika dimiliki oleh seseorang, orang itu berhak untuk bangga memiliki sifat-sifat tersebut.
Berikutnya, yang membuat orang bisa berbangga adalah ketika dia memiliki peran dan pengaruh positif di tengah masyarakat. Dia membantu masyarakatnya, menyebarkan ilmu pengetahuan, meningkatkan wawasan masyarakat, orang yang andil dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, melayani masyarakat di husainiyah-husainiyah, dan kegiatan-kegiatan sosial. Jika orang memiliki keberhasilan semacam ini atau memiliki sifat-sifat semacam ini dan peran semacam ini, dia layak untuk berbangga.
Yang keempat adalah kebanggaan seseorang dari sisi identitas budaya dan kebangsaannya. Seorang mungkin bangga karena dia tergolong dari suatu bangsa tertentu, dari budaya tertentu, dan dia menjaga tradisi-tradisi positif yang ada di budaya itu. Misalnya, seperti orang di Indonesia, di Indonesia ada budaya yang namanya silaturahmi yang mungkin jarang ditemukan di tempat-tempat lain. Di Indonesia, mungkin jarang kita menemukan panti jompo. Orang-orang Indonesia lebih suka untuk menjaga dan merawat orang tuanya di rumah daripada menitipkannya di panti jompo. Ini adalah suatu kelebihan yang dimiliki oleh suatu bangsa dan suatu budaya. Jika seseorang memiliki budaya semacam itu, dia bisa membanggakan dirinya karena dia termasuk dari orang-orang yang berada di budaya itu.
Poin-poin yang tadi disebutkan adalah faktor-faktor yang jika orang memilikinya, dia bisa bersuara lantang dengan mengatakan, “Aku bangga memiliki kelebihan-kelebihan ini.”
Yang kelima adalah identitas keagamaan dan mazhab. Seorang bisa berbangga ketika dia menyatakan dengan suara lantang, “Aku adalah seorang Muslim, aku adalah seorang pecinta Ali, aku adalah pecinta Ahlulbait, aku adalah Syiahnya Ali, aku pengikut Ali, aku pengikut Al-Husain.” Dengan memiliki penisbatan diri kepada manusia-manusia suci semacam itu dan mazhab yang suci, dia bisa berbangga di hadapan yang lain.
Apa dalil dan argumentasi yang bisa menguatkan bahwa kita patut untuk berbangga dan bersuara lantang di hadapan semua orang bahwa kami adalah orang-orang pecinta dan pengikut Amirul Mukminin?
Saya, dengan melihat kesempatan yang ada dan keterbatasan waktu yang ada, akan menyebutkan beberapa dalilnya. Setelah mendengarkan dalil-dalil itu, kita bisa berbangga dan bersuara lantang dengan mengucapkan, “Aku adalah seorang Muslim, aku adalah pengikut dan Syiah-nya Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib.”
Yang pertama adalah bahwa Syiah merupakan kelompok yang mengikuti Ahlulbait, memiliki cinta yang dalam kepada Ahlulbait, meniru dan meneladani sirah serta perilaku Ahlulbait AS. Kecintaan kepada Ahlulbait memiliki pengaruh dan faedah yang sangat besar bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Manfaat atau pengaruh pertama dari mahabbah atau cinta kepada Ahlulbait adalah, seperti disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau bersabda, “Kecintaan kepada kami, Ahlulbait, akan menghapuskan dosa-dosa dan akan melipatgandakan nilai pahala.”
Riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ingin mendapatkan tawakal kepada Allah dengan makna yang sebenarnya, hendaknya dia mencintai Ahlulbaitku. Barang siapa ingin selamat dari azab kubur, hendaknya dia mencintai Ahlulbaitku. Barang siapa menginginkan hikmah dan kebijaksanaan, hendaknya mencintai Ahlulbaitku. Barang siapa ingin masuk surga tanpa hisab, hendaknya mencintai Ahlulbaitku.” Lalu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam melanjutkan, “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang mencintai Ahlulbaitku kecuali dia akan mendapatkan keuntungan dunia dan keuntungan akhirat.”
Apakah hadis ini tidak memberikan kepada kita kebanggaan, sehingga kita bisa mengatakan kepada orang lain, “Kami mencintai Ahlulbait”?
Riwayat yang lain diriwayatkan dalam kitab-kitab Ahlussunnah, di antaranya dalam kitab Manakib Ibn Sadan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menentukan untuk saudaraku Ali Bin Abi Thalib serangkaian keutamaan yang banyaknya tidak terhitung.” Lalu Rasulullah mengatakan, “Barang siapa yang menyampaikan atau membaca satu fadhilah (keutamaan) dari keutamaan-keutamaan Ali, sambil dia mengakui keutamaan-keutamaan tersebut, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan dosa-dosanya yang akan datang. Barang siapa yang menulis satu keutamaan dari keutamaan-keutamaan Ali, maka para malaikat akan selalu dan terus menerus beristighfar untuknya selama tulisan itu masih ada. Barang siapa yang mendengarkan satu saja keutamaan dari keutamaan-keutamaan Ali, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuni semua dosa yang dia lakukan dengan telinganya. Barang siapa yang melihat tulisan yang memuat keutamaan-keutamaan Ali, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuni semua dosa yang dilakukan dengan pandangan matanya.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Memandang kepada Ali Bin Abi Thalib adalah ibadah, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan pernah menerima keimanan seorang hamba pun kecuali dengan berwilayah kepadanya dan berlepas diri dari musuh-musuhnya.”
Seseorang mungkin akan berbangga jika dia menjadi sopir bagi seorang miliarder, orang yang kaya raya, atau dia menjadi wakil dari seorang direktur yang memiliki kedudukan tinggi. Atau mungkin dia akan menjadi seorang satpam di rumah orang yang terkenal; dia akan bangga dengan itu. Apakah lantas kita tidak berbangga menjadi pengikut dan Syiah-nya Ali Bin Abi Thalib, yang mana memandang Ali adalah ibadah dan berbicara tentang Ali adalah ibadah?
Bukankah kita layak untuk berbangga menjadi pecinta dan Syiah-nya Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib, yang mana beliau pernah mengatakan, “Aku telah diajari oleh Rasulullah 1000 macam ilmu, yang dari setiap ilmunya memunculkan cabang seribu”? Apakah kita tidak berbangga dengan orang yang mengatakan, “Aku lebih tahu jalan-jalan di langit daripada jalan-jalan yang ada di bumi”? Orang yang sama juga pernah mengatakan sambil menunjuk ke dadanya, “Di sini ada ilmu yang tak terbilang banyaknya.”
Kedua adalah kedudukan-kedudukan yang dimiliki oleh para pengikut dan pecinta Ali bagi Syiah-nya Ali, yang fadhilah-fadhilah atau keutamaan-keutamaan disampaikan oleh Rasulullah dan juga disampaikan oleh para Aimmah Maksumin Alaihissalam dalam riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang keutamaan para pengikut dan Syiah-nya Amirul Mukminin.
Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Abu Hamzah At-Tsumali dari Imam Shadiq Alaihissalam, Imam Shadiq mengatakan, “Aku mengenal suatu kaum yang mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengampuni mereka, ridha terhadap mereka, melindungi mereka, menyayangi mereka, dan menjaga mereka dari semua keburukan. Allah menguatkan mereka dan mengokohkan mereka, memberikan petunjuk kepada mereka untuk berjalan kepada semua hal yang baik, dan membawa mereka kepada puncak kesempurnaan dan kebaikan.” Lalu ditanya, “Siapakah mereka, ya Abu Abdillah?” Imam Shadiq menjawab, “Mereka adalah Syiah kami yang baik, Syiah Ali.”
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Kelak di hari kiamat, akan didatangkan kaum-kaum yang mana mereka berada di mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya. Wajah-wajah mereka bersinar seperti bersinarnya bulan di malam purnama, yang mana orang-orang yang dulu maupun orang-orang yang datang belakangan akan iri terhadap keagungan dan kemuliaan mereka.” Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam terdiam dan mengulangi apa yang beliau katakan tiga kali. Saat itu, sahabat Umar Bin Khattab bertanya, “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, apakah mereka para syuhada?” Rasulullah menjawab, “Mereka adalah syuhada, tapi bukan syuhada seperti yang kalian duga.” Sahabat Umar kemudian bertanya lagi, “Apakah mereka Ausia para Washi?” Rasulullah menjawab, “Mereka Ausia, tapi bukan Ausia seperti yang kalian duga.” Ditanya lagi, “Ya Rasulullah, apakah mereka penduduk langit atau penduduk bumi?” Rasulullah menjawab, “Mereka adalah penduduk bumi.” Ditanya lagi, “Ya Rasulullah, siapakah mereka? Beri tahu aku.” Rasulullah menjawab sambil menunjuk kepada Ali Bin Abi Thalib, “Dia dan Syiah-nya.”
Di dalam riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda kepada Ali Bin Abi Thalib, “Wahai Ali, maukah engkau mendengarkan kabar gembira dariku?” Amirul Mukminin Ali menjawab, “Ya Rasulullah, aku suka jika mendengarkan hal itu.” Lalu Rasulullah mengatakan, “Kekasihku, Jibril baru saja memberitahuku dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan kepada pecintamu dan Syiah-mu tujuh hal. Yang pertama adalah perlakuan lemah lembut dari malaikat pencabut nyawa saat dia menghadapi kematian. Yang kedua adalah rasa tenang saat dia berada dalam kekalutan. Malaikat akan datang untuk memberikan ketenangan kepadanya. Yang ketiga adalah cahaya saat terjadi gelap gulita, dengan cahaya wilayah. Yang keempat adalah rasa aman saat semua orang merasa takut. Yang kelima adalah akan mendapatkan keadilan yang tinggi saat timbangan amalnya ditimbang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang keenam adalah bisa melewati jembatan Sirat di akhirat nanti dengan cepat. Dan yang ketujuh adalah masuk ke surga lebih dulu dari semua umat, 80 tahun lamanya.”
Apakah dengan demikian kita bisa berbangga dan tidak boleh berbangga menjadi Syiah-nya Amirul Mukminin? Apakah dengan adanya semua keutamaan itu kita tidak berhak untuk mengangkat kepala kita dan berseru di hadapan semua orang, “Kami adalah pengikut Amirul Mukminin”?
Orang yang memiliki paspor Singapura atau paspor negara Eropa mungkin akan berbangga kepada orang lain dengan mengatakan, “Aku punya paspor yang dengan paspor ini aku bisa pergi ke semua negara, 200 negara di dunia. Aku bisa datang ke sana.” Apakah kemudian kita, yang mendapatkan paspor dari Amirul Mukminin karena wilayah kita kepada Amirul Mukminin, mendapatkan kesempatan dan keutamaan untuk bisa melewati jembatan Sirat dengan cepat, tidak pantas untuk berbangga?
Hal ketiga yang membuat seseorang bisa berbangga karena menjadi Syiah dan mengikut Ali Bin Abi Thalib adalah hubungan kuat Syiah dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala lewat doa-doa yang diajarkan oleh Ahlulbait, di mana kita bisa mendapatkan doa seagung Doa Kumail, di mana kita bisa mendapatkan doa seagung Doa Abu Hamzah At-Tsumali, Doa Sobhah, doa munajat-munajat Imam Zainal Abidin as, Shahifah Sajjadiyah. Semua itu mengajarkan kepada kita hubungan yang kuat dan dalam antara seorang hamba dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kita memiliki kebanggaan-kebanggaan. Nahjul Balaghah berasal dari kita dan memuat kata-kata Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Kita memiliki Doa Arafah dari Imam Husain yang sedemikian agung kandungannya. Jika semua manusia, kecuali para Maksumin, kecuali para Nabi dan para Aimmah, berkumpul semua untuk menyusun satu halaman saja dari doa seagung Doa Arafah, maka mereka tidak akan mungkin bisa melakukannya. Apakah kita tidak berbangga dengan adanya kekayaan-kekayaan yang kita miliki seperti ini? Apakah kita tidak bisa berbangga? Apakah kita harus merahasiahkan identitas kita? Bukan kita, tetapi orang lain. Bukan saya sebagai pengikut Amirul Mukminin, sebagai pengikut dari orang-orang yang pemimpin-pemimpin kita adalah orang-orang yang suci dan orang-orang besar seperti Amirul Mukminin.
Unsur keempat yang membuat kita berbangga menjadi pengikut Ahlulbait adalah karena apa yang kita ikuti merupakan ajaran Islam yang hakiki. Bukankah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis Ahlussunnah seperti Shahih Muslim, bersabda sebelum wafat beliau: “Aku telah meninggalkan kepada kalian dua pusaka, yaitu Kitabullah Al-Qur’an dan keluargaku. Tidak mungkin kalian akan tersesat jika kalian berpegangan pada keduanya.” Apakah kita tidak berbangga karena kitalah orang-orang yang mengikuti Ahlulbait sesuai dengan perintah Rasulullah dalam hadis tersebut?
Apapun juga kebanggaan yang dimiliki oleh seseorang untuk bisa berbangga dengan akidah dan kepercayaannya, semua faktor-faktor yang membuat orang berbangga, kita sebagai pengikut Ahlulbait memilikinya dengan sempurna.
Kita memiliki pemimpin selayaknya Ali bin Abi Thalib. Kita memiliki pemimpin Syahid-us-Syuhada. Pemimpin kita adalah Imam Baqir, Imam Shadiq. Kita memiliki seorang wanita mulia yang Maksumah, yaitu Sayyidah Fatimah Az-Zahra. Siapa yang memiliki keagungan-keagungan dan kebanggaan-kebanggaan ini selain kita?
Semua unsur-unsur dan faktor-faktor untuk memicu kebanggaan kita, kita miliki semuanya. Karena itu, kita layak untuk mengangkat kepala kita, layak untuk berbangga di hadapan orang lain dengan mengatakan, “Kami adalah pengikut Ahlulbait AS.”
Malam ini, Amirul Mukminin menjadi tamu di rumah putrinya, Zainab dan Ummu Kultsum. Saat datang iftar, beliau duduk di sofrah, duduk di jamuan. Di jamuan itu ada sekerat roti, ada susu, dan ada garam. Imam Ali kemudian mengatakan kepada putrinya, “Wahai putriku, kapan engkau pernah melihat ayahmu memakan sesuatu dengan dua lauk?” Ikhwan dan akhwat sekalian, yang dikatakan dua lauk itu adalah yang pertama garam, yang kedua adalah susu. Imam kemudian mengambil roti, mengambil garam, dan memberikan susu kepada putrinya. Setelah makan beberapa suapan, beliau kemudian berdiri dan melakukan ibadah. Malam itu, beliau tidak tidur. Berulang kali beliau keluar dari rumah untuk menatap ke langit, menatap bintang-bintang, dan terkadang beliau mengucapkan kata-kata, “Ya Allah, mudahkan aku dalam menyongsong kematian. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Ditanya, “Wahai Amirul Mukminin, gerangan apa yang akan terjadi?” Amirul Mukminin menyatakan, “Bahwasanya malam ini orang yang paling sengsara di antara orang-orang yang akhir akan datang mendekatiku.”
Menjelang subuh, Imam Ali Alaihissalam keluar dari rumah putrinya untuk menuju ke masjid. Dalam perjalanan itu, di pekarangan rumah, di halaman rumah, angsa-angsa peliharaan putri Imam Ali bin Abi Thalib seakan-akan mencegah Imam Ali untuk melangkah ke masjid. Seakan-akan angsa itu tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi. Imam Ali kemudian mengatakan kepada putrinya, “Wahai putriku, kalau bisa lepaskan angsa-angsa ini, kalau engkau mau memeliharanya, peliharalah dengan baik.”
Kemudian Imam Ali bin Abi Thalib mengencangkan ikat pinggangnya, seakan-akan seluruh alam telah memberikan petunjuk bahwa peristiwa besar akan terjadi. Imam Ali memasuki masjid. Di dalam masjid, beliau mendapati banyak orang yang tertidur. Beliau membangunkan mereka untuk melaksanakan salat sunnah tahajud. Malam itu, salah satu orang yang tidur di masjid adalah Ibnul Muljam Al-Muradi. Dia tidur dengan keadaan tertelungkup, menyembunyikan pedang di balik pakaiannya. Imam Ali dengan bisikan mengatakan sesuatu kepada dia, “Wahai Ibnul Muljam, engkau telah membuat keputusan yang sangat besar, keputusan yang mengguncang arasy Ilahi dan membuat para malaikat akan menangis.”
Bangunlah, lalu Imam Ali bin Abi Thalib melaksanakan salat. Ketika sudah tiba waktu fajar, beliau pergi ke tempat adzan dan mengumandangkan adzan terakhir yang dikumandangkan oleh Ali bin Abi Thalib, terdengar di seluruh penjuru kota Kufah. Setelah adzan, beliau turun dari tempat adzan dan melaksanakan salat sunnah qobliyah subuh. Setelah melaksanakan salat sunnah, shaf pun diatur. Semua siap untuk melaksanakan salat berjamaah bersama Imam Ali, salat berjamaah terakhir bersama Maula Ali bin Abi Thalib.
Semua orang sudah siap untuk melaksanakan salat berjamaah. Imam Ali pun mengucapkan takbir, “Allahu Akbar,” salat subuh terakhir bersama umat beliau, kemudian membacakan surat Al-Fatihah dengan lantunan yang indah dan penuh kekhusukan. Rakaat pertama selesai, beliau pun kemudian bergerak menuju sujud. Saat beliau sujud, semua makmum ikut sujud bersama dengan beliau. Pada saat sujud itulah, Ibnul Muljam memisahkan diri dari shaf dan kemudian lari ke mihrab. Ketika Ali bin Abi Thalib mengangkat kepalanya dari sujud, ia memukulkan pedang yang telah diracuninya dengan racun yang sangat kuat, senilai 1000 dirham, ke kepala Amirul Mukminin Ali as, sehingga kepala itu pecah, tengkorak kepala itu pecah, mengucurkan darah.
Kata-kata pertama yang keluar dari Ali bin Abi Thalib adalah, “Demi Tuhan Ka’bah, aku telah sukses menjalani kehidupan ini.” Tiba-tiba angin bertiup menggetarkan dinding-dinding, pintu-pintu, dan jendela-jendela masjid. Ada apa gerangan? Terdengar suara yang mengatakan, “Demi Allah, sendi-sendi petunjuk sekarang tergoncang, telah terbunuh sepupu Al-Mustofa, telah terbunuh Ali Al-Murtadha.”
Orang-orang mengelilingi Amirul Mukminin, lalu mereka menyediakan tikar dan mengangkat tubuh Amirul Mukminin dengan tikar tersebut ke rumah beliau. Mendekati pintu rumah, Amirul Mukminin mengatakan kepada mereka, “Turunkan aku, biarkan aku berjalan menuju pintu rumah Zainab. Aku tidak tega jika melihat Zainab menyaksikan kondisiku semacam ini. Aku tidak mau dia bersedih karena kondisiku yang seperti ini.”
“Wahai Amirul Mukminin, engkau tidak tega melihat Zainab saat menyaksikan keadaanmu. Bagaimana dengan kondisi di Karbala? Di Karbala, Zainab menyaksikan tubuh Al-Husain dicincang-cincang oleh orang-orang durjana di tempat penyembelihan. Sampai-sampai Zainab mengatakan, ‘Apakah engkau, Husainku? Apakah engkau putra ibuku? Apakah engkau saudaraku, Husain yang dulu pernah digendong oleh Al-Mustofa, dan sekarang terjerembab dan terlentang di padang Karbala?'”
Malam ini adalah malam Lailatul Qadar, malam kesedihan Amirul Mukminin, tapi anda semua menangis untuk Abu Abdillahil Husain. Ketahuilah bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala meridhai semua ini. Kita duduk di tempat yang nama Allah sering disebut. Jika Allah tidak akan mengampuni kita, Allah tidak mungkin akan mengundang kita untuk hadir di sini. Jika Allah tidak akan mengabulkan hajat-hajat kita, Allah tidak akan membawa kita untuk datang ke sini.