ICC Jakarta – Ketika Rasulullah Saw sangat sedih kehilangan dua putranya yang bernama Abdullah dan Qasim, orang-orang musyrik girang mendengar kabar ini, bahkan mereka menghina beliau sebagai orang yang “abtar”, atau orang yang tidak memiliki keturunan. Dalam situasi ini, Sayidah Fatimah yang kelak akan meneruskan keturanan Rasul lahir, dan Allah Swt menurunkan surat al-Kautsar sebagai kabar gembira yang disampaikan kepada Rasulullah Saw.
Dalam surat al-Kautsar ayat 1-3, Allah swt berfirman,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-Kautsar. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus [keturunannya].
Mufasir kenamaan Fahr al-Razi saat menafsirkan surat al-Kautsar menulis, “Kautsar memiliki delapan makna dan semuanya berkaitan dengan Sayidah Fatimah az-Zahra.” Kemudian ulama Sunni ini pun menuliskan bahwa sejumlah Imam Maksum AS lahir dari keturunan Fatimah AS seraya menyebut keberadaan mereka sebagai dalil atas kebaikan yang banyak dari perempuan agung ini.
Kedudukan spiritual Sayidah Fatimah yang sangat tinggi membuatnya ia mampu berbicara dengan malaikat karena kemampuan berbicara dengan malaikat ini, maka ia disebut dengan “muhaddatsah”, artinya orang yang mampu berkomunikasi dengan malaikat. Ya meskipun Sayidah Zahra bukan merupakan seorang nabi, namun karea kedudukan mulianya ia mampu berbicara dengan malaikat.
Sayidah Fatimah az-Zahra adalah penghulu para wanita seluruh alam, dari awal sampai akhir. Sayidah Fatimah dikenal keteladanannya dalam rumah tangga. Beliau contoh terbaik dari sosok istri dan ibu. Bersama suaminya, Ali bin Abi Thalib, Sayidah Fatimah menjalani suka dan duka kehidupan, dan sepanjang sejarah hingga kini sebagai teladan keluarga terbaik.Terkait hal ini, Imam Ali berkata, “Demi Allah dia tidak pernah membuatku marah dan tidak pernah menolak perintahku sama sekali. Kapan saja aku melihat Fatimah, maka hilanglah semua kesedihanku.”(Biharul Anwar, jil. 43, hal 134).
Sayidah Zahra adalah teladan dalam keifahan. Aturan yang diterapkan nabi untuknya semakin membuatnya untuk membantu ia dalam menjalankan hal-hal yang sesuai dengan kodrat perempuannya. Pada permulaan malam setelah pernikahan Imam Ali dan Sayidah Fatimah, Rasulullah Saw membagi pekerjaan untuk mereka berdua, pekerjaan dalam rumah adalah urusan Sayidah Fatimah sedangkan pekerjaan di luar rumah adalah urusan Imam Ali as. Setelah pembagian itu Sayidah Fatimah as berkata, “Hanya Allah yang tahu betapa gembiranya aku akan pembagian kerja ini. Karena Rasulullah Saw telah menghalangi aku dari melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan lelaki.” (Biharul Anwar, jilid 43, hal 81). Dengan pembagian ini, ia bisa berkonsentrasi dalam menjalankan kewajiban agamanya dan utamanya mendidik putra-putranya menjadi generasi yang berbobot.
Mengenai sisi ibadahnya, Sayidah Fatimah juga paling utama. Ia adalah perempuan yang sangat baik dalam menolong dan menyiapkan kondisi bagi suaminya untuk menjadi sebaik-baik hamba. Ia adalah istri yang menjadi mitra dan teman bagi suaminya untuk menjadi hamba yang baik. Ketika Imam Ali as ditanya Rasulullah Saw, bagaimana engkau menilai Fatimah? Imam Ali as menjawab, “Ia adalah sebaik-baiknya penolong dalam ketaatan kepada Allah.”(Biharul Anwar, jil. 43, hal 117)
Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, ia pun menjadi seorang istri yang qanaah dan mencukupkan diri dengan apa-apa yang ada. Ia tidak menuntut suaminya untuk membelikan atau menyediakan segala hal yang berada di luar kemampuannya. Dalam hal ini beliau berkata kepada Imam Ali as, “Aku malu kepada Tuhanku bila aku meminta sesuatu kepadamu sementara engkau tidak mampu memenuhinya.”(Amali Syeikh Thusi, jil. 2, hal 228).
Berkaitan dengan karakteristik Sayidah Fatimah, Imam Ali, orang yang paling dekat dengannya berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Ia dinamakan Fatimah, karena Allah Swt akan menyingkirkan api neraka darinya dan dari keturunannya.Tentu keturunannya yang meninggal dalam keadaan beriman dan meyakini segala sesuatu yang diturunkan kepadaku’,”(Bihar al-Anwar, jil. 43, hal 18-19).
Sayidah Fatimah juga memainkan peran penting dalam masyarakat terutama meningkatkan budaya dan pemikiran masyarakat ketika itu. Ia tidak tinggal diam ketika hak-haknya dalam mempertahankan fadak sebagai warisan dari ayahandanya direbut oleh penguasa waktu itu. Ia pun berdiri dan membela suaminya ketika hak kekhalifahannya dirampas oleh musuh-musuhnya. Ia memberikan pelajaran kepada masyarakat supaya tidak tunduk kepada kezaliman. [SZ]