Imam Jakfar ash-Shadiq a.s. dilahirkan pada bulan Rabiul Awwal tahun 83 Hijriah pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, Dinasti Bani Umayyah dan wafat pada bulan 25 Syawal atau riwayat kedua pada bulan Rajab tahun 148 Hijriah, pada masa kekhalifahan Abu Manshur dari Bani Abbas. Di antara dua masa itu beliau menyaksikan periode transisi perpindahan kekhalifahan dari satu dinasti ke dinasti lainnya.
Imam Jakfar ash-Shadiq as adalah syeikh para imam. Karena, dari semua imam tidak ada yang memiliki umur yang lebih panjang darinya. Pada saat meninggalkan dunia ini Imam Jakfar ash-Shadiq a.s. berumur 65 tahun. Umur beliau yang relatif panjang ini berlangsung pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas yang sedang sibuk bertarung satu sama lainnya. Sungguh ini merupakan kesempatan emas bagi Imam Jakfar ash-Shadiq untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan mendirikan padepokan ilmu pengetahuan yang besar.
Kata-kata qala ash-Shadiq (telah berkata Imam ash-Shadiq) telah menjadi slogan ilmu pada masa itu. Beliau berhasil dalam menyebarluaskan hakikat-hakikat Islam. Sejak zaman itu hingga zaman kita sekarang, setiap ulama dan ilmuwan (baik dari kalangan mazhab Syiah maupun mazhab-mazhab yang lain) sering menyebut nama Imam Jakfar ash-Shadiq di dalam kitab-kitab mereka. Mereka menyertainya dengan menyebut madrasah yang didirikan oleh Imam Jakfar ash-Shadiq, banyaknya jumlah murid yang berguru kepadanya, dan juga lompatan besar yang diberikannya pada pasar ilmu dan kebudayaan Islam. Mereka semua juga mengakui ketinggian tingkat ketakwaan, spiritualitas, dan ibadah beliau.
Para perawi hadis mencatat nama-nama orang yang berguru kepada Imam Jakfar ash-Shadiq a.s. Mereka mengatakan bahwa tidak kurang dari empat ribu orang yang berguru kepada Imam Jakfar dan sebagian dari mereka berasal dari berbagai tingkatan dan dari berbagai kalangan yang mempunyai keyakinan, pendapat, dan pemikiran yang bermacam-macam.
Imam Jakfar ash-Shadiq hidup pada suatu zaman di mana selain terjadi peristiwa-peristiwa politik yang besar, juga terjadi serangkaian peristiwa sosial yang rumit dan membingungkan. Jihad yang paling penting yang harus dilakukan adalah jihad di dalam masalah-masalah ini. Tuntutan zaman pada masa Imam Jakfar yang hidup pada pertengahan pertama abad kedua sangat berbeda dengan tuntutan zaman pada masa Imam Husain a.s. yang hidup kira-kira pada pertengahan abad pertama.
Pada pertengahan abad pertama, bagi orang-orang yang hendak berkhidmat kepada Islam, di dalam negara Islam tidak ada lebih dari satu medan, yaitu tidak lain selain dari medan perlawanan untuk menentang kekuasaan kekhalifahan yang telah menyimpang dari kebenaran. Seluruh medan yang lain belum ada pada masa itu, dan kalau pun sudah ada namun belum begitu menjadi sesuatu yang penting. Peristiwa-peristiwa dunia Islam, seluruhnya terkait dengan permasalahan kekhalifahan, dan dari sisi roh dan pemikiran masyarakat masih hidup di dalam kesederhanaan masa-masa permulaan.
Akan tetapi setelah itu, setahap demi setahap, disebabkan sebab yang bermacam-macam timbullah berbagai medan yang lain. Sebagai contoh, timbullah berbagai macam medan keilmuan dan pemikiran. Pada saat itu mulailah muncul kebangkitan keilmuan, pemikiran, dan kebudayaan yang besar di kalangan Muslimin. Pada saat itu mulai muncul berbagai mazhab di dalam bidang ushuluddin dan furu’uddin.
Berdasarkan perkataan salah seorang sejarawan, pada masa itu kaum Muslim mengalihkan perhatiannya dari medan peperangan kepada medan keilmuan dan kebudayaan. Pada masa itu mulai dilakukan pengkodifikasian ilmu-ilmu keislaman. Pada masa ini, yaitu masa Imam dari satu sisi, pertarungan yang terjadi antara Bani Umayyah dan Bani Abbas telah menciptakan sebuah masa transisi dan sampai batas-batas tertentu telah menghilangkan larangan-larangan untuk menjelaskan berbagai hakikat kebenaran, dan dari sisi lain juga telah menciptakan sebuah semangat untuk memahami dan melakukan penelitian.
Oleh karena itu diperlukan seseorang yang seperti Imam Jakfar ash-Shadiq a.s. untuk memimpin gerakan ini dan menyebarluaskan ajaran dan petunjuknya, serta menjawab permasalahan-permasalahan keilmuan yang timbul pada masalah-masalah pengetahuan, hukum, dan akhlak. Pada zaman-zaman sebelumnya tidak ditemukan zaman yang seperti ini, dan begitu juga tidak ditemukan potensi dan semangat yang sedemikian besar pada masyarakat untuk mengkaji masalah-masalah keilmuan dan Keislaman.
Di dalam sejarah kehidupan Imam Jakfar ash-Shadiq pada suatu tempat kita melihat munculnya sekelompok orang dahriyyun (atheis) seperti Ibn Abil Awja, Abu Syakir ad-Daishani, dan Ibnul Muqqafa’, di mana mereka berdebat dengan Imam Jakfar ash-Shadiq dan memperoleh jawaban-jawaban yang memuaskan dari beliau. Argumentasi-argumentasi yang begitu rinci dan panjang yang dikemukakan oleh Imam Jakfar ash-Shadiq di dalam masalah-masalah ini masih dapat ditemukan hingga sekarang, dan sungguh merupakan argumentasi-argumentasi yang amat mengagumkan.
Kitab Tauhid al-Mufadhdhal merupakan sebuah risalah yang panjang dan rinci tentang masalah ini. Ia adalah kitab hasil dialog yang dilakukan oleh al-Mufadhdhal, salah seorang sahabat Imam Jakfar ash-Shadiq dengan seseorang yang berpaham ateis, dan juga konsultasi yang dilakukan oleh al-Mufadhdhal dengan Imam Jakfar ash-Shadiq.
Pada tempat lain kita juga melihat bagaimana para pembesar mazhab Muktazilah seperti Amr bin Ubaid dan Washil bin Atha, yang merupakan para pemikir pada saat itu, datang kepada Imam Jakfar ash-Shadiq dan melakukan tanya jawab di dalam masalah-masalah teologi dan masalah-masalah sosial dengan beliau. Pada sisi lain kita juga dapat melihat bagaimana para fukaha besar saat itu datang untuk menjadi murid beliau atau hanya sekedar mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada beliau. Abu Hanifah dan Malik bin Anas hidup sezaman dengan Imam ash-Shadiq, dan keduanya pernah belajar kepada beliau. Malik bin Anas tinggal di Madinah dan secara berulang kali datang ke hadapan Imam Shadiq a.s.
Zaman Imam Jakfar ash-Shadiq adalah sebuah zaman di mana terjadi peperangan di dalam bidang pemikiran, pendapat, dan keyakinan. Keadaan pada saat itu menuntut Imam Jakfar untuk mengerahkan usahanya di dalam medan peperangan ini. Sayyidus Syuhada Imam Husain a.s. mengetahui bahwa kesyahidannya akan memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslim, dan oleh karena itu dia bangkit melakukan perlawanan dan kemudian syahid.
Adapun Imam Jakfar ash-Shadiq melihat bahwa kesempatan yang ada adalah cocok untuk memberikan pengajaran dan mendirikan pusat ilmu pengetahuan, dan oleh karena itu beliau mengerahkan usaha perhatiannya kepada masalah ini. Kota Baghdad yang merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam yang pertama didirikan pada masa Imam Jakfar ash-Shadiq a.s.
Mazhab Syiah telah mendahului seluruh mazhab Islam yang lain dalam seluruh cabang ilmu keislaman, dan menjadi peletak dasar bagi ilmu-ilmu tersebut. Atau, setidak-tidaknya Syiah bahu membahu bersama yang lain di dalam gerakan ilmu pengetahuan ini. Syiah menulis banyak kitab di dalam berbagai macam cabang ilmu. Mulai dari ilmu sastra, tafsir, kalam, filsafat, irfan, falak, matematika, sejarah, geografi, dan cabang-cabang ilmu lainnya. Syiah juga mengeluarkan manusia-manusia besar dan mempersembahkan karya-karya ilmu pengetahuan yang sangat berharga kepada dunia.
Jika hari ini kita menyaksikan orang-orang pencari ishlah (perbaikan) secara resmi mengakui keberadaan mazhab Syiah -setelah seribu tahun berlalu- ini tidak lain dikarenakan Syiah merupakan satu mazhab Islam yang sesungguhnya. Demikian juga, karya-karya peninggalan Syiah di dalam berbagai bidang menunjukkan bahwa mereka tidak dapat lagi mengalamatkan tuduhan-tuduhan politis kepada Syiah. Karya-karya peninggalan ini merupakan buah dari iman dan keyakinan. Diakuinya Syiah secara resmi sekarang ini merupakan akibat cara kerja yang ditempuh pada masa Imam Jakfar ash-Shadiq a.s.
*Disarikan dari buku Kumpulan Ceramah Syahid Murtadha Muthahhari