ICC Jakarta – Pada Jumat, 17 Rabiul Awal 83 H (702 M), lahir seorang manusia suci dan penerus risalah Nabi Muhammad Saw. Pada hari yang bertepatan dengan maulid Rasulullah Saw ini, Imam Jafar Shadiq dilahirkan di kota Madinah. Sejak usia 34 tahun, beliau menjadi pemimpin umat memegang tampuk imamah. Tampaknya, tidak ada para Ahlul Bait Rasulullah Saw yang memiliki kesempatan begitu luas seperti Imam Sadiq dalam menyebarkan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan serta mendidik para murid.
Imam Shadiq hidup di masa ketika Dinasti Umayah sedang mengalami kemunduran, dan Dinasti Abbasiah mulai merebut kekuasaan. Di tengah pertarungan kekuasaan kedua dinasti itu, Imam Shadiq menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Periode kehidupan Imam Shadiq merupakan era pemikiran dan munculnya berbagai aliran dan mazhab. Situasi dan kondisi tersebut menyulitkan masyarakat Muslim untuk menemukan ajaran-ajaran Islam yang benar dan menyeret mereka kepada jalan sesat. Namun cahaya petunjuk Imam Shadiq yang terang benderang telah menyinari sudut-sudut kegelapan pemikiran masyarakat ketika itu.
Para ulama dari berbagai mazhab Islam memandang Imam Shadiq sebagai pelopor berbagai ilmu seperti kalam, fikih, tafsir, akhlak dan disiplin ilmu lainnya. Dilaporkan tidak kurang dari empat ribu orang dengan semua perbedaan yang mereka miliki, telah menimba ilmu kepada Imam Shadiq dan menulis berbagai karya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan ketinggian akhlaknya.
Bertepatan dengan peringatan pekan persatuan Islam kali ini, menarik kiranya untuk menggali pandangan Imam Shadiq mengenai persatuan Islam. Imam Shadiq menyebut sesama Muslim sebagai satu saudara, dan mereka tidak boleh bersikap saling memusuhi.
Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq disebutkan bahwa “Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Seorang Muslim adalah cermin dan panduan Muslim lainnya. Seorang Muslim tidak akan pernah mengkhianati, menipu dan menindas Muslim lainnya, dan tidak berbohong kepadanya serta tidak mengghibahnya.”
Imam Shadiq selalu berpesan kepada para pengikut Ahlul Bait untuk menjalin hubungan baik dengan para pengikut mazhab Islam lain. Perilaku, perbuatan dan perkataan beliau telah menarik perhatian para pemimpin dan para pengikut berbagai mazhab lainnya. Beliau berkata, “Satu sama lain harus saling mencintai. Mereka berbuat kebaikan kepada sesamanya dan saling menyayangi”.
Imam Shadiq memberikan nasehat kepada para pengikutnya supaya saling mengasihi sesama Muslim. Imam Shadiq berkata, “Sampaikan salam kepada para pengikutku dan katakan kepada mereka Allah swt merahmati hamba-Nya yang mencintai sesama,”.
Di bagian lain statemennya, Imam Shadiq menegaskan solidaritas dan persaudaraan seagama yang berpijak pada tiga faktor. Pertama meninggalkan kedengkian untuk mencegah dan menghindari lemahnya masyarakat Islam, sehingga umat Islam tidak terpecah belah dan tercerai-berai. Faktor kedua, saling meningkatkan ikatan persaudaraan dan solidaritas. Faktor ketiga saling membantu sehingga meningkatkan kemuliaan umat Islam.
Kemuliaan akhlak dan ketinggian ilmu Imam Shadiq telah menarik perhatian Abu Hanifah dan para pemimpin mazhab Ahlus Sunnah lainnya sehingga mereka berbondong-bondong mendatangi beliau untuk memanfaatkan kekayaan ilmu cucu Rasulullah Saw ini.
Abu Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi hadir di kelas-kelas Imam Shadiq selama dua tahun. Terkait hal ini, ia berkata, “Kalau bukan karena dua tahun [menimba ilmu dari Imam shadiq], maka Nu`man (Abu Hanifah) telah celaka.” Malik bin Anas, pemimpin mazhab Maliki mengenai Imam Shadiq berkata, “Belum ada mata yang melihat dan belum ada telinga yang mendengar serta belum ada manusia yang hadir dalam hati, yang lebih baik dari Imam Jafar Shadiq dari sisi keutamaan, ilmu, ibadah, wara` dan ketakwaannya.”
Orang-orang yang hadir dalam majelis ilmu Imam Shadiq mengakui keunggulan beliau di bidang ilmu pengetahuan, meskipun sebagian dari mereka tidak sejalan dengan garis pemikirannya. Imam Shadiq mendidik murid-murid besar di antaranya Hisyam bin Hakam, Muhammad bin Muslim dan Jabir bin Hayan.
Sebagian dari mereka memiliki berbagai karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya Hisyam bin Hakam menulis 31 buku. Jabir bin Hayan menulis lebih dari 200 buku dan pada abad pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa.Mufadhal juga merupakan salah satu murid terkemuka Imam Shadiq yang menulis buku “Tauhid Mufadhal”.
Berbagai kitab sejarah baik dari kalangan Sunni maupun Syiah menjelaskan dialog dan perdebatan ilmiah yang diikuti oleh Imam Shadiq. Menariknya, seluruh perdebatan tersebut tidak berujung debat kusir, apalagi pertengkaran. Imam Shadiq kepada para pengikutnya menekankan prinsip akhlak mulia di berbagai bidang, termasuk ketika berdialog. Beliau sangat menjunjung tinggi pesan al-Quran dalam berdialog untuk menggunakan cara yang baik, atau “Jidal Ahsan”.
Para lawan Imam Shadiq pun mengakui ketinggian akhlaknya. Ketika pihak lawan dalam debat menyampaikan pandangan, beliau mendengarkan argumentasinya hingga selesai, lalu secara singkat menanggapinya. Beliau juga menghormati dan menjaga etika berdebat, kemudian mengemukakan pandangannya dengan kalimat yang benar dan berisi, yang disampaikan secara singkat dan padat. Ketika berdebat, Imam Shadiq membela keyakinannya secara tegas dan terang-terangan, tapi disampaikan dengan cara yang bijaksana.
Imam Shadiq meminta para pengikutnya untuk menghormati sesama Muslim, dan menjaga persatuan Islam. Cucu Rasulullah Saw ini memberikan nasehat kepada salah seorang sahabatnya bernama Zaid bin Hisyam supaya menghormati Ahlusunnah.
Beliau berkata, “Datangilah masjid-masjid mereka dan shalatlah di sana. Jenguklah mereka jika sakit, dan iringilah jenazahnya ketika mereka meninggal. Bersikap baiklah kalian, sehingga mereka datang dan ikut bersama-sama shalat dengan kalian. Jika akhlak kalian demikian, mereka akan berkata inilah pengikut mazhab Jafari; Tuhan merahmati Imam Shadiq yang telah mendidik pengikutnya demikian….. Tapi jika akhlak kalian buruk, maka mereka akan memandang buruk mazhab Jafari, dan menilai sebegitu burukkah Imam Shadiq mendidik para pengikutnya”.
Suatu hari Hisyam bin Hakam menanyakan kepada Imam Shadiq alasan mengapa umat Islam diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji. Imam Shadiq menjawab, “Allah swt menciptakan makhluk supaya mereka menaati aturan agama dan menjauhi yang dilarang agama, demi kemaslahatan hidupnya di dunia. Dalam ibadah Haji terdapat sarana bagi orang-orang yang ada di timur dan barat untuk saling mengenali. Lalu kelompok dan suku yang satu mengunjungi satu kota ke kota lain, sehingga terjalin perniagaan yang menguntungkan di antara mereka… selain itu warisan Rasulullah saw lebih dikenali dan selalu teringat dan tidak akan pernah terlupakan,”
Dalam pandangan Imam Shadiq fondasi kuat dari persatuan Muslim adalah itikad baik dan berbuat baik serta saling membantu. Mengharapkan terwujudnya sebuah umat yang kuat dan terorganisir tanpa infrastruktur moral yang kokoh hanya sekedar penantian sia-sia. Akar perpecahan dan kelemahan masyarakat Muslim harus dilihat dari moralitas umat Islam sendiri.
Selain menekankan masalah akhlak dan persatuan Islam, Imam Shadiq menegaskan mengenai masalah politik dan nasib masyarakat, termasuk mengkritik kinerja buruk pemerintahan lalim yang merugikan masyarakat.(IRIB Indonesia/PH)