ICC Jakarta – Penggunaan kata Ra’in dalam hadits kullukum ra’in wakullukum mas`ulun an raiyyatihi (setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang bagaimana kepemimpinannya), sangat tepat mendefinisikan sosok pemimpin. Ra’in adalah penggambaran sosok bocah angon, tukang gembala.
Dalam angon (gembala), ada kalanya ia berada di depan umatnya seperti ketika menuntun kuda, ada kalanya ia di belakang rakyatnya seperti ketika menggiring domba atau bebek. Kadangkala ia harus di samping seperti ketika mengajak bermain kucing.
Setiap posisi harus bisa dilakoni dan harus mengetahui kapan harus memberi komando di depan, kapan harus mengawasi dari belakang, dan kapan pula harus mendampingi seperti teman seiring.
Ketua Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) PCNU Kota Semarang KH Ulil Albab Syaikhun menyampaikan hal itu dalam mauidhoh hasanah di Haflah Akhirussanah XXVII Pondok Pesantren Durrotu Ahlis Sunnah wal Jamaah (Durrotu Aswaja), di lapangan Banaran Kelurahan Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Semarang, baru baru ini.
“Ra’in harus mengetahui bagaimana kondisi yang dipimpinnya,” ujar pengasuh Pesantren Al Ikhlas Pedurungan Kota Semarang ini.
Ia menjelaskan, apabila pemimpin harus menggunakan otoritasnya, ia harus yang berada di depan sebagai seorang rais (kepala). Apabila orang yang dipimpin tidak peduli, cenderung cuek dan malas, maka harus digiring dan diawasi dari belakang. Dan dalam beberapa situasi dia harus berada di tengah rakyatnya, bersama sama umatnya, makan bersama, ngobrol ramai, atau berolahraga bareng misalnya.
Yang Keras atau yang Lunak?
Kiai Ulil Albab menerangkan, pemimpin itu ada yang keras, bahkan keras kepala. Ada pula yang lunak dan lembut. Yang keras kepala itu seperti sifat macan atau singa, dia memang garang tapi berani nataki masalah, berani mengambil resiko. Sedangkan pemimpin lunak seperti sifat siput atau bekicot. Kelihatannya saja punya wadah gagah dan tongkrongan yang kokoh, tapi langsung ngumpet di balik tempurungnya itu setiap ada masalah. Bersembunyi di rumah.
“Yang keras kepala itu berani mengatasi masalah, dan berwibawa,” tegasnya.
Kiai muda yang hobi membaca ini mengingatkan agar meniru Wali Songo. Menurutnya, mereka adalah pemimpin wilayah, bukan sekadar imam shalat atau guru ngaji. Dari namanya pun jelas nama daerah; Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga. Itu semua bukan nama orang, tetapi nama julukan atas pemimpin wilayah. Semacam walikota.
Cara para sunan memimpin adalah membuat rakyat senang hatinya, damai batinnya, tenang hidupnya. Yaitu pakai pendekatan budaya. Orang Jawa diajari bertani yang bagus, membuat pengairan untuk sawah, diajari berdagang, mengukir, menjahit, menata kota dan menjaga kesehatan warga. Lalu diisi rohaninya dengan ajaran luhur agama. Pendekatannya tasawuf, intisari agama yang disampaikan dengan bahasa lokal mereka, Jawa.
Sampai pada akhirnya membentuk pemerintahan. Dan pada Puncaknya Sultan Agung Hanyakrakusuma Raja Mataram Islam meresmikan penggunaan kalender Jawa yang memakai sistem penanggalan Islam. Nama nama bulan Hijriyah dimodifikasi dengan istilah Jawa. Sya`ban jadi Ruwah, misalnya. Karena ini bulan waktunya para warga berkirim doa dan tilik kubur leluhurnya.
“Contoh nyata Ra’in adalah para wali. Walisongo itu benar benar berhasil sebagai pemimpin,” pungkasnya seraya mengajak hadirin menyanyikan tembang Jawa.
Pengasuh Ponpes Durrotu Aswaja KH Agus Romadlon dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada warga masyarakat Kelurahan Sekaran yang telah menyumbang makanan dan fasilitas lainnya. Ia Doakan semoga seluruh warga Sekaran, dan Kecamatan Gunungpati umumnya, diberi keberkahan rejeki, sehat jiwa dan raga, laris usaha kos-kosannya maupun usaha lainnya, serta dikaruniani anak-anak yang soleh solehah.
Ia juga menyampaikan pentingnya orang belajar agama kepada ulama. Sebab ulama punya sanad (rantai keilmuan) yang menyambung sampai Rasulullah. Jangan sampai belajar agama kepada syekh google (internet).
Tak lupa dia paparkan beberapa prestasi santrinya terkini. Diantaranya juara dua dan tiga dalam lomba hafalan Nadhom Imrithi di Universitas Diponegoro Semarang, juara dua dan tiga dalam Musabaqoh Qiroatul Kutub di kelas dewasa, yakni kitab Ihya Ulumiddin.
“Ini semua patut kita syukuri, karena pondok kita adalah pesantren mahasiswa. Mari kita pertahankan turots (warisan ulama) nusantara,” pungkasnya. (Ichwan/Mahbib)
Source: NU Online