Islamic Cultural Center Jakarta kembali menggelar Kajian Gebyar Ramadan 1446 H Malam ke-20. Pada kesempatan ini, Ustadz Muhammad Ilyas menyampaikan ceramah mendalam yang mengupas berbagai hikmah ilahiyah di balik pelaksanaan ibadah Ramadhan. Dalam ceramahnya, beliau menjelaskan bahwa Ramadhan adalah program Allah SWT yang dirancang untuk mengantarkan hamba-Nya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat melalui kemudahan dalam menjalankan syariat.
Ustadz Muhammad Ilyas menekankan bahwa puasa bukan semata ritual menahan lapar dan haus, melainkan juga sarana memperoleh taufik dan pertolongan Allah SWT agar setiap hamba dapat menjalankan perintah-Nya. Ceramah tersebut juga mengingatkan umat akan pentingnya ketaatan kepada Rasulullah SAW dan Ahlulbait a.s. sebagai landasan dalam menapaki jalan kebaikan dan mencapai kesempurnaan insani.
Berikut adalah ceramah lengkapnya:
Bismillaahirrahmaanirrahiim
“Syahru Ramaḍāna alladzī unzila fīhi al-Qur’ānu hudan lin-nāsi wa bayyinātin minal-hudā wa al-furqān, fa man syahida minkumu as-syahra falyasumhu.” (QS. Al‑Baqarah: 185)
“Rubba ṣā’imin laysa lahu min ṣiyāmihi illā al-jū‘ wa al-‘aṭash.”
(Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga.)
Ayyuhal hadirin wal hadirat bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya muliakan, baik yang ada di aula Husainiyyah ICC maupun yang di luar sana. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufik kepada kita semua dan kita senantiasa dalam bimbingan Rasulullah SAW dan ahlulbaitnya a.s. Tadi saya menyampaikan ayat suci Al‑Qur’an di dalam surat al‑Baqarah menyampaikan tentang bulan Ramadhan. Saya memahaminya bahwa bulan Ramadhan itu adalah program Allah SWT yang Allah berikan kepada hamba-hambanya. Allah buatkan sebuah program yang mengantarkan para hambanya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, kepada kesempurnaan Insani dan berujung pada penghargaan Allah SWT yang merupakan rahmat yang khusus bagi hamba-hambanya yang taat kepada Allah SWT dan Allah SWT memberikan kekuatan, memberikan kemampuan bagi setiap hambanya, namun meskipun kita semua sebagai hamba memiliki kemampuan, memiliki qudrah untuk melaksanakan perintah‑perintah Allah SWT dan menjauhi larangan‑larangannya, namun kemampuan itu belum tentu membuat manusia melaksanakan syariat Allah SWT. Orang yang mampu untuk berbuat belum tentu berbuat, belum tentu taat, oleh karena itu manusia masih memerlukan taufik dari Allah SWT. Apa yang dimaksud dengan taufik dari Allah SWT. Saya teringat Imam Musa al‑Kazhim a.s. mengartikan makna taufik itu, taufik beliau menjawab adalah bantuan, manusia meskipun memiliki kemampuan tapi tetaplah dia membutuhkan bantuan kepada Allah SWT, masih memerlukan taufik yang mengantarkan dia untuk taat kepada Allah SWT. Jadi manusia ketika taat kepada Allah berarti dia telah mendapatkan taufik dari Allah SWT, mendapatkan persetujuan dari sang pencipta, dari sang pemelihara yang tunggal, yaitu Allah SWT. Tetapi ketika manusia tidak taat kepada Allah, dia mampu untuk melakukannya, dia ketika bermaksiat, durhaka kepada Allah SWT, dia tidak mendapatkan taufik, jauh dari taufik dari Allah SWT.
Pada malam 20 ini kita sedang mengingat sejarah sirah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. tapi sebelum itu saya ingin menyampaikan, pertama, bahwa bulan Ramadhan adalah program Ilahiah yang memuat kegiatan‑kegiatan yang layaknya dilakukan oleh hamba‑hambanya. Rasulullah SAW dalam Khutbah Sya’baniyyah beliau bersabda, “Wa huwa syahrun du‘ītum fīhi ilā ḍiyāfatillāh,” bulan Ramadhan adalah bulan di dalamnya kalian, kita semua diundang ke perjamuan Allah SWT, perjamuan Allah SWT berupa kegiatan‑kegiatan yang sebagian kegiatan itu adalah wajib kita lakukan dan sebagian lagi adalah sunnah untuk dilakukan, meskipun sunnah, namun keutamaannya, namun faḍā’ilnya, memiliki nilai‑nilai yang tinggi, nilai‑nilai yang mendapatkan penghargaan yang tinggi dan mulia di sisi Allah SWT. Apakah kegiatan‑kegiatan itu? Yang jelas, manusia mendapatkan kemampuan untuk melakukan kegiatan‑kegiatan itu, oleh karena itu mengingat sirah Imam Ali bin Abi Thalib a.s. di tangan saya adalah kitab Nahjul Balaghah, saya ingin menyampaikan hikmah‑hikmah yang disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib a.s. paling tidak ada tiga hikmah yang ingin saya bacakan kepada hadirin wal hadirat, kepada para tamu Allah SWT.
Yang pertama, Imam Ali bin Abi Thalib a.s. di dalam Nahjul Balaghah mengatakan,
“Segala puji bagi Allah SWT yang telah mensyariatkan Islam yang menjadikan Islam menjadi sebuah risalah, sebuah syariat yang berisikan aturan dari Allah SWT, dan syariat itu merupakan hidayah tasyri’iyyah yang diperuntukkan bagi makhluk‑makhluk yang berakal, bagi kita semua sebagai manusia yang berakal, dan selain itu Allah SWT memberikan persyaratan, siapakah yang dapat memenuhi syarat menjalankan syariat Allah SWT. Karena manusia memiliki kemampuan, maka untuk melaksanakannya menjadi mudah bagi hambanya, dikatakan sulit karena manusia tidak mampu untuk melaksanakannya,” karena itu Imam Ali bin Abi Thalib a.s. poin pertama dalam hikmahnya ini, Allah menjadikan Islam sebagai syariat yang paling sempurna dan syariat Islam itu dipermudah oleh Allah SWT. Lalu Allah memberikan kemudahan pada syariat‑syariat‑Nya yang di mana di zamannya dia mengikutinya dan kita semua sebagai umat Rasulullah SAW harus mengikuti syariat Rasulullah SAW. Dan untuk mengetahui syariat itu adalah pengetahuan syariat, sumbernya cuma dua, dan di dalam pandangan ahlulbait, ulama ahlulbait a.s., sumber pengetahuan Islam, sumber pengetahuan syariat adalah Al‑Qur’an itu yang pertama.
Yang kedua, as‑sunnah dan menurut ulama kita, menurut mazhab ahlulbait a.s., as‑sunnah itu adalah ucapan, perbuatan, dan juga persetujuan Rasulullah SAW serta ahlul baitnya yang suci a.s. sebagaimana yang beliau sabdakan di dalam hadis mutawatir, hadis yang tidak diragukan, bahwa Rasulullah SAW menitipkan, mengamanahkan kepada umatnya, bahwasanya:
“Aku tinggalkan kepada kalian, wahai umatku, yang pertama adalah kitabullah Al‑Qur’an dan yang kedua adalah ahlulbaitku, itrahku; keduanya tidak akan berpisah untuk selamanya sampai keduanya datang kepadaku di teladan surga.”
Itulah yang Rasulullah SAW memberi petunjuk, bahwasanya Islam dibawa oleh Rasulullah SAW sebagai syariat yang terakhir, syariat yang paling sempurna, dan Imam Ali mengatakan, Allah SWT memberikan kemudahan di dalam syariat‑syariat‑Nya; tidak ada yang sulit di dalamnya. Kita, dalam Al‑Qur’an juga, mengajarkan kepada kita dalam doa, “Ya Allah, jalan engkau berikan kami tugas di luar kemampuan kami,” yang berarti syariat Islam, ketika manusia berada di dalam syariat Islam dan menjadi mukallaf, memiliki taklif. Taklif itu memiliki syarat‑syarat, dan dalam fikih disebutkan ada tiga:
Yang pertama, syarat taklif itu adalah akal, karena agama Islam, agama Allah SWT, turun kepada orang‑orang yang berakal, kepada manusia. Karena itu, tidak mungkin syariat Islam atau agama Allah SWT turun kepada manusia, kepada makhluk yang tidak berakal; itu tidak memenuhi syarat dan bukan mukallaf, bukan orang yang diberi tugas oleh Allah SWT.
Dan yang kedua, syarat taklif adalah baligh; ketika baligh, maka manusia yang baligh ini mendapatkan tugas dari Allah SWT untuk melaksanakan syariat‑Nya.
Dan yang ketiga, qudrah, yaitu kemampuan. Manusia diberi kemampuan oleh Allah SWT yang mengetahui kemampuan manusia; Allah SWT sebagai Pencipta mengetahui seluruh sisi, isi, dan dimensi‑dimensi manusia, dan itu Allah SWT memberikan taklif kepada manusia sesuai kemampuan. Tidak mungkin, mustahil, Allah SWT menurunkan syariat itu di luar taklif, di luar qudrah kemampuan manusia. Karena itu, tidak ada alasan bagi manusia; ketika diperintahkan, “siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka berpuasalah,” perintah itu wajib, dan manusia mampu untuk melaksanakannya. Tidak ada dalam fikih alasan lemas, alasan tidak kuat (tidak kuat menahan lapar dan haus). Tidak ada alasan itu, karena manusia mampu; dia sendiri yakin bahwa ia mampu untuk menahan diri dari untuk tidak makan dan tidak minum dari subuh sampai maghrib. Tetapi, bulan Ramadhan ini adalah program Allah SWT, bukan hanya puasa (itu adalah puasa fiqih), tetapi perhatikan juga puasa akhlaki, yaitu selain menahan diri dari tidak makan, dari makan dan minum, menahan lapar dan haus, tetapi juga puasa itu hendaklah menjauhi larangan‑larangan Allah SWT, menjauhi perbuatan‑perbuatan dosa, karena itulah nilainya puasa, karena itulah masuk dalam program yang Allah inginkan, yang Allah bulatkan bagi manusia, yang Allah berikan hidayah bagi para hambanya.
Masalah perintah‑perintah lainnya, bahwasanya sebuah program ilahiyah, bulan Ramadhan, adalah program ilahiyah berisikan kegiatan‑kegiatan; salah satunya kegiatan ritual yang Allah perintahkan, yaitu berpuasa, agar manusia berpuasa. Namun tidak cukup itu, ada kegiatan‑kegiatan lainnya, yaitu kegiatan sosial; karena itu, orang yang berpuasa ada targetnya, ada program Allah SWT, ada kegiatan‑kegiatan yang harus dilakukan oleh manusia dan ada targetnya dalam melakukan kegiatan‑kegiatan tersebut. Untuk apa kita melakukan kegiatan ritual yang bernama puasa itu? Allah SWT berfirman, Allah sudah tetapkan, Allah sudah wajibkan puasa itu kepada kaum‑kaum dahulu dan Allah wajibkan pula kepada kalian, kepada kita semua, kepada umat Rasulullah SAW yang harus dilakukan. Namun ada juga kegiatan‑kegiatan sosial dan tujuan daripada puasa itu, “la’allakum tattaqun”; itulah target kita. Kita berpuasa ini punya tujuan, bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi tujuannya agar kita lulus dari puasa ini, dari perintah Allah SWT ini, dari kegiatan yang Allah anjurkan, yang Allah serukan supaya dilakukan oleh hamba‑hambanya, agar kita menjadi orang yang bertakwa kepada Allah SWT.
Dan manusia mampu melakukannya, dan dalam syariat itu, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib, Allah SWT memberikan kemudahan; manusia mampu melakukan puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari perbuatan‑perbuatan maksiat, dari perbuatan‑perbuatan dosa. Imam Ali bin Abi Thalib a.s. di dalam khotbah Sya’baniyah, yang Rasulullah SAW sampaikan, Imam Ali bertanya, “Ya Rasulullah, apa amal yang paling bagus, yang paling afdhal di bulan ini?” Rasulullah SAW menjawab, yaitu takwa, takut untuk berbuat maksiat kepada Allah SWT, terlebih di bulan Ramadhan ini, bulan yang suci ini, bulan yang disebut sebagai kesempatan emas dalam sebulan, sebagai program ilahiyah yang mengantarkan manusia pada kebahagiaan, pada kesempurnaan. Kita memiliki kemampuan dan kita dipermudah oleh Allah SWT dengan memberikan kemampuan kepada kita. Di dalam Al‑Qur’an, di dalam ayat yang pertama, “yurīdullāhu bikumul-yusra wa lā yurīdu bikumul-‘usra,” kira‑kira demikian; Allah SWT memberikan kemudahan. Allah SWT tidak ingin kesulitan bagi hamba‑hambanya, tetapi Allah menginginkan kemudahan bagi hambanya. Karena itu, secara bertahap manusia melakukan kegiatan‑kegiatan itu; kegiatan ritual yang utama di dalam Al‑Qur’an, di dalam bulan Ramadhan ini, adalah puasa, dan selain puasa itu pun ada anjuran‑anjuran untuk menghormati bulan suci Ramadhan ini, karena sebagaimana yang disampaikan oleh penceramah‑penceramah sebelumnya, bahwa kita tidak berbuat apa‑apa saja, mendapatkan pahala dan penghargaan dari Allah SWT; bernapas saja dihitung sebagai tasbih, tidur saja dihitung sebagai ibadah, apalagi kita berbuat kebaikan, apalagi kita berdoa di bulan Ramadhan ini. Alhamdulillah, kita membaca doa iftitah kita pada malam ini, membaca doa Kumail, dan semoga Allah SWT berkat bulan Ramadhan ini, yang adalah bulan di mana, bulan yang penuh keberkahan, penuh rahmat, penuh maghfirah dari Allah SWT. Oleh karena itu, seorang hamba yang keluar dari bulan Ramadhan ini tetapi tidak menunjukkan peningkatan takwanya kepada Allah SWT, itu sungguh amat merugi, sungguh orang yang paling mendapatkan kerugian yang besar setelah dia melewati sebulan‑sebulan Ramadhan.
Itulah yang ingin saya sampaikan, hikmah pertama di bulan Ramadhan ini dari Imam Ali bin Abi Thalib a.s., bahwasanya kita dikaruniai yang besar oleh Allah SWT berupa aturan hidup, bahwasanya hidup kita dilahirkan oleh Allah SWT; kita berarti diutamakan untuk lahir daripada tidak lahir, kita diutamakan oleh Allah untuk ada daripada tidak ada, ketika kita ada, ketika kita lahir, dan ketika kita menjadi manusia, dan ketika kita memiliki kemampuan, kita diberi keutamaan oleh Allah SWT untuk melaksanakan perintah‑perintah‑Nya dan untuk mencapai kesempurnaan insani, kesempurnaan yang disebut merupakan dekat dengan Allah SWT.
Kemudian di dalam program tersebut tadi sudah saya sampaikan, bahwasanya kegiatan ritual itu yang utama adalah puasa. Imam Ali bin Abi Thalib a.s. di dalam hikmah lainnya menjelaskan, bahwasanya beliau mengatakan puasa bulan Ramadhan, sesungguhnya puasa bulan Ramadhan ini adalah perisai dari hukuman, dari siksaan api neraka, agar kita dijauhkan dari siksaan di akhirat; nanti kita dijauhkan oleh Allah SWT dari kehidupan yang sengsara melalui puasa. Dan tentunya puasa itu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, kadang orang berpuasa itu, kadang orang berpuasa itu, dia hanya mendapatkan dari puasanya hanya lapar dan haus.
Oleh karena itu, ada kegiatan‑kegiatan lainnya yang harus diperhatikan, yang bisa mendukung puasa itu menjadi bernilai, menjadi perisai yang menjadi penghalang kita dari siksaan, dari hukuman, dari siksaan api neraka, yaitu menjauhi larangan‑larangan Allah SWT. Panca indra kita harus kita jaga dari hal‑hal yang diharamkan oleh Allah SWT; anggota‑anggota jasmani kita jangan sampai menyentuh hal‑hal yang diharamkan oleh Allah SWT; jangan sampai sesuatu yang kita konsumsi, kita masukkan ke dalam tubuh kita, adalah hal‑hal yang dilarang oleh Allah SWT.
Puasa tetapi melakukan dosa; puasa tetapi membentak orang tua; puasa tetapi mengumpat; puasa tetapi mengghibah; puasa tetapi melakukan perpecahan; puasa tetapi memprovokasi; puasa tetapi tidak membela Palestina; puasa tetapi tidak menyakiti masa; tetapi menyakiti hati Rasulullah SAW. Bagaimana bisa menyakiti Rasulullah SAW, yaitu menyuarakan fitnah, memecah belah, menanggapi perdebatan‑perdebatan yang tidak produktif, perdebatan‑perdebatan yang kosong, semua dengan segala omong kosongnya, hanya untuk hiburan di dalam media‑media sosial? Tetapi, mari kita senangkan hati Rasulullah SAW; berpuasa itu, usahakan, kata Rasulullah SAW atau kata salah seorang Imam yang saya ingat dalam sebuah riwayat, setidaknya usahakan diam, kecuali berdzikir, mengingat Allah SWT.
Karena itu, puasa itu tidak hanya berpuasa menahan lapar dan haus, tetapi ada kegiatan‑kegiatan ritual lainnya dengan membaca Al‑Qur’an, bahwa Al‑Qur’an memiliki hak, dengan mengingat Imam Ali bin Abi Thalib a.s., bahwasanya Imam Ali juga memiliki hak untuk diingati, untuk diperingati; kalau Al‑Qur’an itu punya hak supaya dibaca, apakah tidak? Mereka itu tidak mentadabbur, merenungkan makna‑makna Al‑Qur’an ini. Al‑Qur’an itu tidak lepas dari ahlulbait a.s. Al‑Qur’an tidak lepas dari Imam Ali bin Abi Thalib a.s.; Ali maal Qur’an, Al‑Qur’an maa Ali. Orang bisa mengklaim, bahwasanya mereka bersama Al‑Qur’an, tetapi apakah mereka bersama Imam Ali bin Abi Thalib a.s.? Apakah mereka mengikuti arahan‑arahan dan tingginya bimbingan‑bimbingan yang disampaikan oleh ahlulbait a.s.? Apakah mereka dalam kepentingan yang dimiliki, yang dipunyai, yang menjadi misi Rasulullah SAW dan ahlulbaitnya a.s.?
Kita bertanya, apakah kepentingan Rasulullah SAW, apakah kepentingan ahlulbait a.s.? Kepentingan adalah, mereka ini, pertama, mereka memiliki tugas mengajarkan Al‑Qur’an; yang kedua, mereka membimbing manusia; mereka kepentingannya adalah umat manusia, ummati, ummati, ummati, itu yang diserukan oleh Rasulullah SAW. Imam Ali bin Abi Thalib, kenapa beliau tidak melakukan pemberontakan ketika khalifah itu bukan beliau, khalifah itu adalah orang lain. Imam Ali bukan orang yang tamak dengan kekuasaan; kekuasaan itu hanyalah sebuah alat, hanyalah sebuah cara, dan bukan itu yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib a.s., bahwasanya misi beliau, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, orang yang bersama Al‑Qur’an—kita semua lihat, setiap Muslim mesti bersama Al‑Qur’an—namun bagaimana bersama Al‑Qur’an? Apa makna bersama Al‑Qur’an itu? Bersama Al‑Qur’an artinya, bahwasanya ucapan dan perbuatan, gerak dan diam kita sejalan dengan Al‑Qur’an, dan orang yang paling sejalan dengan Al‑Qur’an adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.
Ketika kita mengaku sebagai pecinta Amirul Mukminin, maka ketika kita taat kepada Allah SWT, maka taatlah kepada Rasulullah SAW, aṭī’ullāha wa aṭī’ur-rasūla wa ulil-amri mingkum, innamā waliyyukumullāhu wa rasūluhū wallazīna āmanullazīna yuqīmūnaṣ-ṣalāta wa yuʿṭunaz-zakāta wa hum rākiʿūn. Siapa itu pemimpin umat manusia, umat Islam? Siapa itu Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Amirul Mukminin a.s., Ahlulbait Rasulullah SAW? Taat kepada Allah harus taat kepada Rasulullah SAW; taat kepada Rasulullah harus taat kepada Imam Ali bin Abi Thalib a.s.; taat kepada ahlul bait a.s. yang berarti taat kepada Imam Zaman a.s. Taat kepada para Imam itu sudah pasti taat kepada Rasulullah SAW, sudah pasti taat kepada Allah SWT. Mengapa? Karena Imam Ali bin Abi Thalib a.s. maal Qur’an wal Qur’an ma’ahu ma’a Ali, Ali mmal haq wal haq ma’al Ali a.s. Ahlulbait a.s. bersama Al‑Qur’an, bersama kebenaran.
Ketika setiap Muslim diharuskan bersama Al‑Qur’an, dan arti bersama Al‑Qur’an itu adalah ucapan dan perbuatan—diam dan gerak—kita sejalan dengan Al‑Qur’an ketika ukurannya adalah Al‑Qur’an. Tetapi bagaimana orang itu bisa menjadikan Al‑Qur’an sebagai parameter Muslim? Parameternya adalah orang yang paling mengerti Al‑Qur’an, yaitu Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah, siapa? Sudah ditegaskan oleh Rasulullah SAW adalah Ali bin Abi Thalib a.s. dan ditegaskan dalam hadis at‑Tsaqalain, yaitu ahlulbait. Yang keduanya, Al‑Qur’an dan ahlul bait tidak terpisah untuk selamanya.
Kemudian, terakhir, hikmah dari Imam Ali bin Abi Thalib a.s. di dalam Nahjul Balāghah juga dikatakan, bahwasanya Imam Ali menyebutkan tentang umat Islam. Beliau mengatakan, “Yang saya ingat, bahwa umat Islam itu membutuhkan satu dengan yang lain. Umat Islam adalah lapisan‑lapisan; terdiri dari lapisan‑lapisan masyarakat, lapisan‑lapisan komunitas yang satu dengan lainnya, itu saling membutuhkan.” Imam Ali mengatakan, “Ketahuilah, bahwasanya umat, yakni masyarakat, itu adalah berbagai macam lapisan dan tidak akan menjadi baik, tidak akan menjadi teratur, tidak akan menjadi tertib, tidak akan menjadi satu sama lain bersinergi, kalau merasa tidak butuh kepada lapisan‑lapisan yang lain dan membutuhkan lapisan yang satu, membutuhkan lapisan yang lain.” Artinya, berbagai lapisan itu, apa saja, inilah umat Rasulullah SAW yang dijelaskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib a.s.: ada lapisan dari segi ilmu, ada ulama, ada orang awam, ada Imam, ada umat, ada orang kaya, ada orang miskin—satu dengan lainnya saling membutuhkan.
Bagaimana bisa memadukan, bisa menjadikan masyarakat itu terbentuk: masyarakat yang damai, masyarakat yang saling membutuhkan, masyarakat yang ketika ulama dan para ustaz bisa menyampaikan ayat‑ayat Allah SWT, hadis‑hadis Rasulullah SAW, tetapi bahwasanya menyampaikan risalah itu bukan hanya para ustaz saja. Ada sebagian para ustaz yang ustaz‑ustazan, ada yang hanya baca buku, pandai berbicara, lalu menjadi ustadz tabligh. Itu bukan hanya menyampaikan melalui lisan saja; tabligh itu menyampaikan melalui kegiatan‑kegiatan sosial. Karena itu, di bulan Ramadhan, Rasulullah SAW, salah satu kegiatan sosial itu adalah: siapa yang memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa, maka pahalanya seperti memerdekakan budak. Kemudian, Imam Musa al‑Kazhim a.s., seingat saya, mengatakan bahwa orang yang memberi buka puasa kepada saudaramu yang berpuasa, maka itu lebih afdhal, lebih utama daripada puasamu sendiri—atau wajib, tetapi dari segi keutamaan, Imam Musa mengatakan lebih utama memberi buka kepada saudaramu yang berpuasa daripada puasamu itu sendiri. Puasa memang sebuah kegiatan ritual yang wajib dengan target, bahwa kita harus menjadi takwa kepada Allah SWT untuk bisa sampai pada tujuan itu. Kepada target itu kita harus mengikuti arahan‑arahan Rasulullah SAW di dalam khotbah Sya’baniyah.
Kemudian yang kedua, banyak kegiatan‑kegiatan sosial itu, saya hanya menyebutkan dua. Yang kedua, siapa yang memuliakan anak yatim? Allah akan (memberi) Dana Mustad’afin, sebuah program melakukan kegiatan, program 1000 berkah, menyantuni 1000 anak yatim dan dhuafa, dan dilakukan pada bulan Ramadhan minggu yang lalu. Kita tidak hanya cukup dengan kegiatan ritual yang kita lakukan. Saya teringat dengan penjelasan syahid Musa As‑Shadr; dia mengatakan, “Jangan cari Lailatul Qadr itu di masjid‑masjid, di Husainiyah, di yayasan‑yayasan, di majelis taklim, dengan berdoa, dengan baca Al‑Qur’an, dengan salat‑salat sunnah‑sunnah.” Iya, itu memang ada faḍā’ilnya, tetapi kalian akan dapatkan keberkahan Lailatul Qadr itu di tempat‑tempat, di rumah orang yang tidak mampu, orang‑orang yang membutuhkan, orang‑orang yang untuk makan saja kesulitan mendapatkan rezeki; ada fuqara, ada masakin.
Bagaimana lapisan ini dapat terpenuhi kebutuhannya? Bagaimana lapisan yang ini itu menjadi terhubung dengan lapisan yang punya? Karena itu, memerlukan sebuah cara dan cara perekatnya untuk bisa menghubungkan lapisan‑lapisan tadi; ulama bisa ketemu, bisa bertemu dengan umatnya. Imam bertemu dengan umatnya, orang kaya bertemu dengan orang miskin. Bagaimana bisa menghubungkannya? Hubungkan dengan Al‑Qur’an, hubungkan dengan Rasulullah SAW, hubungkan dengan Imam Ali bin Abi Thalib a.s., hubungkan dengan lembaga‑lembaga yang mengatasnamakan kepemimpinan, mengatasnamakan wilayah. Kita melihat—saya bukan promosi di sini—Dana Mustad’afin juga merupakan kantor Rahbar Sayidul Qa’id; di situ ada wikalah khumus dan diwajibkan kita membayar khumus dan bisa menyalurkannya ke Dana Mustad’afin, sebuah lembaga yang membutuhkan satu dengan yang lain, orang yang mampu membutuhkan orang yang tidak mampu; ada thabaqat, ada lapisan‑lapisan masyarakat, lapisan ilmuwan, lapisan akademik. Tidak ada di sini, di sisi Allah SWT, bahwasanya, iya, ilmu itu memiliki kedudukan di sisi Allah; orang yang beriman, orang yang berilmu, ya, di sisi Allah SWT mendapatkan derajat yang tinggi, tetapi kalimah thayib itu adalah Allah SWT mengangkat kalimat thayib berupa konsep‑konsep keyakinan, tetapi amal sholeh inilah yang mengangkatnya.
Jadi, mudah‑mudahan di bulan Ramadhan ini Allah berikan ketakwaan kepada kita semua dengan program ritual ini—puasa dengan program‑program lainnya. Allah berikan taufik kepada kita; kita mampu untuk berbuat dan taat, tetapi kita senantiasa memohon taufik dari Allah SWT untuk bisa berbuat, melaksanakan perintah‑perintah Allah, menjauhi larangannya, karena syariat Islam tidak hanya salat, tidak hanya puasa, tetapi syariat Islam ada zakat. Di situ, ulama Syiah mengatakan, di balik zakat itu ada khumus, di situ yang harus ditunaikan. Bahwasanya kita tidak akan pernah luput dari syariat Allah SWT; tidak mungkin akan luput, kita mau lari ke manapun di dunia ini, selama kita masih bernapas, selama kita masih diberi hidup oleh Allah SWT, kita mendapatkan taklif dan kita diberi kemampuan oleh Allah SWT, dan kita memerlukan taufik dari Allah SWT.
Mudah‑mudahan kita di bulan Ramadhan ini, bulan yang penuh berkah, rahmah, dan maghfirah, kita selalu mendapatkan taufik dari Allah SWT hingga keluar dari madrasah Ramadhan ini menjadi seorang yang bertakwa kepada Allah SWT. Demikian, ikhwan wal akhwat mukminin dan mukminat, yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat buat diri saya, buat ikhwan wal akhwat juga. Insha Allah ta’ala. Semoga Allah mengampuni dosa‑dosa kita semua, mengampuni kedua orang tua kita, dosa‑dosa kedua orang tua kita, orang‑orang yang telah berjasa kepada kita, orang‑orang yang telah menyayangi kita, demi berkahnya bulan Ramadhan, insha Allah ta’ala. Aamiin.