Pembukaan Acara
Pada 21 Maret 2025, Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta menggelar Ihya’ Lailatul Qadr malam kedua dengan rangkaian ibadah dan kajian keislaman yang memperdalam pemahaman tentang keutamaan malam Lailatul Qadr, refleksi atas perjuangan Imam Ali, dan pentingnya menegakkan keadilan.
Acara dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Ustadz Zaki Amami, menandai dimulainya malam ibadah dengan penuh kekhusyukan. Setelah pembacaan Al-Qur’an, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa Jausyan Kabir yang dipimpin oleh Ustadz Umar Shahab. Sebelum memimpin doa, beliau terlebih dahulu menjelaskan keutamaan dan makna mendalam yang terkandung dalam doa ini.
Doa Jausyan Kabir
Doa Jausyan Kabir merupakan doa agung yang diajarkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAWW, kemudian diwariskan kepada Imam Ali AS dan diteruskan kepada para Imam hingga sampai kepada kita. Nama “Jausyan” sendiri berarti baju besi atau perisai, yang pada masa itu digunakan sebagai pelindung dalam peperangan. Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika Malaikat Jibril turun dan mengajarkan doa ini kepada Nabi, beliau menyampaikan:
“Wahai Rasul, engkau tidak perlu lagi mengenakan baju besi ini, gantilah dengan doa ini.”
Pesan ini menunjukkan bahwa doa Jausyan Kabir memiliki kekuatan perlindungan lebih besar dibandingkan perisai fisik, melindungi manusia dari berbagai kesulitan, bahaya, dan keburukan yang ditujukan kepadanya.
Lebih lanjut, Ustadz Umar Shahab menekankan bahwa doa Jausyan Kabir memiliki keutamaan luar biasa, sebagaimana disebutkan dalam berbagai riwayat. Salah satunya adalah anjuran untuk menuliskan doa ini pada kain kafan seseorang yang telah wafat. Dalam hadis disebutkan bahwa siapa yang dikafankan dengan kain bertuliskan doa Jausyan Kabir akan diselamatkan dari siksa kubur dan api neraka.
Selain itu, doa ini sangat dianjurkan untuk dibaca di bulan Ramadhan, terutama pada malam Lailatul Qadr. Disebutkan dalam riwayat bahwa siapa yang membaca doa Jausyan Kabir sebanyak tiga kali selama Ramadhan, maka:
- Allah akan mengharamkan tubuhnya dari jilatan api neraka.
- Allah akan memasukkannya ke dalam surga.
- Allah akan mengutus malaikat untuk menjaga dirinya dari perbuatan dosa.
Tausiyah: Lailatul Qadr, Syahadah Imam Ali, dan Yaumul Quds
Makna Laylatul Qadr
Dr. Muhsin Labib kemudian membaca Surah Al-Qadr, sebuah surah istimewa yang dianjurkan untuk dibaca dalam setiap salat, saat mengantarkan jenazah, dan terutama pada malam Laylatul Qadr. Dalam surah tersebut, Allah menggunakan kata “Kami”, yang menurutnya menunjukkan kebesaran, keseriusan, formalitas, dan kesakralan dari wahyu yang sedang disampaikan. Dr. Muhsin Labib menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua tahap:
- Tahap pertama, secara utuh melalui pencerahan yang diterima langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
- Tahap kedua, diturunkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman.
Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, tetapi sering disalahpahami sebagai petunjuk hanya bagi orang bertakwa. Padahal, manusia mendapatkan petunjuk melalui orang-orang bertakwa, yaitu para imam dan ulama yang disucikan. Ia juga menekankan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang suci, sehingga penerimanya juga harus suci. Itulah sebabnya dalam Islam, ada aturan bahwa Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang disucikan. Wudhu yang dilakukan sebelum menyentuh Al-Qur’an adalah bentuk simbolis untuk meniru kesucian sejati yang dimiliki oleh para wali Allah.
Laylatul Qadr, yang berarti malam yang agung, adalah kesempatan bagi manusia yang lalai untuk memperbarui ikrar, mengevaluasi diri, dan memohon ampunan Allah. Dr. Muhsin Labib mengingatkan bahwa manusia sering kali hanya fokus pada dosa yang mereka sadari, padahal banyak dosa yang dilakukan tanpa disadari, yang akhirnya menghambat perbuatan baik dan menimbulkan kekotoran spiritual. Oleh karena itu, pada malam Laylatul Qadr, umat Islam dianjurkan untuk memohon ampunan kepada Allah atas segala dosa, baik yang disadari maupun tidak.
Salah satu amalan yang dianjurkan adalah membaca doa Jausyan Kabir, yang berisi 1.000 nama Allah. Namun, ia mengingatkan bahwa mengenal nama-nama Allah tidak cukup, karena nama hanya merepresentasikan sesuatu, bukan esensinya. Menurut Dr. Muhsin Labib, meyakini keberadaan Allah tidak cukup hanya dengan doktrin. Jika seseorang hanya mengenal kata “Allah”, tetapi tidak menggambarkan keberadaan-Nya.
Ia menegaskan bahwa Allah tidak boleh diposisikan sebagai entitas yang terpisah dari manusia, karena pada hakikatnya tidak ada jarak antara Allah dan makhluk-Nya. Jika manusia masih merasa ada jarak, itu karena keterbatasan bahasa dan ketergantungan manusia pada konsep-konsep verbal.
Dr. Muhsin Labib juga membahas perbedaan antara kebaikan ritual dan kebaikan sosial. Kebaikan ritual disebut sebagai ibadah, yang dilakukan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kebaikan sosial sering dianggap cukup oleh sebagian orang, sehingga mereka meremehkan ritual. Menurutnya, banyak orang beranggapan bahwa cukup berbuat baik kepada sesama tanpa perlu menjalankan ritual, hanya karena melihat ada orang yang rajin beribadah tetapi tetap berbuat dosa.
Namun, ia menegaskan bahwa ritual Islam bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah sistem hukum yang memiliki konsekuensi. Jika seseorang mengaku beragama Islam tetapi tidak ingin terikat dengan hukum Islam, maka itu adalah kesia-siaan. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa amal saleh selalu berkaitan dengan iman, karena imanlah yang melahirkan amal saleh. Tanpa niat mendekatkan diri kepada Allah, kebaikan yang dilakukan akan bersifat sementara dan cenderung mengharapkan timbal balik.
Banyak orang yang berbuat baik tanpa melibatkan Allah, tetapi ketika tidak mendapatkan balasan, mereka akhirnya berhenti melakukannya. Inilah sebabnya ritual dan spiritualitas tidak bisa dipisahkan. Dr. Muhsin Labib menegaskan bahwa mengklaim memiliki spiritualitas tanpa ritual adalah kesalahan besar. Menutup diri dalam kesunyian tanpa menjalankan ibadah seperti shalat tidak akan membawa seseorang menuju kesucian. Lailatul Qadr adalah kesempatan untuk mengembalikan keadaan dan Ramadan seharusnya menjadi waktu bagi setiap Muslim untuk meninggalkan keburukan dan memperbaiki diri.
Kesyahidan Imam Ali
Malam ke-21 Ramadan bukan hanya malam Laylatul Qadr, tetapi juga malam kesyahidan Imam Ali, sosok yang tanpa beliau, umat Islam tidak akan bisa memahami agama yang dibawa Rasulullah dengan utuh. Sebelum menerima wahyu, Rasulullah adalah sosok yang dihormati di masyarakat Mekkah dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan dengan bijaksana. Namun, ketika beliau mulai berdakwah kepada keluarganya, hanya Imam Ali, yang saat itu masih belia. yang menerima ajaran Rasulullah. Dari sini kita bisa melihat kesiapan Imam Ali sebagai penerus Rasulullah.
Pada dasarnya, kita tidak menganut sebuah agama karena memahami ajarannya, kita juga tidak menerima agama hanya karena perilaku penganutnya, tetapi karena otoritas figur yang membawanya. Dalam hal ini, otoritas Imam Ali begitu jelas:
- Beliau adalah orang terdekat dengan Nabi.
- Menjadi perisai Nabi dalam berbagai peristiwa sulit.
- Bersama Nabi dalam setiap fase dakwah Islam.
- Menjadi saksi atas turunnya wahyu.
- Dididik langsung oleh Nabi sebagai murid pertama.
- Dideklarasikan oleh Nabi sebagai penerusnya.
Namun, meskipun orang-orang dapat menerima Nabi, mereka kesulitan menerima Imam Ali. Hal ini bukan karena kurangnya keutamaan beliau, tetapi karena dendam pribadi dari orang-orang kafir yang dikalahkan oleh Imam Ali di medan pertempuran saat membela Islam.
Meskipun Nabi berulang kali menegaskan posisi Imam Ali, penolakan tetap terjadi. Imam Ali selalu mengambil peran paling sulit dan penuh risiko dalam perjalanan dakwah Islam. Bahkan setelah Nabi wafat, beliau masih menghadapi berbagai tekanan dan gangguan. Orang-orang diprovokasi untuk memusuhi Imam Ali, berbagai cara digunakan untuk melemahkan posisinya, termasuk pembentukan kelompok Khawarij, yang diklaim sebagai pihak netral, padahal sejatinya adalah proxy musuh-musuh Imam Ali.
Dari peristiwa kesyahidan Imam Ali, kita belajar bahwa ajaran Ahlulbait adalah ajaran yang menuntut keberanian dalam mengambil risiko. Sebagai pengikut Ahlulbait, kita akan menghadapi berbagai tantangan—dari risiko kecil hingga yang paling besar. Namun, setiap risiko yang diambil sepadan dengan nilai yang akan diperoleh. Karena itu, jangan hanya memilih risiko yang paling kecil, karena nilai yang diperoleh pun akan kecil. Kita harus mengikuti ajaran Ahlulbait tidak hanya dalam ritual-ritual keagamaan, tetapi juga dalam membawa manfaat bagi sesama.
Yaumul Quds
Jumat terakhir bulan Ramadan diperingati sebagai Yaumul Quds, momen bagi kaum Muslimin untuk menunjukkan keberpihakan terhadap yang tertindas. Menjadi Syiah Imam Ali berarti menolak segala bentuk kezaliman. Sikap ini bukan dilakukan untuk menyadarkan musuh, melainkan untuk menaklukkan ego kita sendiri dan menunjukkan keberpihakan terhadap mereka yang terzalimi.
Hari ini, kita melihat bagaimana 50.000 warga Palestina menjadi korban genosida, sementara sebagian besar umat Islam hanya diam. Meski demikian, kelompok-kelompok seperti Hizbullah dan Ansarullah tetap berjuang, meskipun mereka tidak dihargai. Namun, semakin besar pengorbanan yang dilakukan dalam keadaan tidak dihargai, semakin besar pula kemuliaan yang diperoleh. Imam Ali sendiri mengalami hal ini—bahkan setelah syahid, beliau masih dilaknat di mimbar-mimbar. Sebagai Syiah Imam Ali, kita harus siap melalui jalan terjal, menerima penderitaan, dan mengambil risiko demi kemuliaan di sisi Allah.
Penutupan Acara
Setelah menutup ceramah, Ustadz Dr. Muhsin Labib membacakan maqtal yang mengisahkan peristiwa wafatnya Imam Ali. Acara dilanjutkan dengan pembacaan doa ziarah dan doa Al-Qur’an yang dipimpin oleh Syaikh Dr. Abdolmadjid Hakimollahi. Sebagai penutup acara, Ustadz Dr. Umar Shahab memimpin doa, memohon keberkahan dan ampunan bagi seluruh jamaah.