“Proses awal penurunan Al-Qur’an tidak lah mudah. Pasalnya, sampai tiga kali Nabi Muhammad mengatakan ‘saya bukanlah seorang yang dapat membaca’ seiring dengan sampai ketiga kalinya Malaikat Jibril menuntun sang Nabi untuk merapal Iqra’ (bacalah),” urainya saat membuka Seminar Nasional dan Loka Karya Kebangsaan Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia (FKMTHI) di Gedung Kemenag Kabupaten Sumenep, Ahad (24/9) siang.
Menurut Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ) Jakarta ini, dari peristiwa penurunan wahyu, manusia setidaknya dapat mengambil beberapa hikmah.
“Kenapa wahyu yang pertama turun itu berawalan dengan redaksi iqra’?” kata dia kepada sedikitnya seratus peserta yang hadir.
Perintah iqra’ pertama, sambung Kiai Nasar, mengandung pesan intelektual dimana manusia diharapkan tangkas membaca keadaan. Sementara iqra’ yang kedua mengandung pesan moral bahwa Al-Qur’an semestinya dimaknai dengan penghayatan dan dijiwai oleh iqra’ yang pertama. Adapun perintah iqra’ yang ketiga menegaskan pengendalian emosional.
Selain itu, dalam upaya kita memahamai pesan Al-Qur’an hari ini, seorang penafsir semestinya mampu menyeimbangkan antara teks dan konteks. Sehingga, produk penafsiran yang dihasilkan memiliki bobot kontekstual dan tidak menghakimi.
“Tentu hal itu tidak dapat diperoleh melalui proses yang mudah dan instan, karenanya memerlukan perangkat keilmuan yang tidak parsial,” jelas Kiai Nasar yang juga Pembina FKMTHI.
Sementara, Sekjen FKMTHI, Enok Ghosiyah saat ditemui di luar forum menuturkan, bahwa harapan diadakannya kegiatan ini adalah untuk meneruskan tradisi-tradisi intelektual para ulama masa lalu.
“Karena sejak dahulu, mereka mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam konteks kemanusiaan dan keadilan,” ujar Enok.
Turut hadir dalam acara ini Bupati Sumenep, KH A. Busyro Karim, pejabat pemerintah setempat, dan tokoh masyarakat lainnya. (Anwar Kurniawan/Fathoni-NU Online)