ICC Jakarta – Duta Besar Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Islam Iran Octavino Alimudin mengatakan, Jakarta dan Tehran telah berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendorong perempuan ke perspektif yang lebih baik.
Hal itu disampaikan Octavino dalam pidato sambutannya di Seminar Internasional “The True Identity of Woman in Contemporary Era” di Mashhad, timur laut Republik Islam Iran, Kamis, (7/3/2019).
Pada Juli 2018, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Yohana Susana Yembise dan Wakil Presiden RII untuk Urusan Perempuan dan Keluarga Masoumeh Ebtekar menandatangani MoU untuk memberdayakan perempuan, mendukung anak-anak dan mempromosikan ketahanan keluarga berdasarkan kesetaraan, rasa hormat dan saling menguntungkan.
“MoU antara Republik Islam Iran dan dan Republik Indonesia ini adalah untuk memberdayakan perempuan. Jadi, kami mencoba berbagi pengetahuan dan pengalaman kami, dan bagaimana kita membawa perempuan ke perspektif yang lebih baik atau ke arah keadaan yang lebih baik,” kata Octavino.
Dia menambahan, di Iran, kita melihat banyak perempuan yang menjadi peneliti, dan peneliti ini sangat penting. Mereka, lanjutnya, tidak harus berada di garis depan, tetapi mereka bisa mengunakan teknologi informasi (IT) untuk membuat masyarakat mengetahui lebih baik tentang teknologi, dan inilah juga yang menjadi alasan mengapa MoU tersebut ditandatangani.
Dubes RI untuk Iran juga menyinggung pentingnya sistem merit (merit system) terutama di lingkungan kerja sehingga perempuan dapat bersaing secara adil. Sistem merit adalah proses mempromosikan dan mempekerjakan pegawai pemerintah berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan faktor politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin, dan kondisi kecacatan serta bukan karena koneksi politik.
Terkait hal itu, Octavino menyinggung kuota 30 persen perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tingkat pusat maupun daerah. Dia menuturkan, dalam sistem parlemen Indonesia, kita memiliki 30 persen kuota untuk perempuan.
“Jika kita bicara 560 angggota parlemen, maka setidaknya ada 160 atau 150 anggota parlemen perempuan. Namun kita tidak kemudian memilih perempuan karena kuota itu,” jelasnya.
Untuk itu, lanjut Octavino, kita tidak hanya mepromosikan agar perempuan memperoleh posisi tersebut tetapi juga mendorong mereka untuk lebih berpendidikan. Jadi, kapan pun kita bersaing untuk satu pekerjaan, itu harus berdasarkan pada sistem merit.
Menurutnya, dengan jenis platform ini, perempuan bisa masuk dalam kehidupan publik tanpa mengorbankan kehidupan keluarga mereka. Sebab, kehidupan keluarga mereka tetap menjadi tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang istri tidak bisa meninggalkan keluarga hanya karena pekerjaan.
Dubes RI untuk Tehran lebih lanjut menyinggung tema seminar internasional yang digelar IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) Iran mengenai identitas sejati perempuan di era kontemporer.
Octavino mengatakan, pada akhirnya harus benar-benar jelas bahwa jika kita berbicara tentang identitas sejati perempuan, maka itu identitas yang mana? Apakah identitas sebagai sebagai ciptaan Tuhan (setara dengan pria)? Atau wanita sebagai anggota keluarga (sebagai seorang istri)? Atau perempuan sebagai anggota masyarakat (sebagai guru, sebagai politisi)? Jadi, hal itu semua harus jelas terlebih dahulu, dan tidak semata-mata harus setara, terutama dalam kehidupan berkeluarga.
Di bagian akhir sambutannya, Dubes RI untuk Iran mengapresiasi Seminar “The True Identity of Woman in Contemporary Era” yang diselenggarakan IPI Iran dan juga kerja sama yang telah terjalin antara organisasi pelajar ini dengan berbagai lembaga, termasuk Astan-e Qods-e Razavi Foundation.
Octavino berharap masyarakat Indonesia terutama mahasiswa bisa memanfaatkan peluang tersebut dengan sebaik-baiknya dan seminar seperti ini akan berlanjut pada tahun-tahun mendatang, dan ini bukan yang pertama dan terakhir. []