ICC Jakarta – Manusia mempunyai kelebihan di antara semua makhluk. Kelebihan itu ialah bahwa manusia mempunyai dua dimensi. Pertama, dimensi materi, yang di dalam filsafat dinamakan juga dengan dimensi hewani. Di dalam filsafat, jisim manusia dinamakan dengan gharizah (insting) atau raghbah (kecenderungan), sementara di dalam ilmu akhlak dan irfan Islami dinamakan dengan orientasi hewani, atau dimensi hewani manusia.
Oleh karena itu, dari dimensi ini manusia adalah hewan dalam arti sesungguhnya, dan tidak berbeda sama sekali dibandingkan dengan hewan-hewan yang lain. Manusia juga mempunyai dimensi spiritual. Dimensi ini adalah dimensi malakuti, yang di dalam filsafat dinamakan dengan roh. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari roh dan jisim (jasad).
Akal, roh, nurani akhlak dan hati, semuanya mempunyai arti yang sama, yaitu semuanya tertuju kepada sisi spiritual manusia. kesempurnaan manusia terjadi melalui komposisi ini. Oleh karena malaikat hanya memiliki dimensi spiritual saja, maka dia tidak bisa dilihat, dan tidak akan bisa kesempurnaan disaksikan padanya.
Meskipun Jibril adalah malaikat yang sangat dekat dengan Allah SWT, dan memiliki keluasan wujudi atas alam ini, dan sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang mampu mencakup hakikat Jibril maka dia juga memiliki penguasaan atas alam wujud”, namun Jibril tidak memiliki kesempurnaan. Benar, keluasan wujud Jibril sangat besar, karena dia adalah malaikat yang sangat dekat dengan Allah SWT.
Demikian juga halnya dengan Izrail. Akan tetapi tidak ada perbedaan sedikit pun antara Jibril yang sekarang dengan Jibril semilyar tahun yang lalu, padahal dia senantiasa bersungguh-sungguh di dalam beribadah kepada Allah SWT. Al-Quran Al-Karim berkata bahwa Jibril sama sekali tidak menentang dan tidak bermaksiat kepada Tuhannya, dan keadaannya seperti keadaan semua malaikat yang lain, yaitu tidak berjalan menuju kepada kesempurnaan.
Terdapat riwayat dari Rasulullah SAW berkenaan dengan perjalanan mikrajnya. Di dalam riwayat itu Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam mikraj aku melihat seorang malaikat, yang sebagian tubuhnya terbuat dari api dan sebagian tubuhnya yang lain terbuat dari salju.” Salju tidak bisa merembes ke api dan begitu juga api tidak bisa menjalar ke salju. Jika kita ingin memahami riwayat ini, maka ketahuilah sesungguhnya diri kita adalah sebaik-baik contoh bagi hal ini.
Semua kecenderungan roh kita tidak sejalan dengan jasad kita. Sebaliknya, kecenderungan-kecenderungan jasad kita juga menyusahkan dan melukai roh kita. Anda tidak akan bisa menemukan kelezatan roh yang dapat menyenangkan jasad.
Sebagai contoh, sifat mengkaji ilmu, sifat mencari kebenaran, sifat toleran, sifat berkorban, dan semua sifat yang terkait dengan dimensi roh manusia. Ketika suatu masalah dapat dipecahkan, maka roh Anda merasakan kelezatan yang sangat, akan tetapi kelezatan roh ini diikuti oleh rasa sakit pada jasad. Artinya, pencarian kebenaran menyebabkan kelelahan pada jasad, begitu juga pencarian ilmu.
Semua urusan ini menyebabkan rasa sakit dan kelelahan bagi jasad Anda. Adapun makan, minum, memenuhi tuntunan syahwat dan istirahat adalah kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat bagi jasad. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Matsnawi, setiap kali Anda memberikan perhatian kepada jasad ini, maka pada saat yang sama Anda membunuh roh, dan mendatangkan kemalasan dan kepenatan bagi roh.
Susunan apakah di antara dua hal yang berlawanan ini? Ini adalah susunan yang manusia dapat menggapai kesempurnaan dengannya. Terkadang dimensi malakut, yang kita namakan dengan roh, menunggangi dimensi materi, yang juga dinamakan dengan dimensi hewani, dan bergerak ke depan di dalam gerak kesempurnaan. Dalam arti, jasad ini tidak ubahnya menjadi kuda tunggangan bagi roh, dan roh mendidik jasad dan mengendalikannya ke mana ia harus pergi. Sehingga, bisa sampai ke suatu tempat yang tidak seorang pun mengetahuinya kecuali Allah SWT.
Jabir al-Ju’fi adalah salah seorang yang telah mampu menguasai keinginan-keinginannya dan mengendalikan dimensi materinya ke arah kesempurnaan. Perawi mengatakan, “Saya berkata kepada Jabir di Kufah, ‘saya rindu kepada Imam Ja’far Shadiq.’ Jabir bertanya kepada saya, ‘Apakah engkau hendak pergi menemuinya?’ Saya kaget dan berkata, ‘Benar, tetapi bagaimana mungkin saya pergi menemui Imam Ja’far Shadiq?’
Lalu kami pun pergi ke luar kota Kufah. Kemudian Jabir berkata kepada saya, “Berikan kedua tanganmu dan pejamkanlah kedua matamu.’ Maka saya pun memberikan kedua tangan saya, dan setelah itu kemudian saya membuka kedua mataku. Ketika saya membuka kedua mata saya, tiba-tiba saya telah berada di salah satu gang kota Madinah.
Saya terheran-heran. Lalu Jabir berkata, ‘Ini rumah Imam Ja’far Shadiq, pergilah ke sana hingga aku datang.’ Ketika saya berjalan di gang, saya bertanya kepada diriku, ‘Apakah ini sihir. Di manakah saya ini? Lebih baik saya meletakkan paku ke dinding, sehingga pada saat saya datang ke Mekkah dan Madinah saya akan melihat apakah paku ini atau tidak ada?”
Perawi ini melanjutkan kisahnya, “Pada saat saya sedang berpikir demikian, tiba-tiba datanglah Jabir memberikan paku dan batu kepadaku. Jabir berkata, ‘Tanamlah paku ini ke dinding.” “Saya pun pergi menemui Imam Ja’far Shadiq, akan tetapi saya takut sekali. Lalu saya melihat Jabir datang dan berdua dengan Imam Ja’far.
Terkadang Imam Ja’far Shadiq berbisik kepadanya, dan terkadang Jabir yang berbicara kepada Imam Ja’far Shadiq. Saya pun duduk di samping Imam Ja’far untuk beberapa saat, dan kemudian keluar. Jabir melihat saya, sementara saya terheran-heran. Jabir bertanya, ‘Apakah engkau hendak kembali ke Kufah?’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Jabir berkata, ‘Pejamkan kedua matamu dan peganglah tanganku.’ Kemudian saya membuka kedua mataku, tiba-tiba saya telah berada di Kufah.”
Jangan Anda heran. Sesungguhnya perkara-perkara ini mempunyai akar dari Al-Quran. Jika perkara-perkara ini tidak memiliki akar dari Al-Quran maka saya tidak akan mengatakannya kepada Anda. Di dalam tafsir Al-Quran kita dapat membaca mengenai kisah “Ashif bin Barkhiya”, salah seorang murid Nabi Sulaiman as.
Ketika para sahabat Nabi Sulaiman as datang membawa berita, Ashif bin Barkhiya telah mengetahui kabar tersebut, yaitu bahwa Bilqis memerintah di negeri Yaman, dan para penduduk di negeri tersebut menyembah berhala. Nabi Sulaiman as berkata, “Siapa yang dapat membawa singgasana Bilqis ke hadapanku?”
Al-Quran Karim menceritakan : “Ifrith (yang cerdik) dari golongan jin berkata, “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.” (QS. An-Naml : 39). Al-Quran melanjutkan ceritanya : “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” (QS. An-Naml : 40).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Ashif bin Barkhiya berkata, “Izinkanlah aku untuk membawa singgasana Bilqis ke hadapanmu dalam waktu satu kedipan mata. Tutuplah kedua mata Anda, dan kemudian bukalah, niscaya singgasana itu sudah ada di hadapan Anda.” Maka Nabi Sulaiman pun memberikan izin kepadanya. Maka Ashif bin Barkhiya pun telah datang membawa singgasana Bilqis dalam sekejap mata. Al-Quran Karim yang menceritakan hal ini, ilmu apakah ini?
Bagaimana manusia bisa menggapai yang demikian? Jika seorang manusia ingin menggapai yang demikian, maka inilah jalannya. Yaitu dia harus menempuh perjalanan malakut. Dia harus menguasai hawa nafsunya dan mendidik dimensi hewaninya. Dia harus mengendalikan kuda yang liar ini, dan kemudian menungganginya. Ketika itulah baru dia bisa menjadi Jabir al-Ju’fi dan Ashif bin Barkhiya.
Jika seorang manusia mampu menguasai dimensi materi dan hewani ini, dan dimensi spiritualnya mampu mengalahkan dimensi materinya, maka dia akan bisa sampai ke tempat mana saja yang dia kehendaki. Sia-sia apabila seorang manusia mengatakan bahwa saya tidak mampu. Jika dia tidak mampu, maka sesungguhnya dia tidak ingin bergerak menuju kesempurnaan. Karena, jika seorang manusia menginginkan segala sesuatu, maka yang demikian itu mungkin baginya, dan dia mampu mewujudkannya.
Perkara berikut ini memerlukan daya rasa yang tinggi. Karena, kelezatan bagi seorang pecinta adalah berdua-duaan dengan Zat yang dicintainya. Inilah puncak dari kelezatan, yang tidak akan mungkin bisa disamai oleh kelezatan yang lainnya. Makan dan minum tidak ada nilai baginya. Kelezatan yang paling tinggi ialah seorang pecinta (al-‘asyiq) berbicara dengan Zat yang dicintainya (al-Ma’syuq), dan yang lebih tinggi lagi ialah Zat yang dicintai berbicara dengan pecinta-Nya. Kelezatan yang diperoleh seorang pecinta dari Zat yang dicintainya adalah kelezatan maknawi.
Dalam arti, pecinta itu siap meninggalkan kelezatan materi, dan begitu juga semua yang ada di dunia, semata-mata untuk bisa mengatakan kepada Zat yang dicintainya.
Inilah yang dikatakan oleh Al-Quran di dalam salah satu surahnya, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah……’ (QS. Al-Fajr : 27-28). Artinya, wahai orang yang telah mampu menguasai hawa nafsu dan dimensi hewani Anda, wahai orang yang telah menemukan sisi kegelapan Anda, kemarilah, kemarilah. Ke mana? “Kembalilah kepada Tuhanmu.”
Kemarilah, kemarilah menuju Aku. Al-Quran tidak mengatakan, “Kemarilah menuju surga.” Karena, surga tidak menyamai manusia sedikit pun. Manusia diciptakan untuk meninggalkan dunia surga demi Zat yang dicintainya. Al-Quran Karim berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan puas dan diridhai.” Pecinta hakiki mengatakan, “Wahai hamba-Ku, Aku ridha kepadamu, Aku mencintaimu dan Aku ridha terhadapmu.” Manusia ini, dari sisi pandangan Al-Quran adalah manusia yang tinggi sekali.
Akan tetapi jika terjadi kebalikannya, dalam arti dia menyimpang menuju kehancuran, dimana dimensi materinya mengalahkan dimensi spiritualnya, maka ketika itu dimensi hewaninya menguasai dan mengendarai rohnya. Persis, sebagaimana orang yang menjadikan akalnya sebagai tunggangannya. Akalnya bekerja semata-mata untuk perhitungan dan kepentingannya, begitu juga dengan rohnya.
Dirinya juga bergerak. Akan tetapi, gerak yang bagaimana? Gerak yang menurun (nuzuliyah). Tidak mungkin bagi manusia untuk tidak bergerak dan tidak sempurna? Akan tetapi, kesempurnaan yang bagaimana? Di dalam diri manusia terdapat peperangan yang terus menerus antara roh dan jisim (jasad), dan itulah yang dinamakan peperangan yang paling besar (al-jihad al-akbar).
Manusia senantiasa dalam keadaan bergerak. Akan tetapi, terkadang geraknya itu adalah gerak menaik (al-harakah ash-shu’udiyah), dan terkadang pula gerak menurun (al-harakah nuzuliyah).
Manusia yang hakiki adalah manusia yang kelezatannya adalah kelezatan spiritual. Manusia yang merasakan kelezatan didalam mencari dan menemukan ilmu, di dalam mencari kebenaran, dan di dalam melakukan pengorbanan. Manusia yang merasa bahagia dengan kebahagiaan orang lain dan merasa sedih dengan kesedihannya.
Manusia seperti inilah yang disebut manusia. terdapat puluhan riwayat dari para Imam yang menyatakan , “Cintailah bagi orang lain apa yang engkau cintai bagi dirimu, dan apa yang engkau tidak sukai bagi dirimu maka jangan engkau sukai bagi orang lain. Karena, jika tidak maka engkau bukan seorang Muslim.”
Kesimpulannya ialah, saya manusia, pada diri saya terdapat dimensi malakut. Dengannya saya bisa sampai ke tempat mana saja yang saya inginkan. Dengannya saya bisa sampai kepada peringkat menolak dunia dan segala kesenangannya ketika saya menghadapi dosa. Jadi, alangkah lebih pantasnya jika saya membangun dimensi malakut saya.
Di sana tedapat peperangan yang dahsyat antara dimensi malakut dengan dimensi materi. Masing-masing dari keduanya ingin mengalahkan lawannya. Marilah kita meninggalkan dosa di dalam kehidupan kita, supaya Anda senantiasa memperoleh kemenangan di dalam tingkatan-tingkatan yang dinamakan oleh Rasulullah SAW sebagai “peperangan yang paling besar”. Jika tidak demikian, maka dosa akan menjadi sebaik-baiknya makanan dan kekuatan bagi dimensi materi.
Dosa bisa melenyapkan kemanusiaan manusia. Dengan begitu, dosa menjadikan manusia lebih rendah daripada hewan manapun. Dosa menutupi akal, menghalangi hati dan nurani akhlak. Pada akhirnya dosa melahirkan kekasaran bagi manusia, membunuh nurani akhlak, dan menjadikan manusia sampai kepada batas yang dikatakan Al-Quran Karim, “Mereka itu tidak ubahnya binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS. Al-A’raf : 179). (Ayatullah Husain Mazhahiri)