ICC Jakarta – Suatu ketika bertemulah Abu Hanifah (nama yang biasa dipanggil Numan), salah seorang fuqaha Ahlu Sunnah wal Jamaah, ke rumah Imam Jafar Shadiq as. Abu Hanifah meminta izin untuk bertemu, tetapi Imam Jafar tidak memperkenankannya. Kebetulan datang rombongan orang Kufah meminta izin untuk bertemu dan Abu Hanifah masuk dengan mereka.
Setelah selesai pertemuan dengan orang-orang Kufah, Abu Hanifah berkata: “Wahai Putra Rasulullah, alangkah baiknya jika Anda menyuruh orang pergi ke Kufah dan melarang penduduknya mengecam sahabat Rasulullah saw. Aku lihat di sana lebih dari 10.000 orang mengecam sahabat.”
Imam Jafar: “Mereka tidak akan menerima laranganku wahai Numan.”
Abu Hanifah: “Siapa yang berani menolak Anda, padahal Anda Putra Rasulullah?”
Imam Jafar: “Anda orang pertama yang tidak menerima perintahku, Anda masuk tanpa izinku. Duduk tanpa perintahku, berbicara tidak sesuai dengan pendapatku. Wahai Numan, telah sampai padaku bahwa Anda menggunakan qiyas, betulkah?”
Abu Hanifah: “Benar.”
Imam Jafar: “Celaka Anda, Numan. Makhluk yang pertama melakukan qiyas ialah Iblis, ketika Allah menyuruh sujud kepada Adam. Lalu ia menolak dan berkata: Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan ia dari tanah.
Hai Numan, mana yang lebih besar (dosanya), membunuh atau berzina?”
Abu Hanifah: “Membunuh.”
Imam Jafar: “Tetapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk pembunuhan, dan empat orang untuk zina. Adakah engkau menggunakan qiyas di situ?”
Abu Hanifah: “Tidak.”
Imam Jafar: “Mana Yang lebih besar (najisnya) kencing atau air mani?”
Abu Hanifah: “Kencing.”
Imam Jafar: “Mengapa, untuk kencing diperintahkan wudhu, tetapi untuk mani diharuskan mandi, adakah engkau menggunakan qiyas di situ?”
Abu Hanifah: “Tidak.”
Imam Jafar: “Mana yang lebih besar, shalat atau shaum?”
Abu Hanifah: “Shalat.”
Imam Jafar: “Tetapi mengapa wanita Haidh harus mengqodho shaumnya, tetapi tidak mengqodho shalatnya, adakah engkau menggunakan qiyas disitu?”
Abu Hanifah : “Tidak.”
Imam Jafar : “Mana yang lebih lemah, wanita atau pria?”
Abu Hanifah : “Wanita.”
Imam Jafar : “Mengapa Allah berikan warisan dua bagian bagi pria dan satu bagian bagi wanita. Adakah engkau juga gunakan qiyas di situ?”
Abu Hanifah : “Tidak.”
Diceritakan kemudian Abu Hanifah berguru kepada Imam Jafar Shadiq as. Dari Abu Hanifah terkenal ucapan, “law la sanatan, lahalaka Nu’man (Jika tidak ada dua tahun bersama Imam Jafar celakalah Numan).
Kajian Historis
Riwayat tersebut dapat dimengerti secara historis. Selain karena hidup sezaman, juga memiliki indikasi kuat dari setiap tokohnya. Misalnya Imam Shadiq, lahir pada tahun 83 H, dan menjadi Imam pada tahun 114 H (saat Imam Baqir wafat). Kemudian Imam Shadiq wafat tahun 148 H. Sama seperti ayahnya, Imam Shadiq menghabiskan usianya di Madinah. Karena itu, secara historis debat antara Imam Shadiq dengan Abu Hanifah benar-benar terjadi. Ini yang pertama.
Kedua, riwayat debat Imam Shadiq dengan Abu Hanifah bisa ditemukan dalam kitab Sunni Ath-Thabaqat Al-Kubra karya Asy-Sya’rani, jilid 1halaman 28. Dalam kitab tersebut dengan jelas disebutkan silsilah para perawi riwayatnya yang sangat bersih dan terpercaya (tsiqah). Riwayat ini lebih dikenal dan terbukti sebagai riwayat yang shahih. Juga lebih bersesuaian dengan kata-kata terkenal Abu Hanifah yang terdapat pada kitab A’lam Al-Hidayah, jilid 8 halaman 23 (seandainya tidak ada dua tahun berguru kepada Imam Shadiq, tentulah Nu’man akan celaka, law laa sanataan lahakan-Nu’man). Terdapat juga pada kitab Al-Imam Jafar Ash-Shadiq karya Abdul Halim Jundi, yang diterbitkan Majlisul ‘Ala Mesir. Bisa juga membaca komentar Ibnu Hajar dalam As Sawaiq Al-Muhriqah, diterbitkan Maktabah al-Qahirah, Kairo 1385 H.
Ketiga, dari sisi penelaahan biografi (riwayat di atas) termasuk logis.Pada usia 40 tahun (pada tahun 120 H), Abu Hanifah menjadi mufti agung Kufah dan mulai menyampaikan pendapat-pendapatnya. Lalu, pada tahun 129 atau 130 H, ia pergi ke Mekah dan Madinah. Di sana, ia bertemu dengan Imam Shodiq yang memang sudah mengemban tugas imamah sejak tahun 114 H. Pada saat itulah peristiwa dialog ini terjadi, dan Abu Hanifah menyadari kekeliruannya, hingga selama dua tahun lamanya (130-132 H) ia berguru kepada Imam Shadiq.
Keempat, yang menguatkan riwayat tersebut bahwa Abu Hanifah memang penganut dan penyebar qiyas, yang kemudian dikritik oleh Imam Shadiq. Dan, itulah fakta bahwa qiyas adalah pilar unik madzhab Hanafi. Siapa saja yang mempelajari ushul wa fiqh al-muqarran (perbandingan jurisprudensi dan hukum), mau tidak mau akan mendapati fakta bahwa mazhab Hanafi meyakini tujuh pilar sebagai hujjah dalam hukum, yaitu Al-Quran, Sunnah, qawlush-shahabah (kata-kata Sahabat), qiyas wa ra’yu (komparasi dan logika), istihsan(keutamaan etika), ijma’ (kesepakatan ulama), dan ‘urf (kearifan lokal). Ketujuh pilar mazhab Hanafi ini sangat ketat dipakai para pengikut Abu Hanifah sampai sekarang. (Misykat)