ICC Jakarta – Katanya Dzat Allah itu tidak terbatas. Kalau memang demikian apakah dzatnya itu dapat dikenal dan diketahui? Apakah manusia dengan segala keterbatasannya dapat mengenal Tuhan yang tidak terbatas?
Jawaban:
Poin utama dalam masalah nir-batasnya Dzat Allah dan terbatasnya akal adalah ilmu dan pengetahuan kita sebagai manusia.
Dia adalah wujud mutlak dari segala dimensi. Dzat-Nya, seperti ilmu, kuasa dan seluruh sifat-sifat-Nya, adalah tak terbatas. Dari sisi lain, kita dan seluruh yang bertalian dengan keberadaan kita, seperti ilmu, kuasa, hidup, ruang dan waktu, semuanya serba terbatas.
Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang kita miliki, bagaimana mungkin kita dapat mengenal wujud dan sifat yang mutlak dan tak terbatas? Bagaimana mungkin ilmu kita yang terbatas dapat menyingkap wujud nir-batas?
Ya, dari satu sisi, kita dapat melihat dari jauh kosmos pikiran dan memberikan isyarat global ihwal Dzat dan sifat Allah swt. Akan tetapi, untuk mencapai hakikat Dzat dan sifat-Nya secara detail adalah mustahil bagi kita.
Dari sisi lain, wujud nir-batas dari segala dimensi ini tidak memiliki keserupaan dan kesamaan. Dan ketakterbatasan ini hanyalah Dia; Allah Swt. sebab, sekiranya Dia memiliki keserupaan dan persamaan, maka kedua-duanya menjadi terbatas.
Sekarang bagaimana kita dapat memahami wujud yang tak memiliki kesamaan dan keserupaan? Segala sesuatu yang kita lihat selain-Nya adalah wujud yang mungkin (mumkinul wujûd)., sedangkan sifat- sifat wajib al-Wujud berbeda dengan sifat yang lainnya.[1]
Kita tidak berasumsi bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat wujud Allah, tentang ilmu, kuasa, kehendak dan hidup-Nya. Akan tetapi, kita berasumsi bahwa kita memiliki pengetahuan global tentang hakikat wujud dan sifat-sifat-Nya. Dan kedalaman serta batin seluruh hal-hal ini tidak akan pernah kita ketahui. Dan kaki akal seluruh orang-orang bijak dunia, tanpa kecuali, dalam masalah ini tampak lumpuh:
Pada akal seorang hakim hingga kapan Anda menggapai?
Tak ‘kan pernah terlintas dalam benakmu jalan ini.
Akal tak ‘kan memahami kedalaman Dzat-Nya,
bilamanakah sampai bongkahan kayu ke dasar laut![2]
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. dikatakan: “Diamlah bilamana pembahasan sampai pada Dzat Allah”.[3] Artinya, jangan membahas ihwal Dzat Allah. Dalam masalah ini, seluruh akal buntu dan tidak akan pernah mencapai tujuannya. Berpikir tentang Dzat Nir-batas melalui akal yang terbatas adalah mustahil. Karena segala yang dirangkum oleh akal bersifat terbatas; dan terbatas bagi Tuhan adalah mustahil.
Dengan ungkapan yang lebih jelas, tatkala kita menyaksikan jagad raya dan seluruh keajaiban makhluk-makhluk, dengan segenap kompleksitas dan keagungannya, atau bahkan melihat wujud diri kita sendiri, secara umum,kita memahami bahwa jagad raya ini memiliki pencipta dan Sumber Awal. Pengetahuan ini adalah pengetahuan global yang merupakan tahapan akhir bagi kekuatan pengenalan manusia tentang Tuhan. Namun, semakin kita mengetahui rahasia-rahasia keberadaan, semakin juga kita mengenal keagungan-Nya serta jalan pengetahuan global tentang-Nya semakin kuat.
Akan tetapi, ketika kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah hakikat Dia? Dan bagaimanakah Dia? Ketika kita mengarahkan tangan ke arah realitas Dzat Allah, kita tidak akan mendapatkan sesuatu selain keheranan dan rasa takjub. Kita akan mengatakan bahwa jalan untuk menuju ke arah-Nya adalah terbuka, dan jalan untuk menyentuh hakikatnya adalah tertutup.
Dengan menyebutkan satu perumpamaan kita dapat menjelaskan masalah ini. Bahwa kita semua tahu bahwa ada kekuatan alam yang disebut sebagai kekuatan gravitasi. Segala sesuatu yang terlepas akan jatuh dan tertarik ke bawah. jika kekuatan gravitasi ini tidak ada, ketenangan dan ketentramanbagi seluruh makhluk di muka bumi tidak akan ada.
Ilmu tentang adanya gravitasi bumi bukanlah sesuatu yang hanya diketahui oleh para ilmuwan saja. Anak-anak yang berakal sehat pun dapat mencerap realitas gravitasi bumi ini dengan baik. Akan tetapi, hakikat gravitasi bumi itu apa, apakah ia adalah gelombang-gelombang frekuensi atau atom-atom atau kekuatan lain?
Dan anehnya adalah gravitasi bumi bertentangan dengan segala sesuatu yang kita kenal dari alam semesta ini. Secara lahiriah, untuk transformasi dari satu titik ke titik yang lain tidak memerlukan waktu yang cukup. Berbeda dengan cahaya yang memiliki gerakan tercepat dalam dunia materi ini. Akan tetapi, ketika mengalami transformasi dari satu titik ke titik yang lain, ia masih memerlukan waktu jutaan tahun lamanya. Namun, gravitasi bumi dapat berpindah dalam satu detik dari satu titik bumi ke titik bumi yang lain dalam waktu yang cukup pendek dan atau sekurang-kurangnya kecepatan yang dimilikinya lebih singkat dari yang kita dengar hingga kini.
Kekuatan macam apakah yang memiliki efek seperti ini? Bagaimanakah hakikat kekuatan ini? Tidak ada seorang pun yang memiliki jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Kita hanya memiliki pengetahuan global tentang kekuatan gravitasi ini sebagai salah satu makhluk. Kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya secara detail. Bagaimana kita dapat menguak ihwal Pencipta dunia materi dan hakikat metafisis yang merupakan wujud nir-batas dan dapat mengetahui kedalaman dzat-Nya?
Akan tetapi, dengan kondisi seperti ini pun kita dapat menyaksikan bahwa Dia selalu hadir, mengawasi setiap tempat dan bersama setiap wujud di alam semesta ini.
Seratus ribu jelmaan yang keluar dari-Mu,
Seratus ribu
pandangan aku menyaksikan-Mu[4]
[1] Makna “nir-terbatas” ini tidak dapat kita ilustrasikan. Apabila dipertanyakan bahwa bagaimana kalimat “nir-terbatas” ini digunakan, sementara dengan kalimat ini kita sedang memberikan sebuah kabar dan membicarakan hukum-hukumnya? Memangnya tashdiq (penegasan) tanpa tasawwur (gagasan) dapat terwujud? Jawaban atas pertanyaan ini adalah, dalam menggunakan kalimat ini, kita mengambilnya dari dua singular (kalimat tunggal), nâ (‘adam) nir yang bermakna tidak, dan mutânâhi yang bermakna terbatas. Maksudnya, kedua kalimat ini dapat kita konsepsikan secara terpisah nir dan terbatas. Setelah itu, kita sintesakan satu dengan yang lainnya dan mengisyaratkannya kepada wujud yang tidak tergagaskan dalam benak. Dari pengetahuan tentang wujud ini kita temukan pengetahuan global. (Perhatikan baik-baik).
[2] Payam-e Qur’an, jilid 4, hal. 33.
[3] Tafsir Ali bin Ibrahim berdasarkan nukilan dari Nur ats-Tsaqalain, jilid 5, hal. 170.
[4] Payâm-e Imâm, Syarah Nahjul Balâghah, jilid 1, hal. 91.