ICC Jakarta – Suatu saat Muhammad al-Baqir as bersabda, “Tertulis dalam Taurat yang tidak berubah, bahwa Musa as bertanya kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhan! Apakah Engkau dekat denganku, sehingga aku harus berdoa kepada Engkau dengan bisikan, atau Engkau jauh, sehingga aku harus bersuara keras menyeru-Mu?’ Kemudian Allah Swt mewahyukan kepadanya: ‘Wahai. Musa! Aku bersama yang mengingat-Ku.’ Musa berkata, ‘Siapakah mereka yang akan Engkau lindungi pada hari ketika tak kan ada perlindungan kecuali perlindungan-Mu?’ Dia menjawab, ‘Mereka yang mengingat-Ku, dan Aku mencintai mereka; mereka yang saling mencintai demi Aku, dan Aku mencintai mereka. Mereka adalah orang-orang yang Kuingat, kapan pun Aku hendak menimpakan musibah atas penduduk bumi, dan karenanya menghindarkan mereka karena mereka.”
Hadis ini memperlihatkan bahwa Taurat yang sekarang ada di tangan kaum Yahudi itu sudah rusak dan diubah. Dari kandungan Taurat dan Injil yang ada sekarang ini terlihat bahwa kedua kitab ini tidak memenuhi standar pembicaraan yang umumnya diterima orang sekalipun, apalagi kriteria firman Tuhan.
Al-Majlisi berkata, “Tampaknya maksud Nabi Musa as dengan pertanyaan ini adalah mencari-tahu tara cara berdoa, padahal beliau tahu bahwa Allah lebih dekat dengan seseorang daripada urat lehernya, dengan kedekatan yang didasarkan pada pengetahuan, kuasa dan efisiensi kausal. Beliau bermaksud mengatakan, ‘Apakah Engkau suka kalau hamba-Mu berdoa kepada-Mu dengan bisikan, seperti orang yang berbicara dengan orang lain di dekatnya, ataukah aku harus menyeru-Mu seperti orang yang menyeru orang lain yang ada di tempat jauh?’ Dengan kata lain,
‘Bila aku melihat-Mu, aku dapati engkau lebih dekat dibanding apa pun yang dekat, dan bila aku melihat diriku sendiri, aku dapati diriku ada di tempat jauh. Maka aku tidak tahu apakah aku harus mempertimbangkan situasi-Mu dalam doaku atau kondisiku sendiri.’ Mungkin juga pertanyaan ini diajukan atas nama orang lain, seperti pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan melihat Yang Mahaindah.” (tersebut dalam QS. al-A’râf:143).
Mungkin Musa bermaksud mengungkapkan rasa kebingungannya dan rasa ingin tahunya bagaimana sikap dalam berdoa. Dia bermaksud mengatakan, “Ya Tuhan, Engkau terlalu suci dan di atas segalanya untuk dinisbahi kata dekat dan jauh, sehingga aku akan menyapa-Mu sebagai yang dekat atau yang jauh. Karena itu aku kebingungan dalam masalah ini, sebab aku tidak melihat cara berdoa yang sesuai dengan kedudukan-Mu yang agung. Maka izinkanlah aku berdoa, dan tunjukkanlah caranya. Ajarilah aku cara yang sesusai dengan kedudukan-Mu yang suci.” Datanglah jawaban dari Sumber Agung lagi Mulia, “Aku, sebagai Pemberi rezeki, ada dalam semua tingkat dan eksistensi. Segenap alam merupakan kehadiran-Ku. Namun Aku bersama mereka yang mengingat-Ku dan bersama mereka yang menyeru-Ku.”
Tentu saja, dekat dan jauh tidak dapat dinisbahkan kepada Zat Suci itu. Zat Suci itu memberikan rezeki kepada segala yang maujud dan keberadaan-Nya meliputi segenap wilayah maujud dan seluruh aliran realitas. Namun, yang disebutkan dalam ayat-ayat mulia Kitab Allah yang Suci ini mengenai penisbahan dekat kepada Allah Swt, seperti ayat-ayat,
Dan bila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (katakan kepada mereka) Aku dekat untuk menjawab seruan orang yang menyeru-Ku… (QS. al-Baqarah: 186);
atau,
…dan Kami tahu apa yang dibisikkan jiwanya di dalam dirinya, dan kami Kami lebih dekat dengannya daripada urat lehernya (QS. Qâf:16),
dan ayat-ayat lain seperti itu merupakan kiasan. Sebab wujud suci-Nya berada di atas dekat dan jauh, fisik maupun imaterial. Karena kualitas-kualitas ini mengandung keterbatasan (tahdid) dan keserupaan (tasybih), sedangkan Allah Swt berada di luar itu semua dan kehadiran segala wujud di istana suci-Nya merupakan kehadiran relasional, dan bahwa Zat Suci itu meliputi semua partikel alam semesta dan rantai-rantai wujud. Artinya, Dialah yang memberikan rezeki kepada semuanya itu.
Dari hadis di atas, dan beberapa hadis lainnya juga, dapat disimpulkan bahwa zikir diam (dzikr-e khafi) dan di dalam hati lebih disukai. Allah berfirman,
Ingatlah Tuhanmu dalam jiwamu, dengan rendah hati dan takut, bukan dengan suara keras, pada pagi dan petang hari. (QS. al-A’râf:205)
Dalam beberapa keadaan, yang zikir dengan suara keras, seperti zikir di depan orang yang lalai demi mengingatkannya lebih disukai. Dalam al-Kafi disebutkan bahwa siapapun yang berzikir kepada Allah Swt di tengah orang-orang yang lalai, maka dia seperti orang yang berperang melawan kaum muharibun (yaitu orang-orang yang mengangkat senjata melawan Allah dan Islam). Begitu pula, adalah mustahab (dianjurkan) berzikir keras-keras dalam azan, dalam khutbah, dan lain-lain.
Dalam Uddat al-Da’i karya Ibnu Fahd disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Orang yang berzikir kepada Allah di pasar dengan ikhlas, di antara orang-orang yang sibuk dengan urusan-urusan mereka, maka Allah menuliskan baginya seribu kebaikan dan mengampuninya pada hari Kiamat dengan apa pun yang belum pernah terlintas dalam hati.”
Dalam hadis mulia ini disebutkan bahwa berzikir kepada Allah, dan saling cinta dan bersahabat demi Allah, lebih penting daripada karakteristik tertentu. Salah satunya, yang lebih penting daripada yang lainnya, adalah bahwa zikir kepada Allah yang dilakukan oleh sang hamba mengakibatkan Allah ingat kepadanya. Masalah ini juga disebutkan dalam hadis-hadis lain. Zikir ini merupakan lawan dari-orang yang lalai (nisyam), seperti disebutkan oleh Allah Swt dalam hubungannya dengan orang yang melupakannya ayat-ayat Allah. Dia mengatakan, “Ya Tuhanku, kenapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu dapat melihat?”
Allah menjawab, Demikianlah Ayat Kami datang kepadamu, namun kamu melupakannya; maka hari ini kamu terlupakan. (QS. Thâhâ:126)
Kebutaan di akhirat diakibatkan karena melupakan ayat-ayat Allah dan batin tidak melihat manifestasi-manifestasi keagungan dan keindahan Allah. Namun hal itu tidak terjadi bila kita mengingat ayat-ayat Allah, Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya serta mengingat Allah, keindahan-Nya dan kemuliaan-Nya. Bila mengingat ayat-ayat Allah menjadi watak (malakah), maka penglihatan batiniah menjadi sedemikian kuat, sehingga mulailah terlihat keindahan Ilahiah dalam ayat-ayat-Nya. Mengingat Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya mengakibatkan melihat Allah dalam manifestasi-manifestasi Nama-nama dan Sifat-sifat (tajalliyat-e asma’iyyah wa shifatiyyah).
Jelaslah, cinta Allah memiliki berbagai derajat, sebab cinta demi Allah Swt juga memiliki banyak tingkat dalam hal keikhlasan dan kelemahannya. Keikhlasan penuh bahkan bebas dari cacat pluralitas Nama dan Sifat (katsrat-e asma’i wa shifatz) akan melahirkan cinta yang sempurna. Pencinta sejati senantiasa selaras dengan peraturan cinta, dan tidak akan ada penghalang antara pencinta dan Yang Dicintai.
Berdasarkan penjelasan ini, kita dapat mengetahui maksud pertanyaan Musa as di atas. Dia ingin menemukan identitas orang-orang yang akan mencapai persatuan itu, sehingga dia dapat menunaikan tugasnya dalam segala aspeknya. Karenanya dia bertanya: Siapakan mereka yang akan Engkau lindungi pada hari ketika yang ada hanyalah perlindungan-Mu? Siapakah mereka, yang karena Engkau lindungi, terbatas dari segala keterikatan dan merdeka dari segala rintangan, dan bersama dengan Mahaindah-Mu? Datanglah jawaban, “Mereka adalah dua golongan: merekalah Orang-orang yang mengingat-Ku, dan orang-orang yang saling mencintai satu sama lain, yang juga mengingat-Ku, ingat akan manifestasi sempurna keindahan-Ku. Mereka aku lindungi, Aku bersama mereka dan milik mereka.”
Hadis tentang Musa as memperlihatkan bahwa kedua golongan tersebut memiliki satu kualitas mulia yang melahirkan karakter mulia lainnya. Karena Allah mengingat dan mencintai mereka, maka mereka pun mendapatkan perlindungan-Nya pada hari ketika tidak ada perlindungan, dan mereka bersama Allah di tempat yang benar-benar tersendiri. Karakteristik lainnya adalah bahwa Allah Swt menghindarkan makhluk-makhluk-Nya dari siksaan demi kemuliaan mereka. Yaitu, selama mereka berada di tengah-tengah makhluk, Dia tidak menurunkan azab dan malapetaka atas makhluk-makhluk demi mereka. []